Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencurigakan
Kedatangan Rizki malam ini membuat semangat Anya semakin berkobar, dia bahkan bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan tanpa menunggu ibunya. Begitu selesai, gadis itu langsung berangkat kerja.
Anya juga pergi lebih awal dari biasanya, perubahan drastis itu membuat bu Aila heran.
"Tumben dia enggak sarapan, Bu?"
"Enggak tahu, Yah. Ini sarapan juga dia yang bikin, mungkin Anya terlalu bahagia setelah mendapat kepastian dari Rizki," pikir bu Aila.
"Mungkin saja, kamu enggak bangunin si Sasha?"
"Biarin aja tuh anak, entar juga bangun sendiri."
"Terserah kamu deh, Bu. Aku mau berangkat ke kebun dulu, kunci toko sudah aku taruh di atas meja rias."
Lelaki itu kemudian mengambil capingnya dan pergi meninggalkan meja makan.
Pak Faisal pergi menuju kebun dengan menggunakan motor butut kesayangannya.
Lelaki paruh baya itu mendadak turun lagi dari motor, saat menyadari kalau bekal makan siangnya ketinggalan di meja makan.
"Kok balik lagi, Yah?" tanya istrinya yang sekarang sudah berpindah posisi duduk ke ruang tengah.
"Bekal makan siang ayah ketinggalan, Bu."
"Oh, ibu kira ada apa," gumam bu Aila, beliau kemudian kembali sibuk merangkai bunga yang sudah menjadi hobinya sebelum pergi ke toko.
"Kamu enggak ke toko, Bu?" tanya pak Faisal yang sekarang sudah berdiri di belakang sofa tempat istrinya duduk, di tangan beliau sudah ada rantang dan botol air minum.
"Ibu perginya jam sembilan, Yah."
Pak Faisal manggut-manggut dan langsung pergi dari sana.
"Oh ya, hampir lupa. Bu, ajak Sasha sekalian, biar dia enggak bosen di rumah, nanti takutnya itu anak ketemuan lagi sama si Arya," pesan pak Faisal saat berada di ambang pintu.
"Iya, Yah."
****
Hari-hari Anya berjalan cukup tenang, sambil menunggu kepastian hari lamaran dari Rizki, ia menyibukkan diri dengan memasak dan baca buku kalau sudah pulang dari tempat kerja.
Anya juga sudah jarang ngobrol sama Sasha, ditambah lagi saat mengingat kejadian malam itu, jujur saja hatinya kecewa sama sikap sang adik.
Sebagai kakak, dia sepenuh hati ingin yang terbaik untuk adiknya. Namun, Sasha selalu salah dalam menilai perhatiannya itu.
Inilah yang terjadi sekarang, Anya terus menghindar dari adiknya tiap kali bertemu.
Hari ini ia pulang lebih awal, jam tiga siang Anya sudah berada di rumah.
Segera saja gadis itu memarkirkan sepeda motornya di depan garasi, lalu lanjut masuk ke dalam rumah.
Baru tiba di depan teras, langkahnya dibuat terhenti kala melihat sepasang sepatu milik cowok.
Matanya menelisik ke seluruh area rumah, tidak ada kendaraan lain di sana selain mobil pick up milik ayahnya, lalu sepatu itu milik siapa?
Tadi Anya juga sempat mendengar dari Windi, kalau ibu dan ayahnya sudah pergi ke Pekalongan.
Perasaannya kian tidak enak kala teringat Sasha membawa teman cowoknya ke rumah.
Baru saja ia menarik gagang pintu, tiba-tiba pintu sudah lebih dulu terbuka, dan yang pertama dia lihat adalah Arya.
Deg!
Mereka bertiga sama-sama terkejut, Sasha menyembulkan kepalanya menoleh ke arah Anya.
"Tumben kamu udah pulang jam segini, Kak?" tanya gadis itu yang berusaha menyembunyikan keresahan di hatinya.
"Ngapain aja kalian berdua di dalem?" Anya menatap pasangan itu secara bergantian dan menyelidik.
"Enggak ngapa-ngapain, aku cuma singgah sebentar doang kok, Kak," jawab Arya memperjelas.
Jawaban Arya membuat Anya tersenyum sinis, dia tidak percaya. Dua manusia berbeda jenis, berada dalam satu rumah dan tidak ada orang lain di sana. Tidak mungkin kan kalau mereka enggak berbuat apa-apa?
Dalam kondisi seperti ini, wajar kalau dirinya curiga. Anya tidak mau terjadi apa-apa sama Sasha, adiknya itu memiliki sikap keras dan sangat sulit dinasihati.
"Ar, sebaiknya kamu pulang aja!" suruh Sasha begitu melihat kemarahan yang sudah meluap di mata sang kakak.
Arya segera memakai sepatunya dan hendak pergi dari sana, tapi Anya dengan sigap menahan lengan cowok itu.
"Tunggu!" tahan Anya, "kamu ke sini jalan kaki, pasti karena tidak ingin ada yang menyadari kedatangan kamu, iya kan. Kalian pasti sudah merencanakan ini dari awal, karena tahu kalau ibu dan ayah tidak akan pulang hari ini," ucap Anya. Dia menatap tajam wajah Arya, tatapannya begitu menakutkan.
Sasha tetap berusaha tenang, dia menarik tangan kakaknya yang mencengkeram pergelangan tangan Arya.
"Ar, cepetan kamu pulang!" suruh Sasha mendesak.
