NovelToon NovelToon
Pangeran Pertama Tidak Mau Menjadi Kaisar

Pangeran Pertama Tidak Mau Menjadi Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Perperangan / Penyelamat
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Razux Tian

Dilahirkan sebagai salah satu tokoh yang ditakdirkan mati muda dan hanya namanya yang muncul dalam prologue sebuah novel, Axillion memutuskan untuk mengubah hidupnya.

Dunia ini memiliki sihir?—oh, luar biasa.

Dunia ini luas dan indah?—bagus sekali.

Dunia ini punya Gate dan monster?—wah, berbahaya juga.

Dia adalah Pangeran Pertama Kekaisaran terbesar di dunia ini?—Ini masalahnya!! Dia tidak ingin menghabiskan hidupnya menjadi seorang Kaisar yang bertangung jawab akan hidup semua orang, menghadapi para rubah. licik dalam politik berbahaya serta tidak bisa ke mana-mana.

Axillion hanya ingin menjadi seorang Pangeran yang hidup santai, mewah dan bebas. Tapi, kenapa itu begitu sulit??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razux Tian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 3

Berdiri menatap Owen, Kaisar Kekaisaran Agung Alexandria sekaligus ayah kandungnya, Axillion menghela napas pelan. Tatapan beliau yang duduk di kursi tahta serta semua petinggi Kekaisaran yang terarah padanya sungguh menganggu—tidak bisakah mereka membiarkan dirinya kembali ke kamar dan tidur? Dia cukup kelelahan setelah bertarung dan menggunakan sihir bertubi-tubi. Tidak bisakah mereka menyimpan pertanyaan untuknya nanti saja??

"Kerja bagus, Axillion." Puji Owen singkat. Wajahnya datar tanpa ekspresi seakan bahaya yang barusan dihadapi Kekaisaran Agung Alexandria sama sekali tidak ada.

"Terima kasih pujiannya, Ayahanda." Balas Axillion singkat. Dia tersenyum, tapi semua bisa melihat bahwa mata hijaunya sama sekali tidak tersenyum.

"...."

"...."

".... "

".... "

Keheningan memenuhi ruang tahta Kekaisaran Agung Alexandria. Baik Owen maupun Axillion tidak mengucapkan sepatah katapun lagi, dan itu membuat Philip serta para petinggi lainnya kebingungan. Mereka semua memiliki banyak pertanyaan, tapi, mereka juga tidak tahu bagaimana untuk bertanya.

Menatap Axillion, Philip dan yang lainnya sampai detik ini masih tidak menerima apa yang terjadi. Dua belas tahun lamanya mereka menganggap Pangeran Pertama sebagai sosok yang bodoh, pengecut dan tidak berguna. Namun, kenyataannya sungguh berbeda.

Axillion memiliki pesona yang tidak dapat dilupakan. Daripada Owen, dia lebih mirip ibu kandungnya, Ratu Ketiga Lilia yang sangat terkenal akan kecantikannya. Namun, yang paling menonjol darinya mungkin adalah pembawaannya. Meski hanya berdiri mengenakan pakaian biasa, aura dan kharismanya sebagai seorang bangsawan tinggi berdarah biru sejati tidak tersembunyikan—dia sungguh pantas menyandang gelar seorang putra Kaisar.

"Jadi," Axillion yang diam membisu tiba-tiba membuka mulutnya. Menggerakkan wajahnya, dia menatap para petinggi Kekaisaran Agung Alexandria di samping. Seulas senyum yang bukan senyum kembali memenuhi wajah cantiknya. "Apa pertanyaan kalian?—Ayahanda sepertinya tidak punya pertanyaan."

Philip dan yang lainnya tertegun sejenak dengan pertanyaan tiba-tiba Axillion. Namun begitu, tidak ada seorangpun yang mengajukan pertanyaan dalam hati. Tatapan mata serta senyum di wajah sang Pangeran Pertama membuat mereka ragu, sebab, mereka menyadari, ada tekanan seorang penguasa dalam mata dan senyum tersebut.

