NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tak Mungkin Bisa Lebih Rendah Lagi

Bosan dengan permainan di komputer dan tak tahu harus berbuat apa agar bisa tertidur, Dion memutuskan mengunjungi Andi. Ia berharap rasa kantuk akan menyerang setelah berbincang dengan sahabat lamanya itu. Apalagi ia tahu, Minggu malam bukanlah jadwal pacaran Andi dan Nita.

Dion disambut Pak Sugeng dan istrinya yang kaget melihatnya lesu. Dion hanya menjawab bahwa ia kurang beristirahat dan banyak pikiran.

Belum lama ngobrol dengan sepasang suami-istri itu, Andi dan Nita pun tiba. Kedua sahabat Dion itu pun tak kalah kaget mendapati Dion yang pucat kuyu.

“Sakit, Bro?” tanya Andi sambil menatap lekat wajah Dion yang terlihat pucat.

“Nggak. Cuma kurang tidur saja,” sahut Dion sambil tersenyum. “Maaf, aku mengganggu pacaran kalian.”

“Nggak. Nita dan Mas Andi baru dari undangan, kok,” ujar Nita.

Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Sementara Pak Sugeng dan istrinya serta Surya sedang berada di ruang berbeda menikmati tayangan televisi.

“Yakin tidak apa-apa? Trus, kenapa Dion punya mata panda?” Nita khawatir, apalagi ia melihat lingkaran hitam di bawah kedua mata Dion.

“Iya nih, sejak Rabu kemarin aku cuma bisa tidur beberapa jam saja.”

“Ada yang salah?”

“Nggak bisa tidur,” jawab Dion membuat Nita dan Andi tersenyum datar karena jawaban Dion berputar-putar.

Dion sebenarnya tidak ingin menceritakan masalahnya, tapi karena didesak terus oleh Andi dan Nita, akhirnya ia menceritakan apa yang terjadi pada Rabu lalu.

“Begitulah. Dalam sehari saja aku kehilangan pacar dan pekerjaan. Aku jadi kepikiran dan tak bisa tidur,” Dion mengakhiri ceritanya dengan senyuman tawar.

Andi dan Nita prihatin. Mereka sudah menduga hubungan Dion dan Wina akan menghadapi tantangan tapi tak menduga hubungan itu akan berakhir begitu saja, tanpa drama, tanpa proses.

“Susah dipercaya Wina setega itu,” gumam Nita. “Aku tahu dia sangat menyukaimu.”

Dion mengangkat bahu. “Dia sebenarnya nggak pernah menjanjikan apa-apa. Kecuali satu hal, dia pernah bilang bakal mencintaiku seumur hidupnya.”

“Yah sama saja, Bro. Mencintai tapi kok mendua,” Andi berujar sinis.

“Atau mungkin justru karena Dion sendiri nggak pernah menjanjikan apa-apa ke dia?” Nita menimpali.

Dion menghela napas panjang. “Aku pernah berjanji setia. Bahkan aku pernah berjanji pada neneknya untuk membiarkan Wina menyelesaikan kuliahnya sebelum mengambil keputusan apa pun.”

Nita menggeleng pelan. Mereka bertiga terdiam sesaat, membiarkan kata-kata Dion menggantung di udara.

“Janji itu sudah lebih dari cukup,” akhirnya Nita bersuara. “Dan sekarang, janji itu nggak berlaku lagi. Dia yang memilih mengakhiri semuanya, jadi lupakanlah dia.”

“Biarlah dia termakan karma janjinya sendiri,” lanjut Nita seolah menegaskan dia berada di pihak Dion.

Setelah beberapa saat, Nita kemudian meminta Andi mengantarnya pulang. Ia tahu kehadiran Dion di sana pasti untuk mencurahkan isi hati yang gundah gulana pada Andi. Keduanya memang sangat dekat sejak sekolah dahulu.

“Bro, tunggu sebentar, ya! Aku punya sesuatu untuk masalah tidurmu. Dijamin manjur. Tapi aku antar Nita pulang dahulu,” ujar Andi sesaat sebelum mengantarkan Nita pulang dengan sepeda motor.

