7 Jiwa yang dipertemukan dan bahkan tinggal di satu atap yang sama, Asrama Dreamer.
Namun, siapa sangka jika pertemuan itu justru membuat mereka mengetahui fakta yang tak pernah ketujuhnya sangka sebelumnya?.
hal apa itu? ikuti cerita mereka di What Dorm Is This
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raaquenzyy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 (Kejadian aneh, lagi)
Setelah kejadian di kamar mandi, saat berjalan pulang menuju asrama. Noah, tidak henti - hentinya pemuda itu memikirkan tentang keanehan yang terjadi saat menunggu Nando.
"Lu, aneh dari kita keluar kamar mandi. Kenapa sih? Cerita aja ngapa," bisik Nando saat keduanya berjalan bersampingan sementara yang lain berada di depan seolah memimpin jalan.
"Gue, nggak tau lo bakal percaya apa enggak. Tapi Na, gue bener bener ngalamin hal aneh waktu di toilet. Yang bikin gue rada takut!" Nando mengerutkan keningnya, mencoba memahami ucapan temannya yang sedikit menggebu - gebu.
"Sabar, kenapa sih? Coba ceritain lebih spesifik gitu loh." pinta Nando.
"Jadi, waktu lo masuk ke salah satu bilik kamar mandi. Gue, ngeliat ada anak yang baru keluar dari salah satu bilik. Nah, gue kasih senyum kan, dia malah natap datar gue sambil tetep jalan ke arah wastafel samping gue. Ya kesel gue." jelas Noah.
"Gue ngomong dalam hati tuh, kalo mereka sok keren, sok cool pokonya gue ngata - ngatain dia. Eh tiba tiba dia ngomong gini. 'Maksudmu, kita?' gue merinding disitu njing. kaya, dia bisa dengan suara hati gua? makin merinding disitu, mangkanya gue ajak buru - buru cabut." lanjutnya.
"Kok serem anying? Kenapa ga cerita sih? Tau gitu gue ikutan lari, serem juga gue rasa - rasa tuh sekolah. Dari awal gue masuk asrama udah ga enak batin. Gimana ya? Gue ngerasa ada yang ga beres, tau." seru Nando.
"Ya kagak tau, di omongin ke yang lain nih? Gue jadi takut dah, Na." tanya Noah. Tanpa sadar jika mereka sudah tertinggal cukup jauh dari teman temannya yang lain.
"Selamat hidup dalam ketakutan."
Keduanya berbalik, tidak menemukan siapa di sana. "LO DENGER KAN?!" pekik Nando memastikan jika tak hanya ia yang mendengarkannya, membuat kelima teman mereka yang sudah sedikit jauh kembali menoleh dan meneriakkan nama mereka.
"Emang aneh, bertindak santai dulu. Na, kalau emang situasi tambah nggak beres baru kita ceritakan ke mereka. Oke? Sekarang coba santai dulu aja, gue juga takut tapi kalo panik malah di bilang halusinasi." balas Noah mencoba menenangkan Nando.
"Lo percaya kan sekarang kalau gue ga halu?! Ini yang gue rasain kemaren, sialan kenapa gue mulu sih!" gerutu Nando sembari terus berjalan dengan sesekali menengok ke arah Noah untuk memastikan jika ia tidak berjalan sendirian.
****
Sesampainya di asrama, ketujuhnya langsung pergi ke kamar untuk sekedar membersihkan diri. Ada beberapa yang tidur, bermain ponsel, bermain game dan ada yang pergi ke dapur untuk memasak. Contohnya pemuda pendek yang tengah asik berkutat di dapur, itu adalah Cakra.
"Masak apaan Cak?" Sang empu yang di panggil pun terkejut, menatap ke arah Hanif kesal yang justru tengah tertawa padanya. Cakra memutar bola matanya, melihat wajah Hanif yang tersenyum tengil.
"Ngagetin aja, kenapa bang? Laper juga?" tanya Cakra dengan tangan yang masih fokus mengaduk mie instan buatannya.
"Iya, titip buatin mie kuah aja dong. Laper nih, tadi males pergi kantin sama si, Rei." pintanya dengan wajah memohon.
"Jangan begitu anjing, Najis sok imut. Iya gue bikinin, satu bungkus atau dua bungkus? Pakai telur atau engga? Pakai cabe atau engga?" tanya Cakra beruntun.
