Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:
"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."
Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"
Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Namun, saat dia berbalik untuk pergi, ada sesuatu dalam gerakannya yang terasa... berbeda.
Terlalu tenang.
Terlalu terkontrol.
Kei menahan napas. Seolah dia baru saja menyentuh sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.
Lalu, Maho berbicara lagi—lebih pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar.
"Tapi terkadang, hujan memang bisa memberi pemandangan yang lebih menarik."
Kei merasakan sesuatu merayap di tengkuknya.
Dia tetap diam, mengamati punggung Maho yang semakin menjauh.
Ucapan terakhir itu...
Apakah itu sebuah pengakuan? Atau hanya sebuah permainan kata?
Kei tidak tahu pasti.
Namun satu hal yang dia sadari, Naruto mungkin benar. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum tenang Maho. Sesuatu yang jauh lebih dalam... dan jauh lebih berbahaya.
Maho terhenti di tempatnya. Tubuhnya menegang sesaat, lalu dia berbalik perlahan. Pandangannya bertemu dengan sosok berambut pirang yang berdiri tidak jauh darinya—Naruto Uzumaki.
Tidak seperti Kei yang berbicara dengan nada santai, Naruto berbicara dengan ketenangan yang hampir mengintimidasi.
"Permainanmu berakhir di sini, Shiraishi Maho," katanya, suaranya jelas dan tegas, cukup untuk menusuk keheningan yang sempat tercipta.
Maho tidak langsung bereaksi. Dia hanya menatap Naruto dengan ekspresi datar, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang menyiratkan bahwa dia tidak menyangka akan berhadapan dengannya seperti ini.
"Apa maksudmu?" Maho akhirnya membuka suara, suaranya terdengar stabil, tetapi ada sedikit getaran halus yang tidak bisa disembunyikan.
Naruto melangkah maju, menempatkan dirinya di antara Maho dan Kei. Tatapannya tajam, seakan menembus pertahanan yang coba dibangun oleh gadis itu.
"Kau ingin tahu maksudku?" Naruto sedikit mendongak, menatap langit yang cerah di atas mereka. "Langit biru yang kau benci itu adalah Hayasaka Aoi. Dia yang menjadi pusat perhatian, dia yang mendapatkan sesuatu yang kau inginkan."
Tatapan Maho sedikit berubah, tetapi dia tidak berbicara.
Naruto kembali menatapnya. "Awan hitam yang ingin menutupi langit itu adalah Yamato dan Ouka. Mereka hanyalah alat yang kau gunakan untuk mengaburkan pandangan orang lain. Kau membuat rumor buruk tentang Yamato dan Ouka agar orang-orang membenci mereka, menjauh dari mereka, dan pada akhirnya, kau menciptakan hujan itu sendiri.
Kali ini, Maho mengangkat dagunya sedikit, berusaha tetap terlihat percaya diri. "Itu hanya spekulasi," katanya dengan nada tenang.
Naruto melangkah lebih dekat, matanya tak lepas dari Maho yang masih berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.
"Dan hujan…" Naruto melanjutkan, suaranya lebih dalam dan penuh keyakinan. "Hujan adalah apa yang kau ciptakan untuk Hayasaka Aoi."
Maho sedikit mengerutkan keningnya, tapi Naruto tidak memberinya kesempatan untuk menyela.
"Kau menggunakan rumor tentang Yamato dan Ouka untuk menebarkan ketakutan dan kecemasan di sekitar Hayasaka," lanjutnya. "Kau ingin dia tidak merasa nyaman setelah mendapatkan Fujimoto Kei. Kau ingin dia terus berada dalam bayang-bayang ketidakpastian, takut kapan pun semuanya akan runtuh."
Keheningan menyelimuti tempat itu sejenak. Fujimoto Kei menoleh ke arah Maho, ekspresinya tak lagi sekadar bingung—ada kemarahan yang perlahan muncul di matanya.
"Kau ingin Hayasaka merasa sendirian," Naruto menambahkan, suaranya lebih lembut tetapi menekan. "Kau ingin dia merasa seolah-olah dia hanya bisa menunggu sesuatu yang buruk terjadi. Kau membuatnya percaya bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman untuknya, bahwa kebahagiaan yang dia miliki saat ini hanyalah fatamorgana yang akan segera menghilang."
Maho mengepalkan tangannya, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri. Dia mengertakkan giginya, tapi tetap diam.
Naruto menyipitkan mata. "Apa itu membuatmu puas, Maho? Melihatnya cemas? Membuatnya merasa bersalah karena mencintai seseorang? Kau ingin dia tidak bisa menikmati langit biru yang selama ini dia miliki, hanya karena kau tidak bisa memilikinya lagi?"
