“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.
Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.
“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.
“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”
“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.
Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”
Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.
Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Identitas Baru
"Aku tidak bisa lagi menggunakan nama Aiden," gumamnya lirih, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Wajah Aiden tampak berat, seperti menahan beban besar yang tak mampu ia lepaskan.
Aliyah, yang duduk di depannya, menatapnya dengan penuh perhatian. "Lalu, apa rencanamu? Kau mau pergi lagi, menghilang begitu saja?"
"Aku tidak punya pilihan lain, Aliyah." Suara Aiden terdengar dingin, nyaris tanpa emosi. "Jika aku tetap tinggal, mereka akan menemukan aku. Dan kau akan terseret."
Aliyah terdiam, menggigit bibirnya dengan gelisah. Otaknya bekerja keras, mencari solusi di tengah situasi yang rumit ini. Ia tidak ingin Aiden pergi, apalagi setelah semua yang terjadi. "Bagaimana kalau kau mengganti identitasmu?"
Aiden mengangkat alis, jelas tidak menduga ide itu. "Ganti identitas?"
"Ya," jawab Aliyah tegas. "Kita buat identitas baru untukmu. Nama baru, dokumen baru. Kau bisa memulai semuanya dari awal, tanpa perlu terus dikejar-kejar seperti ini."
Aiden menyandarkan tubuhnya di kursi, merenungkan usulan itu. "Itu tidak semudah yang kau pikirkan. Membuat identitas baru butuh koneksi, butuh orang yang bisa dipercaya."
Aliyah tersenyum kecil. "Aku tahu seseorang yang bisa membantu. Dia teman lamaku. Dulu dia pernah membantu sepupuku yang punya masalah serupa."
Aiden menatap Aliyah dengan sorot mata penuh keraguan. "Kau yakin dia bisa dipercaya?"
"Dia satu-satunya harapan kita," kata Aliyah dengan mantap. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Aiden. Kau sudah menyelamatkanku, dan sekarang giliranku untuk menyelamatkanmu."
Aiden menghela napas panjang. Ia tahu Aliyah keras kepala, dan ia tidak punya tenaga untuk berdebat. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi ada syaratnya."
Aliyah mengangguk cepat. "Apa pun, aku setuju."
"Kau harus ikut kemanapun aku pergi," ujar Aiden serius. "Dan kau harus memakai hijab mulai sekarang. Sudah ada yang melihat kau bersamaku. Kita tidak bisa mengambil risiko."
Aliyah tertegun, tetapi kemudian mengangguk pelan. "Baik, aku setuju."
Pencarian Identitas Baru
Hari berikutnya, mereka berdua pergi menemui teman lama Aliyah, seorang pria bernama Raka yang tinggal di pinggiran kota. Raka memiliki reputasi sebagai seseorang yang bisa "mengatur" berbagai hal, termasuk membuat identitas baru.
"Aliyah!" Raka menyambut dengan senyuman lebar, tetapi matanya segera beralih ke Aiden, yang berdiri di belakangnya dengan ekspresi dingin. "Siapa dia?"
"Ini... temanku," kata Aliyah sambil canggung. "Aku butuh bantuanmu, Raka. Kami ingin membuat identitas baru untuknya."
Raka mengangkat alis, lalu mengamati Aiden dari ujung kepala hingga kaki. "Kasus besar, ya?"
Aiden hanya menatapnya tanpa menjawab.
Raka terkekeh. "Baiklah, aku tidak akan bertanya terlalu banyak. Tapi ini tidak murah, Aliyah. Dan aku butuh waktu."
"Aku punya uang," kata Aiden cepat. Ia meletakkan tasnya di meja dan membuka isinya, memperlihatkan beberapa batangan emas yang langsung membuat mata Raka melebar.
"Wow." Raka terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Kau tidak main-main, ya?"
"Namaku Aksara Brawijaya," kata Aiden tanpa ragu. "Itu identitas baru yang ingin aku gunakan."
Raka mengangguk pelan, mencatat nama itu di ponselnya. "Baiklah, Aksara. Tunggu dua hari. Aku akan urus semuanya."
Setelah identitas baru siap, Aiden, yang kini menggunakan nama Aksara Brawijaya, menyadari bahwa wajahnya tetap menjadi masalah. Ia masih bisa dikenali, terutama oleh mereka yang mengejarnya.
"Aksara," kata Aliyah pelan suatu malam, saat mereka duduk bersama di ruang tamu kecil miliknya. "Aku punya ide lain."
Aksara menatapnya dengan alis terangkat. "Ide apa lagi?"
"Kita bisa pergi ke Korea," kata Aliyah dengan nada yakin. "Aku dengar operasi plastik di sana sangat maju. Kau bisa mengganti wajahmu, membuat mereka tidak akan mengenalimu lagi."
Aksara terdiam, merenungkan usulan itu. Ia tahu itu adalah langkah ekstrem, tetapi mungkin satu-satunya cara untuk benar-benar menghilang. "Kau yakin mau ikut aku sejauh itu?"
"Tentu saja," jawab Aliyah tanpa ragu. "Aku sudah setuju untuk ikut kemanapun kau pergi, ingat?"
