Urban legend bukan sekadar dongeng tidur atau kisah iseng untuk menakuti. Bagi Klub Voli SMA Higashizaka, urban legend adalah tantangan ritual yang harus dicoba, misteri yang harus dibuktikan.
Kazoi Hikori, pemuda kelahiran Jepang yang besar di Jerman. masuk SMA keluarganya memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya, namun tak pernah menyangka bergabung dengan klub voli berarti memasuki dunia gelap tentang legenda-legenda Jepang. Mulai dari puisi terkutuk Tomino no jigoku, pemainan Hitori Kakurenbo, menanyakan masa depan di Tsuji ura, bertemu roh Gozu yang mengancam nyawa, hingga Elevator game, satu per satu ritual mereka jalani. Hingga batas nalar mulai tergerus oleh kenyataan yang mengerikan.
Namun, ketika batas antara dunia nyata dan dunia roh mulai kabur, pertanyaannya berubah:
Apakah semua ini hanya permainan? Atau memang ada harga yang harus dibayar?
maka lihat, lakukan dan tamat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SkyMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kakera onna
Musim panas telah usai. Semua siswa siswi kembali sibuk dengan rutinitas sekolah. Angin terasa sejuk, daun-daun pertama musim gugur perlahan menguning.
Mori Saki ketua klub voli perempuan tampak ceria berdiri di depan gerbang sekolah. Setelah dari senyumnya yang merekah. Dia memasukan tangannya ke saku jaket. Dia tersenyum menyapa siswi lain yang dia kenal. Jika dilihat-lihat dia seperti patung selamat datang. Tapi dia tidak menghiraukan itu, rasa bahagia menutupi rasa malunya saat ini.
Dia sedang menunggu kekasihnya yang masih berdiskusi di ruangan klub.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih. Orang yang dia tunggu akhirnya menunjukkan batang hidungnya.
"Isamu-kun," dia tersenyum lebar melihat isamu yang keluar gerbang. Wajar jika Saki terlihat bahagia karena selama ini dia memendam perasaannya pada Isamu. Saat sudah tidak bisa membendung perasaannya dia langsung mengungkapkan pada Isamu sebelum libur musim panas. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Isamu menerima Saki dengan senang hati.
"Maaf menunggu lama."
Saki tersenyum. "Tidak tak apa."
"Ya sudah, ayo."
Mereka berjalan beriringan. "Kita mau kemana?" Tanya Saki.
"Kita ke Omoide yokocho. Gimana?" Sekolah mereka berada di Shinjuku, untuk ke Omoide yokocho hanya butuh tiga puluh menit lebih dengan jalan kaki. Jika mereka berangkat ke sana sampai sana di jam eman kurang waktu yang cocok untuk jalan-jalan malam.
"Boleh," mereka berjalan sambil berbincang di selingi dengan tawa Saki mendengar lelucon yang Isamu berikan.
Tak terasa mereka telah sampai di Omoide yokocho, langit sudah mulai gelap Isamu menggenggam tangan Saki, wajah Saki memerah. Saki seperti memang jatuh cinta pada pesona Isamu.
Mereka berjalan menelusuri jalanan yang dipenuhi orang. Omoide yokocho adalah gang kecil di Shinjuku yang penuh dengan lampu kuning dan lentera yang tergantung. Aroma yakitori menggugah selera siapapun yang lewat. Hiruk pikuk yang sangat ramai di sebuah gang sempit terdengar suara tawa pria tua yang bercengkrama, dari penjual yang menjajakan dagangan mereka. bahkan suara musik jazz yang mengalun lembut dari sebuah bar.
"Mau makan apa?"
"Sepertinya aku ingin ramen, Isamu-kun?"
Isamu tersenyum mengangguk. "Aku juga ingin ramen."
Akhirnya mereka masuk ke dalam kedai ramen yang hanya memiliki empat kursi berjajar, mereka duduk bersebelahan. Saki memesan ramen tonkotsu dengan ekstra telur. Sedangkan Isamu memesan shoyu ramen pedas.
Mereka hanya terdiam sampai ramen yang mereka pesan datang. mereka menikmati ramen dengan tenang sampai habis. "Enak banget," puji Saki.
Isamu mengangguk, ramen di sini memang enak, dia membayar ramen yang mereka makan, setelah itu mereka keluar. Di luar Isamu masih terus mengorek tasnya seperti mencari sesuatu.
"Ada apa?"
"Ponselku sepertinya tertinggal di loker."
Saki menatap khawatir jika ponselnya tidak di ambil sekarang dia tidak akan berkomunikasi dengan Isamu malam ini.
"Ya sudah ayo kembali ke sekolah, aku akan mengantarmu," Saki sudah siap melangkah.
"Tidak perlu kamu pulang duluan saja, biar aku sendiri yang ke sekolah."