Benar saja, sekira 30 menit kemudian, Andi sudah datang kembali dengan membawa kantung plastik. Ia mengajak Dion untuk pindah duduk di halaman depan rumah.

Ia pun mengeluarkan botol minuman dan sebungkus rokok dari kantung plastik. “Kita minum saja, pasti kau akan bisa tidur nyenyak. Tidur di kamarku saja malam ini. Pagi aku antar deh.”

Dion membuka kotak rokok itu dan mengeluarkan sebatang lalu buru-buru menyalakannya. Karena tak biasa, Dion terbatuk-batuk setelah hisapan pertama. Tenggorokannya terasa gatal dan panas sekaligus.

Hisapan kedua, batuk semakin parah, lebih panjang hingga air matanya keluar.

“Pelan-pelan saja, Bro. Pasti karena belum terbiasa,” ujar Andi sambil tertawa kecil.

Bukannya kapok, Dion malah melakukan hisapan ketiga. Masih terbatuk meskipun tidak separah sebelumnya.

Dion menikmati rokok itu, tapi bukan layaknya seorang pecandu. Dion menikmati rasa siksa yang dihasilkan oleh asap panas di tenggorokan, membuat pikirannya teralihkan.

Dion dan Andi kemudian memulai obrolan mereka. Tentang betapa cepatnya keadaan bisa berubah.

“Perasaanku bilang kau akan baik-baik saja. Aku selalu yakin nasib baik akan selalu menyertaimu,” hibur Andi setelah Dion mengungkapkan kekhawatiran akan masa depannya.

“Kebalik, Bro. Bukankah aku selalu tak beruntung?” sanggah Dion.

Andi menyeringai. “Justru karena itu! Ibarat grafik, kau sudah nyentuh titik terendah. Dah nggak mungkin turun lagi, Bro. Dari sini, arahnya cuma bisa naik.”

Dion meneguk minumannya, lalu tertawa. “Baru tahu aku kalau kau penggemar statistik.”

“Bukan sekadar statistik,” Andi mengangkat gelasnya dengan gaya dramatis. “Statistika Ekonomi, Bung!”

“Fluktuasi tetap ada, tapi tren tetap naik. Seiring waktu, nilai jualmu bakal tinggi!”

Dion tertawa lepas. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa sedikit lebih ringan. “Wah, cara bicaramu udah kayak dosen.”

“Dosen apaan, kuliah aja nggak pernah,” balas Andi sambil tertawa.

Alkohol mulai mengambil alih, membuat percakapan mengalir semakin lancar. Dion menyesap minumannya dengan tenang, menikmati sensasi panas yang menjalar ke kepalanya.

“Jujur, aku jadi setuju sama Hendrik,” ujar Andi tiba-tiba. “Dia dulu nyuruhmu ‘menanam modal’ sebelum melepas Wina.”

Dion menatap Andi dengan mata sayu. “Kalau dia hamil, gimana?”

“Ya bagus! Tanggung jawab, nikahin. Kalian pasti bahagia.”

Dion menggeleng sambil tersenyum. “Nggak bisa. Aku udah janji sama Oppung buat nggak menghambat kuliah Wina.”

“Bro, datangin aja dia ke Jakarta. Bawa kabur,” usul Andi tiba-tiba.

Dion kaget dengan usul Andi. Ia heran dari mana sahabatnya itu punya ide begitu. “Itu namanya menculik. Masih syukur kalau cuma dipermalukan, bagaimana kalau ditangkap polisi?”

“Aku yakin Wina mencintaimu walaupun dia mendua. Wina takkan mempermalukanmu. Percaya sama aku.”

“Bagaimana menurutmu? Apa kau yakin Wina melupakanmu begitu saja? Aku tahu kalian berdua saling mencinta bahkan sebelum kalian pacaran. Aku masih ingat waktu pertama kali kau bawa dia ke toko. Tak butuh seorang jenius untuk mengetahui ada sesuatu di antara kalian. Hanya dari cara kalian saling menatap.”

“Pakdhe mu saja bilang, kalian akan jadi pasangan serasi,” tambah Andi.