Melihat tidak ada seorangpun yang bertanya, Axillion ingin sekali berteriak bertanya, Jika kalian tidak punya pertanyaan, kenapa tidak mengijinkannya kembali ke kamar?—dia tidak berada di sini untuk kontes saling menatap!

"Yang Mulia!" seorang prajurit tiba-tiba memasuki aula tahta Kekaisaran. Memberi salam hormat, dia menyampaikan pesan. "Pasukan bantuan dari Kerajaan Efrand, Kerajaan Ikland dan Magic Tower telah tiba. Perwakilan mereka meminta ijin untuk bertemu anda."

Philip dan para petinggi lainnya tidak mengatakan sepatah katapun. Mereka tidak menyangka pasukan bantuan tersebut akan tiba secepat ini.

"Wah, hebat sekali mereka bisa tiba bersamaan," ujar Axillion sambil tertawa kecil. Menatap Owen kembali, dia tersenyum. "Mereka mungkin berkemah bersama."

Owen tidak membalas ucapan Axillion. Dia menatap prajurit pembawa pesan tersebut dan memberikan ijin. "Diijinkan."

Senyum Axillion semakin lebar mendengar ucapan Owen. Jika Kaisar ingin bertemu dengan perwakilan Kerajaan lain dan Magic Tower, maka apa yang terjadi bukanlah urusannya lagi, kan? Dia bisa kembali ke kamarnya dan tidur. Namun, kegembiraan Axillion segera berakhir saat Owen membuka mulutnya.

"Axillion," panggilnya datar. Mata hijaunya menatap Axillion, dan dia bisa menangkap jelas apa yang ada dalam pikiran putranya tersebut. "Kemari."

"Ayahanda," balas Axilion cepat. Mempertahankan senyum di wajah, dia kemudian tertawa. "Kurasa saya lebih baik menema—"

"Kemari," ulang Owen memotong ucapan Axillion. Mata hijaunya menatap lekat Axillion. "Berdiri di posisimu semestinya."

Axillion tidak berkutik dihadapan ayah kandungnya. Menghela napas, dia kemudian melangkah mendekati Owen. Sepertinya keinginannya untuk tidur secepatnya tidak akan terpenuhi. Namun, yang paling penting; apakah dia akan terseret permainan politik sekarang?

Philip dan para petinggi lainnya menatap sosok Axillion yang berdiri tegak di samping Owen. Seketika juga, perasaan kagum memenuhi hati mereka. Pangeran Pertama dengan auranya yang tidak biasa berdiri di samping tahta Kekaisaran yang diduduki Kaisar—mereka berdua terlihat bagaikan lukisan; kekuatan absolut.

Tap-tap-tap.

Suara langkah kaki terdengar, beberapa orang pria dewasa dan wanita berjalan memasuki aula Kekaisaran. Dari pakaian mereka, Axillion tahu, mereka adalah utusan dari Kerajaan Efrand, Kerajaan Ikland dan Magic Tower.

"Salam pada Matahari Alexandria."

"Salam pada Matahari Alexandria."

"Salam pada Matahari Alexandria."

Para utusan Kerajaan Efrand, Kerajaan Ikland dan Magic Tower memberikan salam pada Owen. Sesaat kemudian, pandangan mata mereka semua jatuh pada sosok Axillion.

Mereka semua mengenal wajah Pangeran Kedua, Ketiga, Keempat dan juga Putri Kekaisaran Agung Alexandria. Walau tidak pernah bertemu secara langsung, minimal, mereka pernah melihat lukisan wajah anggota Kekaisaran, kecuali Pangeran Pertama yang bertahun-tahun mengurung diri dalam kamar.

Dari kabar yang ada, Pangeran Pertama adalah seorang pangeran bodoh, pengecut dan tidak berguna. Dia tidak menerima pelatihan apapun selama ini. Tidak ada yang mengajarinya tentang tata krama, pengetahuan dan pendidikan selayaknya seorang bangsawan, terlebih lagi bela diri dan sihir—Pangeran Pertama adalah seorang pecundang.

