Cerita untuk 17+ ya..
Chika terpaksa harus menerima sebuah perjodohan dari orangtuanya. Perjodohan yang membuat Chika menolaknya mentah-mentah, bagaimana tidak? Dia harus menerima pernikahan tanpa cinta dari kakak pacarnya sendiri.
Kok bisa? Chika berpacaran dengan Ardi tapi dinikahkan dengan kakaknya Ardi yang bernama Bara. Seperti apa kelanjutan pernikahan tanpa cinta dari perjodohan ini? Mampukah Bara menakhlukan hati Chika? Lanjut baca Kak..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rena Risma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4
Bara menatap wajah ku dengan sorot mata penuh harap, memegang tanganku seolah takut kehilangan. Ada getaran berbeda yang aku rasakan, aku bahkan tidak mengerti perasaan apa yang saat ini aku rasakan.
"Aku mau mengajakmu jalan-jalan, aku harap kau tak menolak, " ucapnya dengan tutur kata yang lembut.
Aku hanya menganggukkan kepalaku, lalu berjalan mengiringi langkah kaki Bara.
"Boleh aku meminta sesuatu padamu Chika?" tanyanya padaku.
"Apa? "
"Aku ingin kau memanggilku mas Bara dan aku akan memanggilmu sayang, boleh?" pintanya, sekali lagi aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa bicara.
Bara menuntunku menuju mobilnya yang terparkir didepan rumah. Dia juga membukakan pintu mobil untukku dengan senyum manisnya. Benar kata Ardi, Bara punya segalanya yang diidamkan para wanita. Tampan, baik, romantis dan dia sangat lembut, berbeda dengan Ardi yang agak kasar dan keras kepala.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, sesekali ku lihat Bara menatap ke arahku. Rasanya aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa diam mematung tanpa suara.
"Kau benar-benar manis, aku tidak menyangka kau sangat penurut seperti ini. Awalnya aku pikir kau akan melarikan diri dariku setelah menikah, tapi ternyata kau menjadi istri yang semanis ini. Chika, aku akan memberikan hadiah untukmu setiap hari, jika kau selalu menjadi istri yang baik untukku, " senyum Bara masih pokus menyetir tapi sebelah tangannya menggenggam tanganku.
Aku tersentuh mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya, benarkah yang dia bicarakan? Atau dia hanya sekedar merayu?
Mobil Bara berhenti disebuah bioskop yang cukup besar, matanya kembali menatap ke arahku.
"Kau ingat, kita dulu pernah nonton bioskop berdua? Saat kau meminta aku yang memilih film nya, dan kau ketakutan karena yang ku pilih itu ternyata film horor? " tawanya.
Aku mengingat kembali masa itu, waktu aku dan Farel masih kuliah di Australia. Saat aku diajak Farel nonton bioskop, tapi bukannya menikmati aku justru ketakutan setengah mati. Karena film yang Farel pilih ternyata film horor yang sangat aku takutkan.
"Kau bahkan tertawa, tak ada niat kah kau meminta maaf padaku?" ucapku tanpa menoleh kearahnya.
Bara memegang kedua tanganku menghadap kearahnya, wajah ramahnya dan senyum simpul di bibirnya benar-benar membuat jantungku berdebar. Aku mencoba melepaskan tangannya, menghindar dari hadapannya tapi Bara memeluk tubuhku dari belakang. Bibirnya berada tepat di telingaku, aku kini bisa merasakan hembusan nafasnya. Sementara tangannya melingkar di pinggangku, membuat perasaanku semakin tak karuan.
"Lepaskan aku, " kataku.
"Aku ingin minta maaf padamu, tentang hal yang pernah aku lakukan dulu padamu. Maafkan aku sayang, " kata Bara sambil melepaskan pelukannya, dan mengusap rambutku lembut.
"Lalu, kita mau apa kemari? " kataku mulai berani bertanya.
