Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall story
Deon mengetuk jari-jarinya di meja, iramanya lambat dan terukur. Kopinya sudah hampir habis, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya sekarang.
Matanya menerawang, bukan kosong, tapi penuh perhitungan. Seperti pemain catur yang baru saja mengorbankan bidak kecilnya demi membuka jalan untuk skakmat besar.
Kalau mereka mau main keras, gue bakal kasih sesuatu yang nggak bakal mereka lupakan.
Senyum tipis terukir di wajahnya bukan seringai tengil seperti dulu, tapi sesuatu yang lebih halus. Lebih licik.
Tapi sebelum pikirannya bisa melangkah lebih jauh, suara langkah mendekat membuatnya mendongak.
Gwen.
Gadis itu berdiri di depannya, satu alis terangkat, tatapan malasnya menelusuri ekspresi Deon seolah sedang menilai seberapa jauh anak magang itu sudah berubah.
"Lo keliatan bahagia banget buat orang yang baru aja ngejatuhin senior sendiri," ucapnya, lalu menarik kursi dan duduk di depan Deon seolah ini sudah jadi kebiasaannya.
Deon menatapnya balik tanpa berkata apa-apa, hanya mengangkat bahu kecil seolah semuanya bukan urusan besar.
Tapi Gwen tidak mudah dibodohi.
Dia menyandarkan punggungnya, menyilangkan tangan di dada. "Jadi, apa langkah lo selanjutnya, bocah jenius?"
Deon menyeringai tipis, matanya berkilat penuh antisipasi.
"Langkah selanjutnya?" gumamnya, memutar cangkir kosong di tangannya.
Dia menatap Gwen langsung, dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat gadis itu sedikit menegang.
"Gue bakal bikin mereka nyesel pernah meremehkan gue."
Gwen terdiam sesaat, lalu terkekeh kecil.
"Menarik," katanya, matanya menyipit penuh minat.
Lalu dia bersandar lebih dekat, suaranya merendah.
"Tapi lo yakin bisa menang, Deon?"
Deon tidak langsung menjawab. Dia menatap Gwen beberapa detik, lalu akhirnya tersenyum miring.
"Bukan soal menang atau kalah Gwen," katanya santai.
"Ini soal siapa yang bisa bertahan paling lama di neraka."
Gwen terdiam sejenak, menatap Deon dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ada sesuatu dalam tatapan Deon sekarang. Bukan sekadar arogansi, bukan sekadar keberanian, tapi sesuatu yang lebih liar. Lebih berbahaya.
Dia terkekeh pelan, lalu mengaduk kopinya dengan gerakan santai. "Lo beneran udah gila, Deon."
Deon hanya menyeringai kecil. "Mungkin."
Gwen menyesap kopinya, masih menatapnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Tapi gini, kalau lo emang mau main sampai titik darah penghabisan..."
Dia meletakkan cangkirnya dengan bunyi tak yang nyaris tak terdengar.
"...lo butuh lebih dari sekadar nyali."
Deon menaikkan satu alis. "Maksud lo?"
Gwen menyandarkan diri ke kursinya, melipat tangan dengan santai. "Lo butuh strategi. Nggak cukup cuma sekadar bikin mereka takut. Kalau lo mau bener-bener menjatuhkan mereka, lo harus bikin mereka kehabisan langkah. Harus bikin mereka sadar kalau setiap gerakan yang mereka buat, udah lo rencanain jauh sebelum mereka kepikiran buat melawan lo."
Deon menatap Gwen, lalu senyumnya melebar.
"Dan lo pikir gue belum mempersiapkan itu?"
Gwen tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. "Kalau gitu kasih tau gue, Deon. Apa yang bakal lo lakuin selanjutnya?"
Deon bersandar ke belakang, menyilangkan tangan, lalu menatap Gwen dengan mata yang berkilat penuh antisipasi.
"Langkah selanjutnya?"
Dia terkekeh pelan, lalu memiringkan kepalanya sedikit.
"Gue bakal kasih mereka alasan buat benar-benar takut."
Gwen menatapnya, mata tajamnya sedikit menyipit, mencoba membaca lebih dalam niat di balik kata-kata Deon. Tapi Deon, dia terlalu sulit ditebak sekarang.
Gadis itu akhirnya menghela napas pelan. "Lo main di jalur yang berbahaya, Deon."
Deon hanya terkekeh, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme lambat. "Berbahaya? Gwen, permainan baru aja dimulai."
Tapi sebelum Gwen sempat merespons, tiba-tiba suara gelas jatuh bergema di kantin, diikuti oleh suara langkah kaki tergesa-gesa.
Semua kepala menoleh.
Seorang staf kantor berlari masuk dengan napas tersengal, ekspresinya penuh kepanikan. "Gila! Kalian udah denger belum?!"
