" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liontin
Raya masuk ke kamarnya dan membuka lemari pakaian. Tangannya perlahan meraih seuntai kalung yang sudah lama tak ia pakai. Kalung itu berwarna emas putih, dengan liontin berbentuk hati berwarna putih. Kalung tersebut adalah hadiah dari ayahnya, sebuah kenang-kenangan yang ia simpan dengan penuh hati-hati.
Raya memperhatikan kalung itu sejenak, dan ingatannya melayang ke saat terakhir ia bersama ayahnya. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menyelinap di hatinya. "Kok mirip ya, sama yang dipakai Naila," gumamnya pelan, teringat pertemuannya dengan gadis itu di pasar.
Seketika ia merasa ada sesuatu yang aneh. Namun, ia segera menepis perasaan itu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin itu hanya kebetulan. Raya pun meletakkan kembali kalung itu di tempatnya, sambil menghela napas panjang.
Meski mulutnya sering berkata bahwa ia sangat membenci ayahnya, hatinya berkata lain. Ada sesuatu yang terus menolak kebencian itu, seperti perasaan yang enggan untuk melepaskan semua kenangan yang tersisa. Setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tak peduli, ada bisikan halus yang membuatnya ragu, menyelipkan rasa hangat yang tak mudah dilupakan.
Raya menggenggam kalung itu erat, merasakan kenangan yang terkandung di dalamnya. "Kenapa, sih, harus begini?" bisiknya dengan nada kecewa, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Terkadang, antara kebencian dan rindu memang hanya ada batas tipis yang sulit dijelaskan.
Kalung itu, liontin berbentuk hati yang begitu sederhana, tapi sarat makna. Perasaan yang ia simpan di dalamnya bukan hanya tentang cinta ayahnya, tetapi juga tentang segala yang hilang dan tak pernah bisa ia dapatkan kembali.
Di sisi lain, Naila Syahda duduk di kursi dekat meja kecil di sudut kamar. Matanya terfokus pada sebuah foto keluarga yang terletak di atas meja itu. Foto lama yang memuat gambaran kebahagiaan masa kecilnya. Dalam foto itu, terlihat papanya yang sedang tersenyum lebar di samping mamanya, sementara dirinya yang masih kecil berdiri di antara mereka, tersenyum malu-malu.
Naila memandang foto itu dengan perasaan yang campur aduk. Ada kenangan yang begitu hangat, namun juga luka yang sulit dilupakan. Foto itu adalah satu-satunya benda yang tersisa dari masa kecilnya yang penuh dengan kasih sayang dan perhatian. Namun, setelah banyak hal berubah, foto ini juga menjadi pengingat dari segala yang hilang.
Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir perasaan berat yang muncul. “Kenapa semua berubah begitu cepat?” gumamnya pelan. Wajah kedua orang tuanya dalam foto itu tampak bahagia, namun Naila tahu bahwa kenyataan di balik itu jauh berbeda. Setelah kejadian yang mengubah hidupnya, tak banyak lagi yang ia ingat tentang kebahagiaan tersebut.
Naila menyentuh foto itu perlahan, seakan merasakan kehangatan dari papanya dan mamanya. Namun, hatinya tetap terasa kosong, tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.
Naila mengusap lembut wajah mamanya dalam foto itu, seolah mencoba merasakan kehadiran ibunya yang telah lama pergi. Matanya sedikit berkaca-kaca, namun ia berusaha tetap tegar. "Ma, aku sudah ta'aruf dengan laki-laki yang aku cintai. Doakan semoga semua berjalan lancar, ya, Ma," lirihnya, hampir tak terdengar, namun setiap kata itu penuh dengan harapan dan kerinduan.
Suasana di kamar itu terasa sepi, hanya suara detakan jam di dinding yang terdengar, namun perasaan Naila begitu berat. Ia merasa seperti ada banyak hal yang belum sempat ia bagi dengan ibunya, banyak impian yang ingin ia capai, namun semua itu terasa terhenti di tengah jalan tanpa kehadiran ibu di sampingnya.
Namun, kali ini ada secercah harapan di dalam hatinya. Meskipun perasaan itu terbungkus dalam kesedihan, Naila merasa yakin bahwa ibunya akan mendukung keputusan yang ia ambil. Ia percaya, doa ibu adalah kekuatan yang paling besar dalam hidupnya.
Dengan perlahan, Naila menunduk sejenak, menenangkan hatinya yang bergejolak. "Aku pasti bisa, Ma," bisiknya, kemudian meletakkan foto itu kembali ke meja kecil di sudut kamar, berusaha meyakinkan dirinya bahwa meskipun ibu tidak ada di sini, doanya tetap mengiringinya.
Tring... tring...