"Iy-iya," jawab Arya gugup. Sikap mereka tambah membuat Anya curiga. Arya berjalan cepat meninggalkan kediaman mereka, cowok itu berlari dari sana.
Tiba di depan gerbang, ada sebuah motor yang berhenti di sana. Arya naik ke atas motor itu, dan mungkin itu adalah temannya.
Wajah temannya terlihat jelas oleh Anya, dan dia tidak akan melupakan wajah lelaki yang membantu Arya kabur dari sana. Dia akan mencari tahu lebih jelas, Anya sudah bertekad dalam hatinya.
"Kamu sengaja ngebiarin dia pergi, kenapa? Kamu takut aku mengorek informasi dari dia? Kamu takut aku tahu apa yang sudah kalian lakukan?"
"Enggak usah mikir aneh-aneh, Kak. Aku males debat sama kamu," ucap Sasha, dia berbalik arah dan masuk ke kamarnya.
Anya masih berdiri menghadap ke pagar, pikirannya kacau. Dia takut Sasha telah melangkah jauh, dia takut Sasha melakukan hal yang tidak pantas dengan Arya.
"Seharusnya ibu sama ayah nelpon aku dulu, tidak seharusnya mereka ninggalin Sasha sendirian," menolong Anya.
Lelah dengan pikirannya yang semakin semrawut, Anya memutuskan untuk masuk dan mengerjakan pekerjaan rumah yang mungkin belum beres.
Saat kakinya menginjak ruang tengah, Anya mendapati sesuatu yang aneh di atas sofa, benda yang tidak seharusnya ada di sana.
"Kenapa benda ini ada di sini?"
Pikiran Anya semakin terbang jauh, ia harus memastikan sendiri.
"Sasha, keluar kamu!" teriak Anya dari depan pintu kamar.
Ia menggedor pintu kamar adiknya, Sasha mengunci pintu kamarnya, jadi dia tidak bisa langsung masuk. "Cepat, Sha! Buka!" teriak Anya seperti orang kesetanan.
Ceklek!
"Ada apa sih? Orang lagi tidur juga."
"Ini apa?" Anya melempar bra itu ke arah Sasha.
Sasha terlihat syok saat Anya melempar benda itu ke arahnya. Namun, wajah tegangnya langsung menghilang dalam hitungan detik, ia masih bisa mengendalikan diri dari rasa gelisah.
"Itu sengaja aku lepas karena enggak nyaman pakek yang ini," jawab Sasha beralasan.
"Kamu enggak usah ngebodohin aku, Sha."
"Kamu sebenarnya mau apa sih, Kak? Kamu mau nuduh aku?"
"Nuduh apa? Aku enggak nuduh, ini buktinya!" tunjuk Anya, dan Sasha segera melempar benda tersebut ke atas kasurnya. Ia berdiri tegak sekarang, berusaha menyamai ketinggian badannya dengan Anya, namun percuma. Sasha tetap tidak bisa menyamainya, dia tetap harus mendongakkan kepalanya saat berbicara dengan sang kakak.
"Aku baru melepasnya tadi, kamu jangan aneh-aneh deh."
"Tadi kapan? Tadi saat kamu masih berduaan bersama Arya dan melakukan hal tidak senonoh di rumah ini, hah!?" pertanyaan Anya mulai memojokkannya, Sasha hampir tidak tahu harus jawab apa.
"Hal aneh? Hal aneh apa? Aku enggak ngapa-ngapain, dia cuma singgah sebentar, aku bikinin minum, dan kemudian pulang," ucap Sasha membela diri.
"Sha, dengerin baik-baik, kalau terjadi ses_"
BLAM!
Sasha memutar badannya dan langsung menutup pintu kamarnya dengan keras, tanpa menunggu Anya selesai ngomong.
"Argh!" geram Anya, "adik keras kepala, tiap dinasihati enggak pernah mau didengerin."
"Urus aja hidup kamu sendiri, Kak. Jangan sibuk ngurusin hidup aku, ibu sama ayah aja enggak seheboh kamu kok. Jadi kamu enggak usah ikut campur, fokus aja sama hubungan kamu dan mas Rizki, berhenti gangguin hubungan aku sama Arya!" seru Sasha di balik pintu kamarnya yang sudah dikunci.
Anya menghela napas berat, gadis itu memutar arah menuju dapur. Ia terus mencari-cari sesuatu yang dapat membuktikan kalau kecurigaannya kepada mereka itu benar.
Kalau memang benar Arya datang ke sana cuma singgah dan minum doang, seharusnya ada gelas kosong di atas meja tadi. Namun yang Anya temui bukan gelas bekas minum atau pun toples kue, tapi sesuatu yang memalukan untuk disebut.
"Kenapa aku jadi kepikiran terus?"
Anya memeriksa dapur dan gelas di sana, semuanya terletak di tempatnya masing-masing.
Enggak ada piring kotor atau pun gelas kotor, pasti sebelum pergi tadi ibunya sudah membereskan itu semua.
Sekarang Anya tambah yakin kalau Sasha telah membohonginya.
"Tapi aku enggak punya bukti apa-apa," lirihnya, dia kemudian menarik salah satu kursi dan menghempaskan tubuhnya di sana.
Anya menutup matanya untuk sesaat, kepalanya berdenyut nyeri. Mungkin dialah orang yang lebih mengkhawatirkan tentang keadaan Sasha daripada ibu dan ayahnya.
***