Kata-kata Andi membuat Dion teringat kembali pada masa-masa awal perkenalannya dengan Wina. Dion merebahkan kepalanya pada sandaran kursi dan menatap bintang-bintang sambil menghembuskan napas panjang dengan asap yang ia hisap dari sebatang rokok.

“Ndi! Aku rindu Wina,” ujar Dion setelah beberapa saat. Ia tak bisa lagi menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaannya di hadapan sahabatnya itu.

“Ya kalau nggak rindu, nggak mungkin patah hati,” sahut Andi.

Andi merasa prihatin pada Dion. Bukan pertama kali ini ia melihat temannya itu menumpahkan keluh kesahnya. Dulu Dion juga pernah melakukannya dalam acara perpisahan bersama teman-teman akrabnya di sekolah di Berastagi tahun 1997 dulu. Keduanya dilakukan Dion dalam pengaruh alkohol.

“Kita menyanyi saja yah. Lagu-lagu patah hati,” cetus Andi membuat Dion bersemangat. Andi lalu masuk ke dalam rumah dan kembali dengan gitar.

Tak lama kemudian keduanya sudah larut dalam lagu-lagu Koes Plus dan Iwan Fals kesukaan Andi. Surya yang sedari tadi menonton sepakbola tidak bisa menahan diri untuk tidak bergabung dengan keduanya.

Trio itu pun berlanjut hingga menjelang subuh. Mereka berhenti bernyanyi ketika minuman dan rokok sudah habis. Lagipula Dion sudah diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Dengan tertatih-tatih, ia berjalan menuju kamar Andi dan menjatuhkan diri di kasur lalu tertidur lelap.

Andi yang menyusul Dion ke kamar tak tega meminta pemuda itu untuk sedikit bergeser menyediakan tempat untuknya. Andi pun membiarkan sahabatnya dan memilih untuk tidur bersama adiknya Surya.

...***...

Pagi harinya Dion bangun dengan kepala pusing, hungover akibat asupan alkohol terlalu banyak tadi malam.

“Ah aku akan melewatkan dua mata kuliah pagi ini. Sesekali bolos tak apa lah,” sesal Dion dalam hati sesaat setelah melirik jam dinding di kamar Andi yang menunjukkan jam 10.

Tapi bukannya mengeluhkan sakit kepalanya, Dion malah menyukai rasa sakit itu. “Aku membutuhkan sesuatu seperti ini agar aku bisa melupakan Wina,” pikirnya.

“Selamat pagi, Budhe!” sapanya ramah kepada ibu Andi, yang tengah sibuk menyiapkan makan siang.

“Pagi, Dion! Sudah bangun? Sarapan dulu. Itu ada handuk dan baju ganti kalau mau mandi. Andi yang nyiapin tadi,” jawab Budhe Sugeng tersenyum.

“Lho, Andi ke mana, Budhe?” tanya Dion.

“Pagi-pagi dia sudah pergi ke toko sama Pakdhemu. Banyak buku baru datang hari ini, jadi dia bantu menyortir,” jelas Budhe tanpa mengalihkan perhatiannya dari panci di atas kompor.

Dion mengangguk paham. “Kalau begitu, Dion mandi dulu, Budhe.” Ia meraih handuk dan pakaian yang telah disiapkan Andi, merasa sedikit terharu dengan perhatian sahabatnya itu.

Sehabis mandi, Dion lalu kembali ke dapur ngobrol dengan Budhe Sugeng sambil membantunya menyiapkan makan siang.

Dion memang sudah akrab dengan keluarga Andi. Waktu masih sekolah, Dion banyak menghabiskan waktu di rumah itu terlebih ketika libur. Dion memang tak pernah pulang kampung yang tidak kondusif karena keluarga pamannya tidak menyukainya.

Ketika makan siang, Dion melihat sebotol madu di lemari makanan dapur itu. Dion teringat bahwa dia belum mengantarkan madu buat Oppung yang seharusnya ia lakukan Sabtu kemarin.

Sehabis makan siang, Dion buru-buru kembali ke rumahnya mengganti pakaian dan pergi ke rumah Oppung membawa madu hutan yang rutin ia antarkan setiap bulannya.

