Bismarck telah tenggelam. Pertempuran di Laut Atlantik berakhir dengan kehancuran. Kapal perang kebanggaan Kriegsmarine itu karam, membawa seluruh kru dan sang laksamana ke dasar lautan. Di tengah kegelapan, suara misterius menggema. "Bangunlah… Tebuslah dosamu yang telah merenggut ribuan nyawa. Ini adalah hukumanmu." Ketika kesadarannya kembali, sang laksamana terbangun di tempat asing. Pintu kamar terbuka, dan seorang gadis kecil berdiri terpaku. Barang yang dibawanya terjatuh, lalu ia berlari dan memeluknya erat. "Ana! Ibu kira kau tidak akan bangun lagi!" Saat melihat bayangan di cermin, napasnya tertahan. Yang ia lihat bukan lagi seorang pria gagah yang pernah memimpin armada, melainkan seorang gadis kecil. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah bereinkarnasi. Namun kali ini, bukan sebagai seorang laksamana, melainkan sebagai seorang anak kecil di dunia yang sepenuhnya asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Akihisa Arishima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Toko Pandai Besi
Setelah membayar makan siang, mereka meninggalkan kedai dengan perut kenyang dan hati yang hangat. Udara di Drachenburg terasa sejuk, angin sore berembus lembut di antara gang-gang berbatu kota.
Namun, langkah mereka terhenti ketika suara dentingan logam menggema dari kejauhan.
Ting! Ting! Ting!
Seperti palu yang menempa baja dengan penuh kekuatan.
Anastasia menoleh ke arah sumber suara, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Dari kejauhan, terlihat asap tipis mengepul dari cerobong besi sebuah bengkel yang terletak dua blok dari tempat mereka berdiri.
Di depan bengkel, sebuah papan kayu tua dengan ukiran kasar bertuliskan "Grimholdt's Forge" tergantung di atas pintu masuk. Toko itu terlihat sederhana, namun koleksi senjata dan peralatan tempurnya tertata rapi di rak kayu dan dudukan besi.
"Bagaimana kalau kita ke sana sebentar?" ajak Anastasia, suaranya dipenuhi antusiasme.
"Oke, Kak! Sepertinya menarik!" sahut August penuh semangat.
Hana hanya tersenyum, mengikuti mereka tanpa banyak kata.
Begitu mereka mendekat, suara dentingan semakin jelas. Di dalam bengkel, seorang dwarf bertubuh kekar tengah menempa sebilah pedang di atas landasan besi. Tangan kasarnya menggenggam palu besar, setiap pukulannya memercikkan cahaya merah dari logam panas yang ditempa.
Di balik meja kasir, seorang gadis mendekat dengan ramah.
"Selamat datang di Grimholdt’s Forge! Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan senyum profesional.
"Aku Tania, anak pemilik toko ini. Jika kalian mencari sesuatu, jangan ragu untuk bertanya," lanjutnya.
Anastasia mengambil sebuah pedang kecil namun kokoh dari rak dan memperhatikannya dengan penuh minat.
"Apakah ini buatan pemilik toko?" tanyanya.
Tania mengangguk bangga. "Tentu saja. Ayahku yang menempa pedang itu dengan sepenuh hati. Ia selalu mendedikasikan dirinya untuk menciptakan senjata berkualitas tinggi. Pedang yang nona pegang terbuat dari mithril, salah satu bijih terkuat yang sulit didapat. Itu sebabnya pedang ini begitu kokoh sekaligus ringan."
Anastasia mengangguk, lalu bertanya lagi, "Selain pedang, apakah aku bisa memesan sesuatu yang berbeda?"
"Tentu. Jika nona ingin pedang, pisau, atau senjata lain, aku bisa membantu," jawab Tania dengan ramah.
Anastasia menggeleng pelan. "Bukan itu yang kuinginkan. Aku mencari sesuatu yang bisa… menembak."
Tania mengerutkan kening. "Menembak? Maksud nona… panah atau crossbow?"
"Bukan," jawab Anastasia, menolak dengan halus.
Tania terlihat kebingungan tentang permintaan pelanggan barunya. Sementara itu, August dan Hana sibuk mengamati berbagai senjata yang dipajang. August mengambil sebuah pedang panjang dan mengangkatnya dengan satu tangan.
"Lihat, Bibi Hana! Pedang ini cukup ringan dan seimbang!" serunya.
Hana menerima pedang itu dan mencobanya. "Anda benar, Tuan August. Pedang ini sangat ringan, tidak sesuai dengan ukurannya."
Di saat yang bersamaan, di seberang ruangan, si dwarf pemilik toko mendengarkan percakapan Anastasia dengan Tania. Ia akhirnya menghentikan pekerjaannya, mengusap keringat di dahinya, lalu berjalan mendekat.
"Menarik… Bisa kau jelaskan lebih detail tentang senjata yang kau maksud?" tanyanya dengan suara berat.
Anastasia berpikir sejenak, lalu bertanya, "Apakah Anda memiliki kertas dan pena? Menjelaskannya dengan kata-kata saja akan terasa sulit."