Deon dan Gwen saling pandang sekilas sebelum akhirnya menoleh ke arah pria itu.
Bayu muncul dari balik pintu, wajahnya merah padam, ekspresinya murka.
Salah satu senior di belakangnya tampak ragu sebelum akhirnya membuka mulut, suaranya sedikit bergetar. "Direktur lagi ngamuk... ada sesuatu yang bocor."
Deon tetap duduk tenang. "Bocor?" tanyanya santai, meski matanya berkilat penuh minat.
Bayu menatapnya tajam. "Jangan pura-pura bego, Deon."
Gwen mendesah pelan, lalu berbisik di sampingnya. "Jangan bilang lo-"
Tapi sebelum Gwen bisa menyelesaikan kalimatnya, Deon sudah menyeringai.
Bukan seringai tengil seperti biasanya.
Ini lebih dari itu.
Ini seringai seseorang yang sudah menarik pelatuk senjatanya sendiri.
"Aduh," katanya pelan, pura-pura berpikir. "Kayaknya ada yang akhirnya sadar… kalau mereka udah masuk ke perang yang nggak bisa mereka menangkan."
Bayu mengepalkan tangannya, tapi sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, Deon sudah berdiri.
Tatapannya kini lurus ke arah Bayu, tak sedikit pun gentar.
"Kasih tau gue, Bang," katanya, suaranya tenang tapi menusuk.
"Rasanya gimana... akhirnya jadi pihak yang kena permainan?"
__
FLASHBACK ON, GERAKAN BAYANGAN DEON !!
Seminggu sebelum kekacauan itu terjadi, Deon duduk di pojok kantor, matanya terpaku pada layar laptopnya. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, bibirnya melengkung membentuk seringai kecil.
Dia sudah muak.
Muak dengan senior-senior sok kuasa. Muak dengan permainan kotor yang mereka mainkan untuk menjatuhkan anak magang. Dan yang lebih penting… muak karena mereka pikir dia cuma bocah bodoh yang bisa diinjak-injak tanpa perlawanan.
Jadi, Deon melakukan sesuatu yang tak seorang pun duga.
Dia mulai menggali.
Dia ingat betul bagaimana Bayu dan beberapa senior lainnya sering bertingkah seolah mereka punya kekuasaan lebih dari yang seharusnya. Bagaimana mereka memanipulasi sistem, menumpuk pekerjaan ke anak magang, bahkan mengambil keuntungan dari fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi.
Tapi itu bukan yang paling parah.
Semakin dalam Deon menggali, semakin jelas ada sesuatu yang jauh lebih besar terjadi di balik layar.
Ada transaksi yang mencurigakan. Dokumen yang seharusnya tidak ada, namun secara ajaib beredar di sistem internal. Pengeluaran anggaran yang tidak masuk akal, terutama dari divisi Bayu.
Dan Deon?
Dia merekam semuanya.
Tidak hanya itu.
Dia menyusup ke server internal kantor bukan dengan peretasan tingkat tinggi, tapi dengan sesuatu yang lebih simpel. Memanfaatkan kelengahan orang-orang bodoh yang tidak mengganti password standar mereka.
Dalam hitungan hari, dia sudah punya cukup bukti untuk menghancurkan beberapa karier.
Dan dia tidak ragu untuk menggunakannya.
Saat dokumen-dokumen itu bocor ke dalam forum anonim perusahaan, kekacauan mulai menyebar.
Laporan pengeluaran yang janggal. Nama-nama yang terlibat. Semua terbuka untuk dibaca.
Orang-orang mulai berbisik.
Bayu dan gengnya panik.
Dan kemudian, ledakan besar itu terjadi.
Direktur perusahaan ini, ayahnya sendiri mendapat laporan langsung dari dewan direksi. Suasana di ruangannya berubah panas dalam hitungan detik.
"SIAPA YANG MELAKUKAN INI?!"
Suara gebrakan meja menggema di seluruh kantor. Orang-orang membisu, bahkan staf senior tak berani membuka mulut.
Dan saat penyelidikan dimulai, semua petunjuk mengarah ke satu nama.
Satu orang yang selama ini dianggap remeh.
Deon.
Dia tahu ini akan terjadi.
Dan dia sudah menyiapkan jawabannya.
Jadi, ketika ayahnya memanggilnya ke ruangan dengan tatapan penuh amarah, Deon hanya masuk dengan langkah santai, tangannya terselip di saku, wajahnya tanpa ekspresi.
"Jelaskan," suara sang ayah bergetar menahan emosi. "Apa yang sudah kamu lakukan?"
Deon hanya menatapnya.
Lalu, dia tersenyum miring.
"Aku cuma bersihin sampah, Ayah."
