NovelToon NovelToon
Endless Shadows

Endless Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Menyembunyikan Identitas / Slice of Life / Kultivasi Modern
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: M.Yusuf.A.M.A.S

Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keraguan yang Menghantui

Hari itu berjalan seperti biasa, penuh dengan rasa tegang yang menyelimuti Ryan sejak ia melangkah ke gerbang sekolah. Di lorong kelas, Hery dan gengnya sudah menunggu, seperti predator yang siap memangsa. Ryan berjalan pelan, mencoba menghindari tatapan mereka, tetapi langkahnya terhenti ketika salah satu dari mereka menjegal kakinya. Ryan terjatuh, tasnya terlepas dari tangan, dan tawa keras memenuhi lorong yang kini kosong dari guru.

“Lihat siapa yang jatuh lagi,” ejek Hery, tangannya dengan sengaja mendorong kepala Ryan ke lantai. Tawa teman-temannya semakin keras, memenuhi udara dengan penghinaan yang menyakitkan. Ryan menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa malu dan amarah yang membuncah dalam dirinya. “Hei, bagaimana rasanya menjadi pecundang sepanjang hidup?” tambah Hery sambil menyeringai.

Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar mendekat. "Hentikan..!" Elma muncul dari ujung lorong, berdiri di antara Ryan dan Hery dengan tatapan tajam. Tawa Hery berhenti sejenak, digantikan oleh ekspresi terkejut yang dengan cepat berubah menjadi senyuman penuh kesombongan. “Oh, Elma. Kenapa kamu ikut campur? Ini bukan urusanmu,” katanya, mendekati Elma dengan gerakan santai.

“Ini urusanku saat kalian memperlakukan orang lain seperti sampah,” balas Elma dengan suara tegas, tangannya terangkat seolah menghalangi Hery mendekat lebih jauh. Ryan, yang masih terduduk di lantai, memandang Elma dengan campuran rasa heran dan kekaguman. “Kau pikir bisa menghentikanku begitu saja?” tambah Hery dengan nada racun yang menetes perlahan. Elma tidak mundur sedikit pun, tatapannya tetap teguh meskipun tubuhnya sedikit gemetar.

“Lebih baik aku sendirian daripada bersama orang sepertimu,” jawab Elma dingin, membuat senyum Hery memudar. Teman-teman Hery tertawa kecil, mencoba menyembunyikan keterkejutan mereka atas jawaban Elma. Wajah Hery memerah karena malu dan marah, dan ia mendekat dengan gerakan yang lebih agresif. “Berani sekali kau bicara seperti itu padaku,” katanya dengan nada rendah yang mengancam.

Ketika Hery mengangkat tangannya, tampak jelas ia berniat melakukan sesuatu pada Elma. Namun, sebelum ia sempat bertindak, bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan pergantian pelajaran. Di saat yang sama, langkah-langkah berat terdengar mendekat, dan beberapa guru memasuki lorong, memandang situasi itu dengan curiga. “Apa yang kalian lakukan di sini? Kembali ke kelas sekarang!” suara salah satu guru terdengar tegas.

Hery menurunkan tangannya dengan enggan, menoleh ke arah Elma dengan tatapan penuh kebencian. “Kau akan membayarnya,” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar oleh siapa pun kecuali Elma. Ia kemudian pergi bersama teman-temannya, meninggalkan lorong dengan langkah berat. Ryan akhirnya berdiri, masih terkejut oleh apa yang baru saja terjadi.

Elma menatap Ryan dan menyentuh bahunya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya kembali lembut seperti biasa. Ryan mengangguk pelan, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. “Terima kasih,” katanya akhirnya, meskipun suaranya hampir tenggelam dalam keramaian yang mulai meninggalkan sekolah.

Sementara itu, Hery berjalan ke kelasnya dengan kepala penuh amarah. “Dia pikir bisa mempermalukanku seperti itu?” gumamnya kepada teman-temannya, matanya menyala dengan niat buruk. “Kita lihat seberapa lama dia bisa bertahan setelah ini,” lanjutnya dengan nada dingin.

Di sisi lain, Ryan merasa cemas sekaligus bersalah karena Elma harus menghadapi Hery demi dirinya. Sepanjang pelajaran, pikirannya dipenuhi oleh bayangan pertemuan mereka di lorong tadi. Tapi, di balik rasa takut dan cemas itu, ada sesuatu yang mengganggu hatinya tatapan penuh ancaman Hery pada Elma. Ryan tahu, ini belum selesai.

Ketika bel pulang berbunyi, Ryan segera membereskan tasnya lebih cepat dari biasanya. Ia ingin menghindari Elma, berharap bisa pulang tanpa harus berbicara dengannya. Namun, seperti biasa, Elma sudah menunggunya di depan kelas. “Ryan, tunggu sebentar!” panggilnya dengan nada yang hangat, meskipun matanya tampak khawatir.