"Nonton film, memang mau apalagi? "
"Aku tidak mau. "
"Tapi kenapa? "
"Aku takut film horor, " ucapku sambil memegang tangannya. Bara tersenyum kearah ku, lalu memegang tanganku agar memeluk tubuhnya. Aku melotot kaget tapi aku tidak menolak, aku terus berjalan memeluk pinggangnya sampai ketempat pembelian tiket.
"Kau boleh pilih film apa yang kau suka, " katanya.
"Aku mau film komedi, " pintaku sambil menatap wajah Bara.
"Komedi? Kau tak ingin nonton film romantis berdua dengan suamimu ini? " katanya agak memohon.
"Tapi apa nanti kau tidak jenuh, jika aku memilih film itu?" tanyaku dengan suara agak manja.
"Tidak, aku tidak akan jenuh selama kau di sampingku, " senyumnya yang lagi-lagi membuat jantungku berdebar.
"Aku tunggu disini, " ucapku.
"Jangan mencoba kabur dariku ya? " pintanya.
Siapa wanita yang akan meninggalkan laki-laki sempurna seperti dirimu? Aku bahkan melupakan kebencian ku seketika, saat sudah mengenalmu.
Bara memegang tanganku, lalu memintaku duduk di kursi paling depan. Mata Bara masih tak henti menatap kearah wajahku, entah apa yang membuatnya sangat tertarik padaku. Aku menggeser dudukku agak jauh dari Bara, tapi Bara ikut bergeser mendekat ke arahku.
"Jangan jauh dariku, " bisik Bara, yang lagi-lagi membuatku semakin salah tingkah. Apa dia tidak tahu, berdekatan dengannya membuat jantungku terus berdebar keras, kalau lama-lama diberi perlakuan seperti ini bisa-bisa aku sakit jantung.
Aku dan Bara mulai pokus dengan film romantis yang kami tonton. Sesekali aku menangis tapi kemudian aku tertawa saat endingnya bahagia. Bara ternyata tidak menonton film itu, dia malah asyik menatap wajahku.
"Apa yang sedang kau lakukan? " tanyaku.
"Sedang menatap wajah istriku," ucap Bara dengan senyum.
"Kau tidak nonton filmnya?"
"Filmnya tidak seru, aku hanya tertarik menonton wajahmu saja, " tawanya.
"Dasar aneh. " Aku ikut tertawa, mendengar perkataan Bara tadi.
Bara kembali menggenggam tanganku keluar dari gedung bioskop itu. Beberapa kali ku lihat Bara menggigit bibirnya, sampai terlihat bibir itu memerah. Warna bibir yang sangat menggairahkan. Ingin rasanya aku melakukan kembali adegan dikamar pada malam itu, saat Bara mencumbu bibirku mesra. Tidak, hal konyol apa yang sedang aku pikirkan!
Aku melepaskan tangan Bara, berusaha untuk mengendalikan diriku dari hal gila yang mulai menyerang otakku.
"Kenapa dilepas sayang, " tanyanya.
Aku kembali diam, tak menoleh kearah laki-laki yang selalu bersikap manis itu. Aku takut semakin hanyut dalam cintanya, aku memilih untuk menghindarinya karena aku belum tahu apa tujuannya menikahi ku.
"Apa kau marah karena aku terus menatap wajahmu? " tanyanya masih dengan suara lembut.
"Tidak. "
"Lalu kenapa? "
"Tidak apa-apa, aku hanya tidak suka disentuh laki-laki, " ucapku sekenanya.
"Tapi jika adikku yang menyentuhmu, apa kau juga akan menolak?" tanyanya terlihat serius.
Deg!
Seketika wajahku berubah kesal, perkataan dari bibir Bara benar-benar menyudutkan ku.
Aku memang sangat mencintai Ardi, tapi apa aku pantas disudutkan begini oleh Bara perihal masalaluku dengan Ardi.
"Maaf, tapi aku merasa kau sangat jijik padaku. Apa tidak bisakah kau memberiku kesempatan untuk bisa dicintai olehmu juga?" pintanya, terlihat ada butiran air mata yang menetes di pipiku.
