Sebuah keluarga sederhana yang penuh tawa dan kebahagiaan… hingga suatu hari, semuanya berubah.
Sebuah gigitan dari anjing liar seharusnya bukan hal besar, tapi tanpa mereka sadari, gigitan itu adalah awal dari mimpi buruk yang tak terbayangkan.
Selama enam bulan, semuanya tampak biasa saja sampai sifat sang anak mulai berubah dan menjadi sangat agresif
Apa yang sebenarnya terjadi pada sang anak? Dan penyebab sebenarnya dari perubahan sang anak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryn Aru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Andini yang melihat nya pun terkejut, saat seorang pria yang tiba-tiba menyerangnya. Pria yang itu adalah seseorang yang ia kenal sedari dia kecil, bahkan pria yang sangat di sayanginya
"Papa?" Andini melebarkan matanya terkejut, seseorang yang ia panggil papa mencoba untuk menggigitnya seakan ia bukanlah anaknya tetapi seekor mangsa baginya.
"Pa ini Dini pa!!" Panggilnya berusaha menyadarkan sang Ayah, tapi usahanya tak membuahkan hasil, terlihat air yang akan menetes dari ujung matanya perlahan, tapi dengan cepat ia tersadar bahwa saat ini adalah pilihan untuk hidup atau mati baginya, Andini pun berusaha mendorong sang ayah agar ia memiliki ruang yang cukup untuk melarikan diri.
"Urrghh... Graaahh..." Terdengar suara erangan yang keluar dari mulut sang ayah dengan lendir lengket yang mengenai Andini, Andini yang melihatnya semakin terkejut dan berusaha mendorong sang ayah lagi.
"Arghhhh... Ini Dini anak papa!!" Teriak Andini sembari mendorong sang ayah dengan sekuat tenaga dan ia berhasil membuat sang ayah sedikit menjauh hingga akhirnya memberi ruang untuknya melarikan diri. Andini pun dengan cepat berlari tanpa arah mencari tempat persembunyian. Tanpa sengaja ia melihat ke langit-langit rumah yang terlihat beberapa plafon telah hancur, hingga terlihat kerangka rumah yang masih kokoh di atas sana. Tanpa pikir panjang, Andini melompat meraih kerangka rumah dan naik keatas plafon untuk bersembunyi.
"Huuuhhh... Huuuhhh... Ghhh...krrhhhh..." Terdengar suara erangan yang semakin mendekat kearah Andini, dengan panik ia menutup mulutnya dan menahan nafas agar tak di Ketahui oleh sang ayah yang tepat berada di bawahnya. Andini yang berjongkok di salah satu balok kerangka rumah hanya diam dan memperhatikan gerak-gerik sang ayah.
Andini menenangkan dirinya, ia menutup mata sementara sembari menghela nafas panjang agar bisa berpikir lebih baik dan tak terburu-buru untuk membuat sebuah rencana.
"Zombie kah?" Bisiknya pelan pada diri sendiri
"Tiba-tiba banget jadi zombie." Mata Andini mulai di penuhi oleh air mata saat melihat ayahnya yang sudah tak seceria dan selembut dulu, bahkan sang ayah yang dulu ia lihat sebagai pahlawan sekarang telah menjadi pemangsanya, Andini yang merasakan penglihatannya menjadi buruk pun menyeka air matanya dan kembali mengawasi sang ayah yang sedari tadi hanya berkeliling di dekatnya.