Naruto bisa melihat bagaimana kata-katanya mulai menusuk. Wajah Maho sedikit berubah—tidak sepenuhnya defensif, tapi ada emosi yang samar di sana.
Fujimoto Kei menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara yang lebih rendah, "Maho… apa ini benar?"
Maho masih diam, tapi tangannya yang terkepal mulai gemetar.
Naruto melangkah mundur sedikit, membiarkan suasana tegang itu menggantung di udara. Dia telah mengatakan apa yang perlu dikatakan. Sekarang, semua tergantung pada Maho—apakah dia akan mengakui perbuatannya, atau mencoba menyangkalnya hingga akhir.
Maho akhirnya mengangkat wajahnya, menatap langsung ke arah Fujimoto Kei dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
"Apa itu salah?" suaranya bergetar, tapi tetap tegas. "Apa salah jika aku hanya ingin mendapatkan kembali seseorang yang pernah menjadi milikku? Apa salah jika aku ingin dia menyadari kalau akulah yang paling memahami dan mencintainya?"
Fujimoto Kei terdiam. Ada keterkejutan dalam ekspresinya, tapi bukan karena dia tidak mengira Maho akan mengatakan hal itu—melainkan karena dia tidak pernah benar-benar memikirkan betapa dalam perasaan Maho selama ini.
"Aku tidak ingin menyakitinya," lanjut Maho, suaranya lebih pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Aku hanya ingin dia mengerti… bahwa tidak ada yang bisa mencintainya seperti aku."
Naruto tetap berdiri di tempatnya, matanya menilai setiap kata yang keluar dari mulut Maho.
"Tapi kau memilih cara yang salah," ujarnya akhirnya, suaranya tenang tapi tak memberikan ruang untuk penyangkalan. "Jika kau benar-benar mencintainya, kau tidak akan mencoba merusak kebahagiaannya. Kau tidak akan menjebak orang lain sebagai kambing hitam. Kau tidak akan membuat Hayasaka hidup dalam ketakutan hanya karena kau tidak bisa menerima kenyataan."
Maho menoleh ke Naruto, matanya dipenuhi amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.
"Kau tidak mengerti!" teriaknya. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang begitu berarti!"
Naruto menghela napas. "Aku mengerti lebih dari yang kau kira."
Kata-katanya membuat Maho terdiam.
Fujimoto Kei akhirnya angkat bicara. "Maho… jika kau benar-benar mencintaiku, kau seharusnya ingin aku bahagia, kan?"
Maho menggigit bibirnya, tubuhnya gemetar.
"Tapi kebahagiaanmu adalah Hayasaka," katanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan putus asa. "Dan bukan aku."
Naruto hanya diam, membiarkan beban kata-kata itu menggantung di udara. Ini bukan lagi pertarungan untuk membuktikan siapa yang salah atau benar. Ini tentang seseorang yang akhirnya harus menghadapi kenyataan yang selama ini dia hindari.
Naruto menghela napas pelan sebelum menatap Maho dengan serius. Tidak ada kemarahan dalam sorot matanya, hanya ketegasan dan pemahaman.
“Maho,” katanya dengan suara tenang, “aku bisa mengerti perasaanmu. Kehilangan seseorang yang penting itu menyakitkan. Apalagi kalau orang itu berpaling dan menemukan kebahagiaan tanpa kita. Rasa iri, penyesalan, dan sakit hati bercampur jadi satu, dan rasanya dunia ini tidak adil.”
Maho tetap diam, tapi jari-jarinya mengepal erat.
“Tapi kau tahu? Hidup ini bukan tentang memaksa seseorang untuk tetap berada di sisi kita.” Naruto melanjutkan. “Hidup ini tentang bagaimana kita menerima kenyataan dan tumbuh darinya. Orang-orang akan datang dan pergi, hubungan berubah, dan kadang, tidak peduli seberapa besar kita berusaha, beberapa hal memang tidak bisa dipertahankan.”
Maho menundukkan kepala, napasnya berat.
“Kau ingin mendapatkan Kei kembali, kan?” Naruto bertanya, tapi tidak menunggu jawaban. “Tapi dengan cara seperti ini, apa yang kau harapkan? Bahkan jika Kei putus dengan Hayasaka karena rumor yang kau buat, apakah dia akan kembali padamu? Atau malah semakin menjauh karena menyadari sisi terburukmu?”
Maho menggigit bibirnya, matanya memerah menahan emosi.
“Kebahagiaan sejati tidak datang dari memaksa orang lain untuk tetap di sisi kita,” lanjut Naruto. “Terkadang, mencintai seseorang berarti merelakannya. Biarkan dia bahagia, meski bukan bersamamu. Dan kau juga harus menemukan kebahagiaanmu sendiri, tanpa bergantung pada orang lain.”