Tapi, sosok Pangeran Pertama yang ada di depan mata mereka sangat jauh dari kata 'pecundang'. Hanya berdiri diam dengan seulas senyum di wajah, mereka bisa merasakan aura dan kharismanya sebagai seorang Pangeran Kekaisaran. Terlebih lagi, setelah apa yang mereka dengar—hanya saja, apakah itu benar?

"Kami datang dengan tujuan membantu," salah satu pria dalam rombongan tersebut tertawa dan memulai pembicaraan. Dia adalah Jendral Wallace, pemimpin bala bantuan dari Kerajaan Efrand. "Tapi, kami sepertinya tidak diperlukan. Kekaisaran Agung Alexandria telah berhasil melewati krisis—selamat!"

"Terima kasih, Jendral Wallace, " balas Owen datar. Wajahnya tetap tenang tanpa ekspresi, "Aku senang dengan niat baik sahabat Kekaisaran ini, Kerajaan Efrand, "menoleh menatap Jendral Ophelia, pemimpin bala bantuan Kerajaan Ikland, Owen juga melanjutkan ucapannya. "Begitu juga dengan Kerajaan Ikland."

"Kami, Kerajaan Ikland selalu siap membantu Kekaisaran Agung Alexandria, Yang Mulia." Balas Ophelia sambil tersenyum.

Axillion yang mendengar pembicaraan Owen, Wallace dan Ophelia tersenyum dan menutup mata. Sungguh basa-basi yang membosankan. Bantuan, sahabat dan siap membantu?—padahal dibelakang, mereka saling menjatuhkan. Politik benar-benar melelahkan. Lihatlah, ayahnya yang irit bicara dan kalem saja sampai berbohong tanpa mengedipkan mata sedikitpun.

Sudah bukan rahasia lagi jika Kekaisaran Agung Alexandria yang telah berdiri selama lima ratus tahun dan menguasai setengah Benua Avalon mengalami kemunduran. Seratus tahun telah berlalu semenjak masa keemasan Kekaisaran, dan kini Kerajaan-kerajaan tetangga mulai mencari kesempatan. Ya, jika saja Kekaisaran tidak mengalami masa seperti sekarang ini, sampai mati pun, Axillion tidak akan melakukan apapun dan berdiam diri.

"Yang Mulia," salah satu pria dalam rombongan bala bantuan tiba-tiba mengeluarkan suaranya dengan lantang. Dari jubah putih yang dikenakannya, semua yang ada tahu bahwa dia adalah utusan dari Magic Tower. "Maafkan kelancangan hamba, tapi bisakah anda menjelaskan pada kami apa yang terjadi?" matanya dengan perlahan kemudian tertuju pada Axillion.

Owen menatap Mage dan utusan yang ada dalam diam. Mereka ini sesungguhnya pasti juga sudah tahu apa yang terjadi. Gate yang menghilang, bekas pertarungan yang tersisa dan juga cerita dari para saksi mata yang telah menyebar di seluruh Ibukota Agresia—mereka hanya ingin mendapatkan kepastian.

"Bukankah kalian sudah tahu apa yang terjadi?" Owen tidak berkeinginan terus bersandiwara dengan mereka semua. Jelas sekali pertanyaan tersebut ditujukan pada Axillion, bukan dirinya. "Jadi apa yang harus kujelaskan?"

Pertanyaan Owen membuat para utusan tertegun. Terdiam, mereka tidak tahu harus menjawab apa. Sikap Owen sekarang jelas sekali tidak memberikan mereka muka.

Axillion juga menatap Owen begitu mendengar pertanyaan tersebut. Dia sungguh ingin bertepuk tangan, dia mengira ayah kandungnya masih akan terus berbasa-basi beberapa saat. Tapi, ternyata beliau tidak.

"Ya," Wallace tiba-tiba tertawa. Dia menatap Owen tersenyum. "Kami memang sudah mendengar sekilas apa yang terjadi, Yang Mulia," pandangan matanya kemudian terarah pada Axillion. "Tapi, kami akan merasa sangat terhormat jika kami bisa mendengar cerita luar biasa ini langsung dari yang bersangkutan."