"Tidak aku mau ikut! Ini sudah malam aku khawatir kalau kamu kembali sendirian ke sekolah," Saki melihat Isamu sedikit memohon dari raut wajahnya Saki terlihat sengat khawatir, takut terjadi apa-apa pada Isamu.
"Yah, itu. Karena ini sudah malam, dan kembali ke sekolah juga memerlukan waktu setengah jam lebih, yang ada nanti kau pulang malam saat ke rumah."
"Pokonya aku mau ikut!"
"Memangnya kau tidak takut orangtuamu marah? Perjalanan ke sekolah setengah jam lebih, terus kita harus berjalan lagi menuju stasiun, dari stasiun kita menunggu dan melakukan perjalanan beberapa menit. Setelah sampai pun kamu harus berjalan lagi menuju rumahmu kan? Mau jam berapa sampai ke rumah?"
Saki terlihat Mempertimbangkan perkataan kekasihnya. Betul juga, kalau dia ikut Isamu dia akan pulang sangat malam. Tentu saja orangtuanya akan marah besar. Dia sudah izin tapi dibatasi sampai jam delapan. Jika dia ikut kembali ke sekolah kemungkinan sampai rumah sembilan atau bisa lebih lambat jam sepuluh.
"Ya, sudah tapi tak apa kan kamu sendirian ke sekolah?"
"Tentu saja tidak apa-apa. Ayo aku antar sampai stasiun."
"Tidak usah kamu kan harus ke sekolah, nanti kamu pulangnya malam banget," Isamu tersenyum langsung menggenggam tangan Saki dan menuntunnya menuju stasiun.
"Kalau kemalaman aku meminta Ryota untuk menjemputku."
Saki hanya mengangguk, dia sudah tak perlu khawatir lagi pada kekasihnya. "Tapi nanti setelah pulang ke rumah segera hubungi aku yah," Isamu mengangguk.
"Kamu juga setelah pulang ke rumah hubungi aku."
Saki berjalan masuk ke dalam stasiun sesekali melihat Isamu yang masih berdiri di belakangnya.
Isamu memasukan tangannya ke dalam saku celana. Dia berjalan menjauh menuju sekolahnya.
Langit sudah sangat gelap, suasana sepi tidak ada siapapun. Dia sudah sampai di depan gerbang sekolah. Isamu menghampiri gerbang yang tentu saja yang sudah terkunci. Dia memikirkan cara untuk masuk hingga terbesitlah ide untuk memanjat pagar, tentu saja pagar belakang yang lebih rendah dari gerbang utama. Isamu jalan terburu-buru karena hari sudah semakin malam.
Setelah memanjat pagar dengan penuh perjuangan akhirnya dia sampai di area sekolah. Isamu berlari menuju lapangan. Dia menyimpan handphone nya di loker tempat ganti baju.
Suasana sekolah sangat sepi dan gelap, hanya suara sepatu yang berlarian di lorong menggema di telinganya.
Sampai di pintu lapangan voli dengan cepat dia membukakan untung saja tidak terkunci. Dia bergegas menuju ruang ganti baju cowok. Membuka lokernya dan langsung menyambar handphone. Dengan nafas yang masih terengah-engah dia kembali berlari menuju gerbang belakang. Namun langkahnya terhenti di tengah lorong.
Jantungnya berdetak tak beraturan, suara nafasnya terdengar jelas di telinganya. Di depannya dia melihat wanita berjalan terseok-seok keluar dari salah satu kelas. Aura di sekitar berubah lebih dingin. Dia mengusap tangannya. Isamu masih terdiam memperhatikan wanita yang sedang menyeret kakinya itu masuk ke dalam toilet.
Isamu mengambil ancang-ancang, dia harus berlari cepat dan keluar dari sana secepatnya. Belum sempat dia berlari tangan dingin dan pucat menyentuh bahunya. Refleks dia membalikkan badannya.
Wanita itu wajahnya hancur seperti bekas terlindas, matanya melotot hampir jatuh keluar, mulutnya mengeluarkan darah. Tangannya retak mengeluarkan nanah dan bau yang sangat busuk.
Belum sempat dia merespon wanita itu berteriak di depan wajahnya. Suaranya keras membuat telinganya berdengung. Tanpa memikirkan apapun lagi, Isamu berlari sekencang mungkin, dia memanjat dan untungnya mendarat dengan selamat, Isamu terus berlari menjauhi area sekolah sampai akhirnya berhenti dia jalan raya yang sangat ramai.
Dia menghubungi Ryota untuk segera menjemput. Untung saja saat itu Ryota sedang tidak melakukan apapun. Karena mendengar suara Isamu yang bergetar dengan nafas yang tidak beraturan. Segera Ryota menjemput Isamu.
To be continued