Ryan berhenti, tetapi ia tidak berani menatap Elma. “Ada apa?” tanyanya datar, mencoba menutupi perasaannya. Elma mendekat, berdiri di hadapannya dengan tangan memegang tali tas. “Aku ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau tahu Hery tidak akan berhenti begitu saja, kan?” katanya serius.

“Itu bukan urusanmu, Elma,” jawab Ryan, nadanya lebih tajam dari yang ia maksudkan. Elma terkejut, tetapi ia tidak mundur. “Bagaimana bisa kau bilang itu bukan urusanku? Aku sudah tidak tahan untuk diam melihat mereka memperlakukanmu seperti itu,” katanya, nada suaranya mulai terdengar emosional.

Ryan menunduk, tidak bisa membalas tatapan Elma. “Kau tidak mengerti,” gumamnya pelan, suara yang hampir tenggelam dalam keramaian siswa yang mulai meninggalkan sekolah. Namun, Elma hanya tersenyum lembut, menunggu hingga Ryan akhirnya mengangkat wajahnya sedikit demi sedikit.

“Kau benar,” kata Ryan dengan suara yang lebih tenang, tetapi nada sedih masih terasa. “Kau tidak seharusnya terlibat dalam ini. Aku tidak ingin melibatkan siapa pun, apalagi kamu. Aku tidak bisa melindungimu dari mereka.”

Elma mendekat lebih dekat, matanya penuh keyakinan. “Tapi aku ingin melindungimu, Ryan. Kau bukan satu-satunya yang merasa terluka. Aku peduli padamu, dan aku tahu bahwa aku bisa membantu,” jawabnya dengan lembut. Ryan akhirnya mengangguk, meskipun jelas terlihat ada keraguan di matanya. Ia tahu Elma benar, tetapi rasa khawatir yang mendalam masih mengendap dalam dirinya.

Saat berjalan pulang sekolah, Ryan merasa lelah setelah jalan kaki yang jauh akibat mobil antar jemput yang mogok di tengah perjalanan. Langkahnya perlahan, tetapi pikirannya penuh dengan kejadian di sekolah tadi ancaman Hery, keberanian Elma, dan kekhawatiran yang terus menggelayuti hatinya.

Ketika hampir sampai di depan pintu rumah, langkah Ryan terhenti. Ia melihat sosok pria berjubah hitam yang sama seperti sebelumnya, berdiri di tepi jalan dengan senyuman misterius yang sama. Kali ini, pria itu membuka mulutnya lebih dulu. “Kau lelah, Ryan. Aku tahu kau ingin kekuatan untuk melindungi yang kau pedulikan, yang kau sayangi, yang kau cintai. Aku bisa memberikannya,” bisiknya dengan suara yang lembut namun penuh desakan.

Ryan menatap tajam, menahan desakan yang mencoba masuk ke pikirannya. “Tidak. Aku sudah cukup dengan kekuatan itu,” jawabnya tegas, walaupun ada sedikit rasa takut yang merayap di balik suaranya. Pria itu hanya tersenyum, lalu tiba-tiba menghilang di udara yang tipis. Sebuah kertas tertinggal di tempat ia berdiri, dengan tulisan yang samar Kau akan segera menginginkan kekuatan yang kutawarkan.

Dengan nafas terengah, Ryan meraih kertas itu dan memasukkannya ke dalam laci meja belajarnya. Setiap kali pikirannya mulai melayang ke arah yang tidak diinginkan, ia memaksakan diri untuk berpikir positif. Namun, bayangan kertas itu tetap menempel di benaknya, menyusup seperti bisikan yang meresahkan.

Malam itu, Ryan duduk di ranjangnya, menggenggam laci yang berisi kertas berbahaya itu. Ia tahu bahwa setiap kata yang tertulis di dalamnya bukan sekadar ancaman kosong. Ada sesuatu yang gelap, sesuatu yang berbahaya, dan sesuatu yang bisa merenggut dirinya jika ia membiarkannya.

“Tidak,” gumam Ryan dengan suara keras, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Aku tidak butuh kekuatan itu.” Tapi, meski ia mencoba melawan, bayangan pria berjubah hitam itu terus mengganggu pikirannya, menyusup di antara suara-suara yang terdengar lebih keras dari biasanya.

Namun, saat ia terlelap, sesuatu yang berbeda mulai merasuki mimpi-mimpinya. Sesuatu yang tidak bisa ia hindari, sesuatu yang semakin dekat. Dan di tengah kegelapan itu, sebuah pertanyaan muncul berapa lama ia bisa menolak kekuatan yang ditawarkannya?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!