Balasan yang sangat luar biasa! Axillion sangat kagum dengan kemampuan merangkai kata Wallace. Dia sungguh lawan yang tangguh dalam permainan kata.

"Benar," Ophelia ikut bersuara. Dia tersenyum dan bertanya pada semua utusan yang ada. "Kami akan merasa sangat terhormat, sebab ini adalah kisah yang bagaikan dalam legenda. Benar, kan semuanya?"

"Benar."

"Benar sekali ucapan anda Jendral Ophelia."

"Kami akan merasa terhormat."

Para utusan yang lain dengan segera menjawab pertanyaan Ophelia penuh semangat. Senyum tawa memenuhi wajah mereka, bahkan ada yang sampai bertepuk tangan.

Owen tetap diam membisu tidak mengatakan apapun. Wajahnya tenang dan datar tanpa ekspresi seakan tidak mendengar apapun. Axillion yang ada disampingnya mengangguk kepala melihat sikap ayahnya tersebut. Dia kagum dengan sikap beliau yang bisa menulikan telinga seketika tanpa memberikan muka pada utusan di depan.

Ya, Axillion sebenarnya tahu apa yang diinginkan para utusan ini. Kemampuannya mungkin membuat mereka penasaran, tapi cara menutup Gate Kosong tanpa monster lah tujuan mereka sesungguhnya. Meski sudah tidak berbahaya, Gate Kosong tetaplah menjadi objek ketakutan semua orang. Wilayah yang memilikinya cepat atau lambat akan ditinggalkan, dan itu selalu menjadi masalah bagi pemerintah manapun.

"...."

".... "

".... "

".... "

Keheningan kembali memenuhi aula tahta. Wajah tanpa ekspresi Owen, senyum di wajah para utusan—Axillion membatin dalam hati. Lihatlah!! Benar, kan?! Politik itu merepotkan. Dia tidak memiliki kesabaran seperti ayahnya untuk menghadapi orang-orang seperti ini setiap hari.

"Ayahanda," panggil Axillion kemudian. Dia tidak ingin membuang banyak waktu untuk menonton sandiwara kelas atas ini, dia sungguh ingin ini semua selesai secepatnya dan tidur. "Ibunda masih menunggu anda."

Ayah kandungnya adalah seorang pria yang keras kepala. Dia tahu, sikapnya pada para utusan sekarang adalah karena dia sadar, tujuan awal mereka berangkat dari tempat tinggal mereka bukanlah untuk membantu, melainkan menanti kesempatan untuk mencari keuntungan dari kehancuran Ibukota Agresia. Tapi, bagi Axillion sendiri, cara menutup Gate Kosong bukanlah sesuatu yang patut dirahasiakan. Terlebih lagi untuk rencananya ke depan.

Owen menoleh menatap Axillion begitu mendengar apa yang diucapkannya.

"Mari kita selesaikan ini secepatnya. Jangan membuat beliau menunggu kita terlalu lama." Lanjut Axillion dengan senyum yang mengembang di wajah.

Owen masih menatap Axillion. Dia mengakui, senyum putranya sungguh mirip dengan senyum istrinya. Beberapa saat kemudian, dia mengangguk kepala.

"Terima kasih, Ayahanda." Senyum di wajah Axillion semakin lebar. Memang, obat keras kepala Owen itu tidak lain lagi adalah Lilia, ibu kandungnya.

Menoleh menatap para utusan, Axillion melangkah maju beberapa langkah ke depan. Senyum masih memenuhi wajah. Namun, sekali lagi, semua yang ada bisa melihat tidak ada senyum di matanya. "Jadi, apa yang ingin anda sekalian ketahui?" tanyanya tenang dan bersahabat.

...****************...

1
Raja Semut
dri berapa bab yg saya baca kenapa tidak pernh di jelaskan asal muasal kekuatan dari sang MC?
Razux Tian: Terima kasih untuk komentnya😀

Aku tidak bisa me jelaskan asal muasal kekuatan MC karena semuanya akan terjawab seiring dengan jalan cerita😄

Sekali lagi, terima kasih telah membaca novel ini🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!