Halbert, sang pemilik toko, mengangguk dan menyerahkan beberapa lembar kertas. Dengan keterampilan yang dimilikinya, Blueprint Memory, Anastasia mulai menggambar. Garis-garis sketsa perlahan terbentuk, menciptakan desain sebuah senjata yang ia kenali dengan baik—Mauser C96, pistol favoritnya di kehidupan sebelumnya.
Mata Halbert berbinar melihat gambarnya. "Menarik! Jika kau bisa menggambarnya sedetail ini, aku bisa membuatnya."
Namun, ekspresinya sedikit berubah saat ia menunjuk bagian peluru dalam sketsa tersebut. "Tapi untuk bagian ini… gunpowder smokeless? Aku tidak tahu apa itu."
Ia berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Mungkin kau bisa bertanya pada seorang alkemis. Di selatan, dekat sungai, ada seorang alkemis bernama Cindy. Dia mungkin bisa membantumu."
"Dan untuk senjatanya, karena desainnya terlihat begitu rumit, mungkin akan memakan waktu sekitar satu hingga dua bulan. Bagaimana?" ucap Halbert, memberi tahu Anastasia perkiraan waktu penyelesaiannya.
"Tentu. Untuk pembayarannya bagaimana?" tanya Anastasia.
"Tenanglah, Nak. Jika senjata pesananmu sudah selesai dan sesuai, kamu bisa membayarnya nanti," jelas Halbert.
Anastasia mengangguk. "Terima kasih atas informasinya."
Setelah menyelesaikan perbincangannya, Anastasia berjalan menghampiri Hana dan August yang masih sibuk melihat-lihat.
"Apa nona sudah selesai?" tanya Hana.
Anastasia mengangguk. "Ya, tapi… setelah ini, apakah bibi bisa mengantarku ke seorang alkemis di dekat sungai?"
Hana mengangkat alisnya. "Maksud nona… Cindy si alkemis?"
Anastasia menatapnya dengan bingung. "Iya, apakah ada yang salah?"
Hana tersenyum. "Tidak, Nona... Kebetulan, Cindy adalah teman lamaku."
"Apakah Bibi bisa mengantarku ke sana sekarang?" tanya Anastasia penuh harap.
Namun Hana menggeleng lembut. "Maaf, nona. Hari sudah malam. Jika kita tidak segera kembali, Tuan Heinrich, Nyonya Liliana, dan Nyonya Seraphina pasti akan khawatir."
Ia melirik August yang kini terlihat mengantuk, lalu mengangkatnya ke gendongan.
"Dan sepertinya, Tuan August sudah kelelahan," tambahnya dengan lembut.
Anastasia menghela napas kecewa. "Baiklah… Mari kita pulang."
Hana tersenyum kecil. "Besok pagi, aku bisa mengantarmu ke Cindy. Bagaimana?"
Mendengar itu, wajah Anastasia kembali cerah. "Benarkah? Kalau begitu, kita pergi besok!"
Mereka akhirnya meninggalkan bengkel, membawa lebih dari sekadar pengetahuan tentang senjata—mereka membawa pengalaman yang membuat perjalanan mereka di Drachenburg semakin berkesan.
Setelah tiba di rumah, Heinrich menyambut mereka di ruang tamu. Dengan tangan terlipat di dada, pria itu menatap Anastasia dan August yang tengah di gendong Hana dengan penuh rasa ingin tahu.
"Kalian ke mana saja seharian ini?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh selidik.
Anastasia melepaskan mantel dan meregangkan tubuhnya yang lelah. "Aku pergi ke perpustakaan, makan siang, lalu ke toko pandai besi ayah," jawabnya sambil menghela napas. "Di sana, aku memesan sesuatu."
Dari dalam kamar, Seraphina keluar dan menatap putrinya dengan penasaran. "Apa kamu memesan pedang untuk senjata pertamamu?"
Anastasia tersenyum tipis. "Tidak, Ibu. Aku hanya memesan sesuatu yang lebih praktis, mungkin semacam crossbow," jelasnya, berusaha menyembunyikan kebenaran bahwa ia sebenarnya telah memesan senjata api.
Ini hanya untuk pertahanan diri, sumpah aku tidak berbohong! batinnya sambil menahan senyum.
Heinrich mengangguk kecil sebelum berkata, "Baiklah, karena sudah larut malam, pergilah mandi. Setelah makan malam, langsung tidur."
Setelah percakapan singkat itu, Anastasia menuju kamar mandi bersama August yang masih terlihat mengantuk. Air hangat di kolam mandi membuat tubuhnya rileks setelah seharian berkeliling kota. Sementara itu, August dimandikan oleh Hana dengan penuh perhatian.
Setelah mandi, mereka berkumpul di ruang makan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan, menciptakan suasana nyaman yang menenangkan. August, yang setengah sadar karena kantuk, duduk di pangkuan Liliana dan disuapi dengan lembut oleh ibunya.
Makan malam berlangsung dalam kehangatan keluarga, dan setelah itu, Anastasia serta August pergi ke kamar mereka. Anastasia meregangkan tubuhnya dan menguap lebar.
"Sepertinya, besok akan menjadi hari yang sibuk," gumamnya pelan.
Begitu kepalanya menyentuh bantal, matanya langsung terpejam. Dalam hitungan detik, ia sudah terlelap, siap menghadapi apa pun yang menantinya esok hari.