...***...

Dion menyesali keputusannya datang ke rumah itu. Setiap sudut, setiap aroma, bahkan desiran angin yang menyapu halaman mengembalikan kenangan bersama Wina. Ingatan-ingatan itu mencengkeram hatinya erat, meremasnya tanpa ampun.

“Datang kau, Amang?” suara Oppung membuyarkan lamunannya.

Dion mengangkat wajah, mendapati wanita tua itu berdiri di ambang pintu dengan senyum tulus.

“Iya, Oppung. Sabtu kemarin aku nggak sempat antar madu. Baru sempat sekarang,” sahut Dion, menyerahkan kantong plastik hitam berisi botol madu hutan yang rutin ia bawa setiap bulan.

Seperti biasa, perbincangan pun mengalir. Dion lebih banyak mendengarkan, menikmati suara tenang Oppung yang selalu memberi kesan bijaksana.

Hingga tiba-tiba, tanpa peringatan, pertanyaan itu meluncur.

“Wina sudah wisuda. Bagaimana rencana kalian selanjutnya?”

Dion tertegun. Udara seakan membeku sejenak.

“Tidak ada, Oppung,” jawabnya pendek.

Kening Oppung berkerut. “Kenapa tidak ada rencana? Oppung harap kalian tetap di Medan. Nanti Oppung bilang sama Wina supaya cari kerja di sini saja.”

Dion menghela napas panjang sebelum menjawab, “Itu sudah tidak mungkin, Oppung. Kami sudah putus.”

Oppung menatapnya tajam, terkejut. “Kalian putus?”

Dion mengangguk pelan. Tak ingin bertele-tele, ia pun menceritakan bagaimana Wina, di hari wisudanya, memintanya melupakan hubungan mereka. Dengan suara datar, Dion menjelaskan bahwa Wina kini memiliki kekasih baru, seseorang yang dikenalkan oleh ibunya.

“Hari itu berat sekali, Oppung. Di hari yang sama, kantorku juga tutup. Sekarang aku bahkan menganggur,” ujarnya lirih, menunduk menatap lantai teras.

Oppung tak segera merespons. Ia mengalihkan pandangannya ke taman, seakan mencari jawaban di antara dedaunan yang tertiup angin.

“Kenapa Wina tak cerita waktu Rabu malam kami teleponan? Apa kalian bertengkar? Setelah itu, kalian masih bicara?” tanyanya penuh kebingungan.

Dion menggeleng. “Kami tidak pernah bertengkar, Oppung. Wina bahkan memintaku berjanji untuk tidak menghubunginya lagi. Jadi, aku tidak tahu lebih dari apa yang dia sampaikan.”

Oppung kehabisan kata-kata. Meskipun sudah sering sekali Wina membuat kaget karena sifat spontannya, Oppung tetap tak habis pikir akan keputusan cucu tertuanya itu.

“Oppung akan coba tanya apa yang terjadi. Dion bersabarlah dan semoga cepat mendapat pekerjaan baru,” hibur Oppung setelah beberapa saat.

“Bulan depan aku kembali lagi antar madu untuk Oppung,” Dion berniat pamit.

“Iya Amang. Tapi kalau ada waktu, datanglah beberapa hari lagi temani Oppung ngobrol,” sahut Oppung.

Dion pun meninggalkan rumah Oppung dengan hati tersiksa.

“Rasanya baru kemarin melihat Wina menuruni tangga ini mengenakan pakaian indah untuk kencan pertama kami,” batih Dion pedih sambil melangkahkan kakinya melintasi ruang tamu itu.

Malam harinya setelah makan malam, Dion kembali mengurung diri di kamarnya. Ia berusaha menghibur diri dengan bermain game di komputer.

Menjelang tengah malam, ia mengeluarkan bungkusan plastik berisi minuman keras dan rokok yang ia beli sore harinya.

Dion membawa botol dan rokok itu ke depan rumah dan duduk di bangku panjang. Ia berharap minuman dan rokok itu akan membantu mengatasi rasa sakit di dada.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!