Maho terdiam cukup lama. Pundaknya bergetar, entah karena marah, sedih, atau kecewa pada dirinya sendiri.
Naruto tidak menekan lebih jauh. Dia hanya menatapnya, memberikan waktu bagi Maho untuk mencerna semuanya. Pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangannya.
Maho menunduk, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Napasnya berat, seakan beban yang selama ini dia tahan mulai runtuh perlahan.
“Aku… aku hanya ingin dia melihatku lagi…” suaranya bergetar, hampir tidak terdengar. “Aku tahu ini salah… tapi aku tidak bisa menahannya…”
Naruto tetap diam, membiarkan Maho mengeluarkan perasaannya sendiri. Dia tahu, terkadang seseorang tidak membutuhkan nasihat lagi—mereka hanya butuh seseorang yang mendengar.
Setelah beberapa saat, Maho menghela napas panjang, lalu mengangkat wajahnya. Ada air mata yang menggantung di sudut matanya, tapi senyum tipis penuh kepahitan juga terukir di sana.
“…Aku kalah,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. “Aku sudah tahu ini akan terjadi, tapi aku masih berharap keajaiban terjadi.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Hayasaka Aoi muncul dari balik koridor dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dia tidak tampak marah, tidak juga sombong karena telah ‘menang’.
Sebaliknya, dia hanya menatap Maho dengan penuh pengertian, sebelum tanpa peringatan, menariknya ke dalam pelukan lembut.
Maho membeku sejenak, tubuhnya kaku. Namun, begitu kehangatan Hayasaka menyelimutinya, pertahanannya runtuh. Dengan isakan tertahan, dia membenamkan wajahnya ke bahu Hayasaka, membiarkan emosi yang selama ini dia pendam mengalir.
Naruto hanya memperhatikan, tidak ingin mengganggu momen itu. Dia tahu, ini bukan tentang menang atau kalah. Ini tentang seseorang yang akhirnya menghadapi dirinya sendiri dan orang lain yang cukup besar hati untuk memaafkan.
Kadang, penyelesaian terbaik bukanlah hukuman—tapi kesempatan untuk berubah.
Di ruang klub relawan, suasana terasa lebih ringan setelah kasus yang mereka tangani mencapai titik akhir. Namun, masih ada diskusi yang harus dilakukan.
Yukino duduk dengan anggun di kursinya, menatap Naruto dengan mata tajam seperti biasa. “Harus kuakui, pendekatanmu cukup efektif. Kau tidak hanya menemukan pelaku, tetapi juga menyelesaikan masalah ini tanpa memperburuk keadaan.”
Yui yang duduk di sebelahnya tersenyum lega. “Iya! Aku pikir bakal ada drama lebih besar, tapi ternyata semuanya bisa diselesaikan dengan baik… Meskipun aku masih nggak nyangka Maho bisa melakukan hal seperti itu.” Dia menghela napas, lalu menatap Naruto dengan kagum. “Kamu keren banget, Naruto!”
Sementara itu, Hachiman hanya mendengus kecil sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Hmph… Aku sudah menduga hasilnya seperti ini sejak awal. Rumor itu terlalu rapi untuk sekadar gosip biasa. Tapi tetap saja, cara penyelesaiannya terasa terlalu dramatis untuk seleraku.”
Naruto, yang sejak tadi diam, hanya tersenyum tipis. “Kadang, orang butuh sesuatu yang dramatis untuk benar-benar memahami perasaan mereka sendiri.”
Yukino mengangkat alisnya sedikit, lalu menyilangkan tangan. “Dan sekarang, bagaimana dengan Hayasaka Aoi? Apakah dia benar-benar baik-baik saja setelah semua ini?”
Naruto mengangguk. “Dia akan baik-baik saja. Setidaknya, dia tidak perlu lagi takut dengan ancaman yang tidak terlihat.”
Yui tersenyum lega. “Syukurlah…”
Hachiman menatap Naruto dengan sedikit skeptis. “Tapi kau sendiri… kenapa mau repot-repot menyelesaikan ini sampai sejauh itu?”
Naruto hanya menatap jendela dengan tenang. “Karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga dan tidak bisa berbuat apa-apa.”
Jawaban itu membuat ketiga anggota klub relawan terdiam. Mereka tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Naruto, tapi untuk pertama kalinya, mereka merasakan sedikit kedalaman yang jarang terlihat dari dirinya.
Yukino akhirnya menghela napas. “Baiklah, karena masalah ini sudah selesai, aku akan menganggap tugas kita sudah selesai juga.”
Yui mengangkat tangannya penuh semangat. “Setuju! Sekarang kita bisa santai, kan?”
Hachiman hanya mengangkat bahunya, sementara Naruto tersenyum kecil. Dalam diam, dia merasa puas dengan bagaimana semuanya berakhir.