"Kenapa menangis? Apa ucapan ku menyakitkan hatimu? Aku benar-benar minta maaf padamu sayang, " ucap Bara sambil mengusap air mataku.
"Aku yang minta maaf, kau melihatku bersama Ardi semalam dikamar mu. Bahkan dimalam pernikahan kita, Ardi berusaha melakukan hal kotor padaku. Apa kau marah padaku? Apa kau membenciku?" ucapku, air mataku terus mengalir mewakili rasa bersalahku pada suami baik seperti Bara.
"Tidak, " ucapnya lembut.
"Kau tidak marah melihat Ardi melakukan hal buruk padaku? "
"Tentu aku marah, siapa laki-laki hebat yang tidak marah melihat istrinya hampir disetubuhi oleh adiknya sendiri. " ucap Bara.
"Lalu kau membenciku? "
"Aku tidak membencimu, itu semua murni kesalahan Ardi. "
"Terimakasih, " ucapku sambil memeluk tubuh Bara erat. Aku mendengar suara tawa dari bibir Bara, seketika aku melepaskan pelukanku.
"Kenapa dilepas? "
"Maaf aku lancang, " ucapku sambil tertunduk malu. Bara menyentuh daguku, mengarahkan wajahku menghadap kearahnya.
"Kau itu istriku, kau berhak atas diriku dan seluruh tubuhku. " ucap lembut Bara.
Seketika aku tertegun mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya, dia terlihat begitu bangga dengan gelarnya sebagai suamiku. Sementara aku terus menghindarinya, takut jika nanti aku semakin terjerat cintanya dan tak bisa lepas.
"Kenapa diam? Aku menunggu pelukanmu, " ucapnya sambil melingkarkan tangannya di leherku.
"Peluk aku, " pintanya lagi.
Aku tak menjawab, bergerak pun tidak, hanya pokus menatapnya yang kini berada di hadapanku. Aku menatap wajah itu, wajah tampan yang begitu baik dan manis. Dia selalu membuat ku merasa istimewa, dan merasa begitu dicintai.
"Kenapa melamun? " tanyanya tanpa merubah posisi.
"Tidak. "
"Kau mau makan?"
"Tidak. "
"Ice cream? "
"Tidak. "
"Bisa aku minta jawaban lain selain jawaban tidak," tawanya sambil mencubit pipiku. Aku menatap tawa itu, tawa kebahagiaan yang tidak bisa ditutupi.
"Apa kau benar-benar mencintaiku? " bibirku tiba-tiba mengucapkan kata-kata itu tanpa kendali.
Bara kembali menatapku, terlihat raut wajah tampan yang tak berhenti menatap ke arahku.
Dia memegang tangan kananku, lalu mencium tangan itu lembut.
"Sangat.. Aku sangat mencintaimu, " ucapnya terlihat begitu tulus.
Deg!
Detak jantungku kembali berdebar keras mendengar ucapan dari bibirnya yang selalu membuatku tersanjung. Siapa wanita yang tidak meleleh diperlakukan manis seperti Bara memperlakukan ku?
"Ayo pulang, " pintaku pada Bara.
Dia hanya tersenyum, memegang tanganku menuju mobilnya yang terparkir di depan gedung bioskop. Sepanjang perjalanan pulang, Bara masih terus mengemudikan mobil sambil sesekali menatap ke arahku. Aku masih mengacuhkannya dalam kebisuan, sesekali tangan nakalnya memegangi tanganku. Apa dia benar-benar seromantis ini? Atau dia memperlakukan semua wanita bak seorang putri? Atau hanya aku yang mendapat perlakuan istimewa ini?
Aku masih menerka-nerka sikap laki-laki yang kini sudah menjadi suamiku.
Tinggalkan jejak Komen, Vote, Like atau Jempol untuk dukung author, agar author semangat lanjutkan cerita.
Terimakasih.
Pokoknya aku ga mau .............................
Tapi Kalo Ganteng, Baik, keren 👍👍👍 Aku mau 😂😂😂