Suara ponselnya berbunyi, dan Naila melihat nama "Papa" muncul di layar. Dengan cepat, ia menggeser tombol hijau untuk menjawab.
"Assalamualaikum, Pa," sapa Naila dengan suara lembut.
"Waalaikumsalam, Nai. Gimana kabarmu?" suara Papa terdengar hangat dari ujung telepon.
"Alhamdulillah, baik-baik saja, Pa," jawab Naila, sedikit lega mendengar suara ayahnya.
"Alhamdulillah. Oh, iya, lusa Papa pulang. Minggu depan keluarga Aljazair akan datang ke rumah kita. Kita akan bahas soal lamaran kamu dan Bilal," kata Papa, suaranya penuh kehangatan dan ketenangan.
Naila terdiam sejenak, hati yang tadinya penuh dengan keraguan kini dipenuhi dengan perasaan campur aduk. Ia tak tahu harus merasa senang atau takut dengan pembicaraan tentang lamaran itu.
"Baik, Pa," jawab Naila akhirnya, mencoba terdengar tenang meskipun dalam hatinya ada banyak pertanyaan yang belum terjawab.
"Papa sudah bicara dengan keluarga Bilal, semuanya sudah dipersiapkan. Kamu pasti sudah siap, kan?" tanya Papa dengan nada yang penuh harapan.
Naila menghela napas, memandang foto keluarga di meja yang tadi ia usap, "Insya Allah, Pa. Aku akan siap."
"Jaga diri baik-baik ya, Nai. Papa dan Mama selalu mendukungmu," ujar Papa, suara lembutnya memberikan ketenangan di hati Naila.
"Terima kasih, Pa," jawab Naila, suara itu mulai terdengar lebih tenang meskipun pikirannya masih sibuk berputar.
Setelah percakapan itu, Naila menatap foto di meja lebih lama. Rasanya seperti ada berat di hatinya yang belum bisa ia ungkapkan. Dengan lembut, ia menyentuh foto Mama, "Semoga semua ini berjalan lancar, Ma. Semoga aku bisa membuat keputusan yang tepat."
Naila menghela napas, berusaha menenangkan diri sebelum mempersiapkan segala sesuatunya untuk kedatangan keluarga Aljazair yang akan datang.
Naila duduk di balkon, menatap langit sore yang mulai berwarna oranye, pikirannya melayang jauh. "Gus Bilal, apakah kamu benar-benar membalas perasaanku? Kau benar ingin melamarku?" tanyanya pada diri sendiri, suara hatinya penuh keraguan.
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan apakah perasaan itu benar-benar ada. Selama ini, Bilal selalu terlihat serius, tapi apakah itu hanya karena tuntutan keluarga ataukah ada sesuatu yang lebih dalam?
Jauh di sana, di halaman belakang rumahnya, Raya duduk termenung, menatap langit sore yang perlahan berubah warna menjadi jingga. Angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya, membawa kenangan masa kecil yang sudah lama terkubur. Dulu, setiap sore, ia sering berjalan kaki bersama ayahnya, menikmati langit yang begitu indah dan tenang. Mereka berdua berjalan berdampingan, berbicara tentang banyak hal, sementara langit sore memberi mereka kedamaian yang sederhana.
Namun, kini semua itu terasa jauh. Raya merasakan kekosongan yang mengisi dadanya setiap kali ia teringat ayahnya. Ada rindu yang tak terucapkan, sebuah perasaan yang bertentangan dengan kata-kata yang sering ia lontarkan tentang benci. Sambil menatap langit yang mulai gelap, Raya mencoba menggali kenangan itu lagi, berharap bisa menemukan kedamaian yang dulu pernah ia rasakan.
“Kenapa harus begini?” gumamnya pelan, seolah berharap langit sore itu bisa memberi jawaban. Seiring dengan berlalunya waktu, ia tahu bahwa perasaan tak mudah untuk dilupakan, meski terkadang ia ingin sekali melepaskannya. Sebuah suara kecil dalam hatinya mengatakan bahwa mungkin, perasaan itu tidak perlu disangkal. Mungkin, ada bagian dari dirinya yang masih merindukan ayahnya, meski segala sesuatunya telah berubah.
"Masih di sore yang sama, masih di desa yang sama, tapi bukan bersamanya," lirih Raya, tatapannya kosong menembus langit yang semakin gelap.
Kenangan itu datang begitu saja, seolah-olah waktu tak pernah bergerak, tetap membawa kesan yang sama. Raya merasakan setiap detik seakan berhenti sejenak, membawa kembali suara tawa ayahnya, langkah kaki mereka yang seiring, dan rasa nyaman yang dulu ada di antara mereka. Tapi itu semua kini terasa jauh, seperti mimpi yang hilang saat terbangun.