"Sialan, kenapa di situ terus sih." Bisiknya pada diri sendiri lagi, Andini melihat ada yang aneh dengan keadaan sekarang, ia berpikir sejenak untuk mengingat. "Eh bentar kok cuma ada papa? Mama di mana? Apa mama selamat?" Lanjutnya, Andini yang sedari tadi tak melihat keberadaan sang ibu mencoba untuk berfikir positif pada waktu itu. Saat kembali mengawasi sang ayah, terlihat ayah sedikit menjauh darinya dan sudah tak berada di bawahnya, dengan berhati-hati ia pun mencoba merangkak di kerangka yang masih kuat, pelan-pelan ia menjauh sedikit demi sedikit untuk menjaga jarak antara dirinya dan sang ayah. Saat merangkak tanpa sengaja Andini mendaratkan lututnya ke tempat yang salah kejadian itu membuat kaki kirinya merusak plafon dan menggantung di langit-langit untung saja ia tak terjatuh kebawah. Dengan cepat Andini menarik kakinya, tanpa sengaja kaki Andini terkena patahan kayu yang runcing hingga membuat kakinya terluka, untung nya darah tersebut tak menetes walau luka yang ia dapatkan cukup dalam. Mendengar kegaduhan itu perhatian sang ayah tertuju pada kamar Andini yang pintunya tertutup, ia berlari dan menabrakkan dirinya agar pintu tersebut hancur. Saat memasuki kamar terdengar suara erangan kecil dari ayah dan terlihat ia mencari-cari keberadaan Andini. Di saat perasaan yang bercampur aduk menjadi satu tiba tiba terdengar suara lirih
"Di...ni, su..dah pulang..." Suara yang ia kenal, walau terdengar terbata-bata dan serak, dengan perlahan Andini menoleh dan melihat kearah suara.
"Ma?" Ucap Andini dengan suara bergetar, sosok yang ia pikir masih selamat sekarang ada di hadapannya, dengan kulit pucat dan jari tangan yang tak selembut dulu, Andini yang melihat itu tanpa sadar membuat air matanya mengalir. Melihat Andini yang menangis sosok itu mendekat perlahan den menyeka air mata Andini dengan tangan bergetar.
"Ma..af. Dini... Ja...ga dir...diri ya..." Setelah mengucapkan itu, ibu turun dari plafon dan berdiri di hadapan ayah.
"Raaaaagghhh!!" Teriakan ibu yang nyaring membuat ayah menutup telinganya dan saat ayah tak fokus ibu segera mendorong ayah ke arah lemari hingga merusak lemari tersebut dan mematahkan tulang kaki dan leher ayah. Andini melihat hal itu terkejut karena kekuatan sang ibu, tapi sesaat kemudian ayah berdiri kembali menggunakan kakinya yang telah patah dan saat ayah berdiri terlihat tulang kakinya yang mencuat keluar. Ayah pun menyerang ibu, ia menabrakkan diri pada ibu dan mendorong ibu kearah dinding. Andini yang melihatnya pun terkejut dengan keadaan sekarang, pikirannya tak dapat berpikir jernih, yang ia rasakan hanyalah rasa sakit dengan keadaan sekarang, dengan segera ia tersadar memukul pipinya.
'bukan waktunya juag sedih.' batinnya.
Andini pun segera mencari sesuatu untuk membantu ibu, tak jauh dari tempatnya terlihat kabel tebal di plafon rumah yang terputus, dengan cepat Andini meraih kabel itu dan turun dari atas plafon, ia berdiri di belakang sang ayah bersiap untuk menariknya dari ibu. Ibu yang melihat Andini yang melompat ke bawah segera memeluk ayah untuk menahannya, Andini yang melihatnya menghela nafas panjang dan mengikat sang ayah bersama dengan ibu.
"Mama... Sa...yang din..i.." Terlihat senyuman kecil terukir di bibirnya yang sekarang telah pucat, sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya. Andini yang mendengarnya pun menggigit bibirnya dan menangis sembari mengikat kedua orang tuanya.
Matahari mulai tenggelam dan hari melelahkan ini pun telah berakhir, nafas Andini tak beraturan karena harus melawan sang ayah, ia pun terduduk diam di sebelah kedua orang tuanya dan menatap keduanya dengan tatapan kosong, air mata yang sudah mengering sekarang mengalir kembali dengan sangat deras, di ruangan yang sunyi itu terdengar isakan tangis Andini yang sangat menyayat hati.
"Urrghh... Graaahh..." Suara erangan ayah yang terdengar lebih tenang membuyarkan lamunan Andini, ia menutup wajahnya karena malu jika sang ayah melihatnya sedang menangis dari pantulan kaca lemari yang telah pecah.