"Satu bungkus, pakai telur, pakai cabe 5 ya sayang. Love you." Setelah mengatakan itu Hanif melenggang pergi keluar asrama tanpa. Mendengar umpatan yang keluar dari mulut Cakra.
"Najis gue kaga belok ya! Hanif, Tai!"
Hanif kembali tertawa geli saat ia berhasil menjahili Cakra, ia memilih keluar pintu asrama hanya untuk berdiri di pintu depan pintu tersebut untuk memperhatikan lorong yang ternyata masih banyak orang. Namun fokusnya teralih pada nomor nomor di setiap kamar, kenapa ia tidak sadar jika nomor pintu yang ia dan temannya tinggali ini 1304. Entahlah tapi hal ini cukup menarik untuk Hanif.
"Kaya hotel buset ada nomornya, tapi fasilitas masih kurang. Gue rada nggak suka sih tapi ya setidaknya gue dapet temen - temen yang asik." celetuk Hanif sembari kembali memperhatikan lorong yang cukup gelap karena pencahayaan dari beberapa lampu sedikit meremang. Mungkin sudah harus diganti.
Pria itu memicingkan matanya begitu ia melihat gadis dengan tampilan yang acak - acakan. Rambut yang berantakan, gaun selutut yang nampak lusuh dan wajah penuh memar. gadis itu nampak kesusahan membawa barang bawaan yang cukup banyak.
Hanif menghampiri wanita itu, berencana untuk memberikan bantuan karena merasa tak tega "Mbak, permisi. Mau saya bantu? kelihatannya mbak kesusahan." gadis itu menoleh lantas tersenyum manis.
"Terima kasih ya, ini. Kamu jalan lebih dulu aja, saya di belakang kamu." Hanif mengangguk lantas berjalan perlahan dengan kedua tangan yang penuh akan barang bawaan gadis itu.
"Nariknya bisa pelan sedikit?" mendengar ucapan itu, kening Hanif mengernyit lantas berbalik untuk melontarkan sebuah pertanyaan untuk gadis di belakangnya.
"Maksud mbak a-" Ucapannya terhenti, nafasnya seolah tercekat melihat pemandangan di hadapannya. Tangannya secara spontan melepaskan barang bawaan yang ia bawa. Badannya terduduk, secara perlahan ia mundur melihat gadis itu semakin maju.
"Kenapa kamu langsung lepas? Sakit tau!".
Ucapan itu berhasil membuat Hanif menoleh ke arah barang bawaannya yang terjatuh, ia semakin terkejut jika apa yang ia bawa tadi adalah kepala manusia dengan darah yang masih ada di sekitar dagu. Ia baru sadar jika ia sedari tadi yang ia genggam adalah rambut panjang yang acak - acakan.
"Kenapa kamu takut? Seharusnya kamu sudah terbiasa bukan? Ayo bantu antarkan." Setelah ucapan itu, sang gadis tertawa nyaring meski Hanif tak tau berasal dari mana suara sialan itu, di saat gadis yang ia bantu tadi justru tidak memiliki kepala!
Hal itu yang membuat Hanif terkejut, begitu berbalik justru mendapati gadis itu berdiri tanpa kepala. Padahal dengan yakin ia melihat jika gadis ini memiliki kepala.
Tanpa berkata apapun ia buru buru berlari untuk masuk ke pintu asramanya lagi, sudah lama sekali ia berlari namun tak mendapati pintu bernomor 1304. Ia yakin jika tak terlalu jauh saat berjalan dengan gadis yang ternyata tidak memiliki kepala itu.
"Hanif." Langkahnya terhenti saat mendapati suara gadis tadi memenuhi telinganya, ia berusaha acuh dengan tetap berlari meskipun tak menemukan ujungnya.
"Ini aneh, kenapa lorongnya jadi makin gelap? Mama, Papa tolongin Hanif. Takut, kenapa dari tadi pintunya ga ketemu sih?" batin pemuda itu dengan terus berlari.
Langkahnya terhenti saat melihat sekumpulan pocong tengah berdiri di depan salah satu pintu tidak bernomor, dengan cepat ia berbalik arah. Tidak peduli jika akan bertemu dengan gadis tanpa kepala itu, mungkin akan lebih baik dari pada harus melewati para pocong yang sangat ia benci.