Setelah beberapa hari perencanaan, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi ke Korea. Dalam perjalanan, Aksara memandang Aliyah, yang duduk di sebelahnya di dalam pesawat. Wanita itu tampak tenang, meskipun ia tahu hidupnya akan berubah total setelah ini.
"Kau tidak takut?" tanya Aksara tiba-tiba.
Aliyah menoleh, tersenyum kecil. "Aku lebih takut kehilanganmu."
Aksara terdiam. Jawaban itu membuatnya merasa hangat, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Namun, ia juga tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang dirinya. Ini juga tentang Aliyah, yang telah mengambil risiko besar demi membantunya.
Di dalam hati, ia berjanji: jika ia berhasil melewati semua ini, ia akan memastikan Aliyah tidak akan pernah menyesal telah mempercayainya.
Namun, mereka tidak tahu bahwa bayangan masa lalu Aksara masih terus mengikuti mereka, bahkan di negeri yang jauh itu.
Aliyah menyesap kopi hangat di meja kecil pesawat, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran yang terus menghantui. Di sebelahnya, Aksara tampak sibuk memeriksa dokumen palsu yang baru saja mereka terima. Wajahnya serius, fokus, dan penuh ketegangan.
"Aksara," bisik Aliyah, mencoba memecah kesunyian. "Setelah operasi ini, apa kau benar-benar yakin semua akan baik-baik saja?"
Pria itu menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. "Tidak ada yang pasti, Aliyah. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Jika wajahku tetap seperti ini, mereka akan menemukanku. Dan aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu."
Aliyah terdiam, menatap pria itu dengan penuh rasa iba. Dia tahu Aksara menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar pelarian ini. Tapi ia tidak ingin menekannya, tidak di saat pria itu sudah cukup tertekan.
Pesawat mulai memasuki wilayah udara Korea, dan pengumuman pendaratan terdengar dari kabin. Aksara merapikan dokumennya, sementara Aliyah merasakan kegelisahan yang semakin membesar di dadanya.
"Aksara," panggilnya lagi, kali ini lebih pelan. "Kalau aku boleh tahu... apa yang sebenarnya kau hindari? Apa mereka benar-benar seburuk itu?"
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Aliyah dengan mata yang penuh dengan beban, seakan ingin mengatakan sesuatu tetapi menahan dirinya.
"Aku harap, setelah semua ini selesai, kau bisa lebih terbuka padaku," lanjut Aliyah. "Aku ingin membantumu, tapi aku tidak bisa kalau kau terus menyimpan segalanya sendiri."
Aksara akhirnya membuka mulut, tetapi suaranya begitu pelan, nyaris seperti bisikan. "Mereka bukan hanya buruk, Aliyah. Mereka adalah monster. Dan aku... aku tidak ingin kau menjadi korban mereka."
Ucapan itu membuat Aliyah merinding. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi detik itu juga pesawat mendarat, memutus percakapan mereka.
Di bandara, Aksara langsung mengambil langkah cepat, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Aliyah berusaha mengimbangi langkahnya, meskipun tubuhnya terasa lelah.
"Kau benar-benar yakin mereka tidak bisa menemukan kita di sini?" tanya Aliyah, matanya mengamati sekitar dengan waspada.
Aksara menoleh, memberi isyarat agar Aliyah tetap tenang. "Kita hanya punya waktu beberapa minggu. Setelah operasiku selesai, kita harus bergerak lagi."
Aliyah ingin memprotes, tetapi ia tahu percuma. Aksara tidak akan berubah pikiran. Ia hanya bisa berharap perjalanan ini akan membawa mereka ke tempat yang lebih aman.
Namun, di tengah keramaian bandara, sebuah bayangan muncul di belakang mereka—seorang pria berbadan besar dengan mata tajam yang terus mengawasi gerak-gerik mereka. Aksara belum menyadari, tetapi Aliyah mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.
"Siapa pria itu?" bisik Aliyah, melirik ke arah bayangan itu.
Aksara menghentikan langkahnya, menoleh perlahan, dan mendapati pria itu masih berdiri di sana, menatap mereka dengan senyuman samar. Wajahnya memucat seketika, dan ia menarik lengan Aliyah dengan cepat.
"Kita harus pergi," bisiknya tegas, mempercepat langkah menuju pintu keluar.
"Aksara, siapa dia?" desak Aliyah, kebingungan sekaligus ketakutan.
"Dia salah satu dari mereka," jawab Aksara dengan nada penuh ketegangan. "Mereka sudah menemukanku."
Aliyah terdiam, matanya melebar. Dalam sekejap, dunia yang baru saja ia harapkan menjadi tempat aman kembali terasa seperti medan perang. Ia mengikuti langkah Aksara tanpa banyak bertanya lagi, tetapi hatinya terus bertanya-tanya: sejauh mana mereka harus lari?
Di belakang mereka, pria itu mengangkat ponselnya, berbicara singkat dengan seseorang, lalu tersenyum lebar.
"Dia ada di sini," katanya, sebelum berjalan santai menuju arah yang sama dengan Aksara dan Aliyah.
Mereka mungkin telah menemukan identitas baru, tetapi masa lalu Aksara tidak akan menyerah dengan mudah.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi senuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.