"Maaf Pa. Maaf, Dini iket Papa kayak gini. Tapi...ta..pi papa suka kan? Kan sa..ma Mama" Andini menyeka air matanya dan memegang lengan sang ayah dan tersenyum tipis.
"Iya kan? Papa senang? Kan dulu setiap mau tidur harus rebutan dulu sama Dini, sekarang udh enggak, sekarang papa bisa peluk Mama deh, Dini... Dini kan juga mau." Ucap Andini dengan suara bergetar, berapa kali pun ia menyeka air matanya, itu tak pernah berhasil menghentikan tangisannya walau hanya sesaat. Andini membaringkan tubuhnya di belakang sang ayah dan memegang tangan ibunya yang memeluk ayah. Andini tersenyum tipis dan mulai tertidur.
Terdengar suara-suara burung berkicau saat matahari mulai menampakkan dirinya, rumah dengan rerumputan hijau yang subur dan bunga-bunga indah yang berada di dalam pot seakan menyambut pagi hari, terlihat Andini yang masih tertidur di kamarnya dengan kasur lembut dan di temani oleh boneka-boneka lucu miliknya.
"Dini bangun, Mama udah masak in telur dadar kesukaan kamu." Panggil seorang wanita dari dapur, yang sembari melepas celemek nya yang kotor, wanita cantik dan lembut itu adalah ibu Andini. Saat ibu sedang merapikan meja makan tiba-tiba ada sebuah tangan yang melingkar pada perutnya.
"Masakan Mama selalu wangi." Ucap seseorang dengan suara berat yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Sut, lepas ih. Nanti Dini lihat loh." Terlihat pipi ibu memerah karena malu dengan tingkah ayah yang seperti baru menikah, ibu pun segera melepaskan pelukan ayah dengan lembut, dan meninggal ayah sendirian di dapur. Wanita itu berjalan menuju sebuah kamar dan mengetuknya. "Dini bangun sayang, udah pagi loh ini." Ucapnya dari luar pintu, Andini yang belum sepenuhnya sadar pun hanya mengerang dengan mata tertutup.
"Andini bangun, atau Mama jadi sandra Papa" ucap ayah dengan mengetuk pintu lebih keras.
"Iya, iya ini bangun ni." Ucap Andini kesal dan membuka pintu. Terlihat kedua orang tua Andini tersenyum pada nya.
"Nah gini dong gampang di bangunin nya." Ucap ayah bangga dengan mengusap rambut sang putri, ibu yang melihatnya hanya tersenyum dan tertawa kecil melihat rambut sang putri yang semakin berantakan, Andini yang baru saja bangun pun menatap sang ayah dengan tatapan marah.
"Papa!! Jangan elus rambut Dini... Udah berantakan makin berantakan jadinya!!" Rengek sang putri, ibu yang melihat itu pun menyudahi tawanya dan tersenyum manis kepada Andini.
"Nanti biar Mama sisir in, biar anak Mama makin cantik." Ucap sang ibu membelai pipi Andini. Andini yang tadinya marah pun tersenyum senang dan sangat bersemangat sembari menggenggam tangan sang ibu.
"Mama beneran kan?!!" Tanyanya, ibu pun tersenyum tipis dan mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang anak. Andini melepaskan genggamannya dan berlari kearah kamar mandi.
"Eh... Makan dulu sayang." Panggil sang ibu
"Nanti aja, Dini mau mandi dulu biar di sisir in Mama!!" Teriaknya yang sekarang sudah berada di kamar mandi, ayah yang melihat Andini pun menghela nafas dan melipat tangan di dadanya.
"Apa coba kurangnya aku ma?" Tanya ayah dengan ekspresi wajah datar. Saat ibu melihat ekspresi itu ia tersenyum dan tertawa kecil lagi.
"Papa cuma gak bisa sisir in Dini aja." Ucap ibu menepuk bahu ayah. Ayah menatap ibu dan memperlihatkan ekspresi kesal.
"Dini kan udah besar ma..." Rengeknya, cemburu melihat kedekatan Andini dan Ibu.
Bersambung,,,,,