Ruangan itu terasa seperti medan perang yang sunyi sebelum letusan pertama. Sang direktur menatap putranya dengan tatapan tajam, rahangnya mengeras.
"Membersihkan sampah?" ulangnya, suaranya rendah namun berbahaya. "Apa kamu sadar apa yang sudah kamu perbuat, Deon?"
Deon tidak berkedip. Dia tahu betapa seriusnya situasi ini, tapi dia juga tahu satu hal yang lebih penting dia tidak menyesalinya.
"Aku sadar, Ayah," jawabnya, nada suaranya tenang namun dingin. "Dan aku akan melakukannya lagi kalau perlu."
Tatapan ayahnya semakin tajam. Tangannya mengepal di atas meja, seolah menahan diri untuk tidak menggebraknya lagi. "Kamu membocorkan informasi internal perusahaan. Kamu tahu konsekuensinya?"
Deon mengangkat satu bahu, nyaris acuh tak acuh. "Aku tidak membocorkannya ke publik. Hanya memastikan orang-orang yang perlu tahu… akhirnya tahu."
Mata sang direktur menyipit, napasnya panjang dan dalam, mencoba mengendalikan amarah yang jelas-jelas hampir meledak.
"Kamu pikir kamu ini siapa? Pahlawan moral? Penegak keadilan?" katanya, suaranya sarat dengan kemarahan yang tertahan.
Deon tertawa kecil, tanpa humor. "Bukan. Aku cuma orang yang muak melihat kejahatan berkeliaran tanpa konsekuensi."
Sang direktur berdiri dari kursinya, menatapnya dari atas, sorot matanya penuh perhitungan. "Dan kamu pikir, dengan melakukan ini, kamu menang gitu?"
Deon tetap diam sejenak, lalu menggelengkan kepala.
"Bukan soal menang atau kalah, Ayah," katanya pelan, tapi penuh keyakinan. "Ini soal menunjukkan siapa yang sebenarnya harus takut di sini."
Ruangan kembali sunyi.
Hanya ada tatapan antara ayah dan anak, satu dipenuhi amarah yang terpendam, yang lainnya penuh keteguhan yang tak tergoyahkan.
Sampai akhirnya, sang direktur menghembuskan napas panjang.
"Kalau begitu," katanya, nadanya tajam seperti bilah pisau. "Kita lihat seberapa jauh kamu bisa bertahan, Deon."
Senyum Deon semakin melebar.
"Aku sudah siap sejak lama."
FLASHBACK OFF !!
Deon kembali ke masa kini dengan cepat seakan otaknya baru saja menariknya kembali dari lubang hitam penuh kekacauan yang telah ia ciptakan sendiri.
Dia masih berdiri di kantin, tatapan orang-orang masih tertuju padanya. Suara bisik-bisik masih memenuhi ruangan, dan Bayu masih berdiri di depannya dengan rahang mengeras, tinjunya mengepal.
Gwen menatapnya dari samping, ekspresinya sulit ditebak. "Jadi... itu yang lo lakuin?" bisiknya, suaranya pelan namun penuh makna.
Deon hanya menghembuskan napas pendek, mengangkat bahu. "Gue cuma... membereskan hal-hal yang perlu diberesin."
Bayu akhirnya mengambil langkah maju, mendekat hingga hanya beberapa inci dari wajah Deon. "Lo sadar nggak, bocah? Lo baru aja bikin hidup lo jauh lebih susah."
Deon tidak gentar sedikit pun. Sebaliknya, dia hanya menyeringai tipis, senyum penuh arti yang lebih menusuk daripada kata-kata apa pun.
"Loh, Bang Bayu takut?" tanyanya santai, seolah pertanyaannya bukanlah pukulan verbal yang telak.
Bayu mengertakkan gigi, jelas sedang berusaha menahan amarah. Tapi sebelum dia bisa melontarkan ancaman lain, suara lain tiba-tiba memotong ketegangan di ruangan itu.
"DEON!"
Suara itu bergema di seluruh kantin.
Semua kepala langsung menoleh ke arah pintu.
Dan di sana, berdiri seseorang yang bahkan membuat Deon harus menarik napas dalam.
Sekretaris pribadi ayahnya.
Dengan ekspresi datar dan sikap tegas, pria itu menatap langsung ke arahnya.
"Tuan Direktur ingin bertemu dengan Anda. Sekarang."
Kantor mendadak terasa lebih dingin.
Bahkan Gwen, yang biasanya santai, kini terlihat sedikit lebih waspada.
Deon hanya berdiri diam selama beberapa detik.
Lalu, seperti yang sudah bisa ditebak…
Dia tersenyum miring, memasukkan tangannya ke saku, dan melangkah maju melewati Bayu yang masih membeku di tempatnya.
"Baik," katanya ringan. "Mari kita lihat apa kejutan berikutnya."