sinopsis Amelia, seorang dokter muda yang penuh semangat, terjebak dalam konspirasi gelap di dunia medis. Amelia berjuang untuk mengungkap kebenaran, melindungi pasien-pasiennya, dan mengalahkan kekuatan korup di balik industri medis. Amelia bertekad untuk membawa keadilan, meskipun risiko yang dihadapinya semakin besar. Namun, ia harus memilih antara melawan sistem atau melanjutkan hidupnya sebagai simbol keberanian dalam dunia yang gelap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurul natasya syafika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4: Perang Melawan Superbug
Amelia melangkah masuk ke ruang rapat Departemen Infeksius dengan tatapan penuh tanda tanya.
Di dalam ruangan itu, atmosfer terasa berat, dipenuhi diskusi mendalam tentang masalah yang terus meningkat, lonjakan kasus infeksi bakteri resisten yang tak merespons antibiotik konvensional.
Para dokter dan peneliti duduk di sekitar meja panjang, sementara layar di ujung ruangan menampilkan grafik mengkhawatirkan tentang angka kematian akibat infeksi bakteri yang kini dijuluki *superbug*.
Dr. Lian,kepala tim infeksius, berdiri di depan ruangan dengan ekspresi serius. "Rekan-rekan," katanya, suaranya tegas namun sedikit tertekan. "Kita menghadapi situasi darurat. Superbug ini semakin tidak terkendali, dan kita sudah kehabisan opsi pengobatan. Tapi ada kabar baik. Kita mendapatkan akses ke antibiotik generasi baru, BetaMaxin, yang dirancang khusus untuk membunuh bakteri resisten ini."
Para dokter tampak lega mendengar kabar itu, tetapi Amelia, yang duduk di sudut ruangan, mengangkat tangannya dengan skeptis.
Amelia:”Antibiotik ini sudah melewati semua tahap uji coba? Baik pada hewan maupun manusia?"
Dr. Lian terdiam sesaat sebelum menjawab, menghindari kontak mata langsung dengan Amelia.
"Pengembangannya sangat cepat karena situasi ini mendesak," katanya akhirnya. "Beberapa langkah mungkin dipercepat, tapi data awal menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan."
Amelia mengangkat alis, tetapi memilih tidak memperpanjang diskusi. Baginya, percepatan pengembangan obat, terutama tanpa uji coba menyeluruh, selalu menjadi tanda bahaya.
......................
Hari berikutnya, Amelia mulai menangani pasien yang menerima BetaMaxin. Salah satu pasiennya adalah Raymond, seorang pria berusia 45 tahun yang sebelumnya menjalani operasi besar.
Luka operasinya terinfeksi oleh bakteri resisten, yang dengan cepat berkembang menjadi sepsis. Raymond berada di ambang kegagalan organ ketika ia pertama kali dirawat.
Setelah menerima dosis BetaMaxin, Amelia menyaksikan keajaiban yang sulit ia sangkal. Demam Raymond turun drastis dalam 24 jam, infeksinya mulai terkendali, dan hasil laboratorium menunjukkan bahwa bakteri dalam darahnya mulai menghilang.
Raymond:(tersenyum lemah) "Dokter Amelia, terima kasih. Saya merasa jauh lebih baik sekarang. Mungkin saya akan bisa kembali bekerja dalam beberapa minggu."
Amelia tersenyum, meski dalam hatinya ia tetap berhati-hati. "Senang mendengarnya, Raymond. Tapi kita tetap harus memantau perkembanganmu. Jangan terlalu cepat bergerak, oke?"
Namun, hanya beberapa hari setelah itu, Amelia mulai memperhatikan sesuatu yang tidak biasa. Raymond, yang sebelumnya mulai tampak segar, sekarang menunjukkan gejala aneh.
Raymond:”Dokter, saya merasa aneh... seperti lupa hal-hal kecil. Dan... tadi malam, saya melihat bayangan hitam di sudut ruangan. Itu nyata, kan? Atau saya hanya lelah?"
Amelia menatapnya dengan cermat. Ia mencoba menjelaskan bahwa halusinasi mungkin berasal dari stres atau efek sisa sepsis, tetapi nalurinya mengatakan ada sesuatu yang lebih serius sedang terjadi.
......................
Amelia memutuskan untuk memeriksa pasien lain yang juga menerima BetaMaxin. Dalam waktu singkat, ia menemukan pola serupa. Pasien-pasien yang awalnya membaik secara fisik mulai menunjukkan gejala neurologis: kehilangan memori jangka pendek, kebingungan, dan bahkan halusinasi.
Ia membawa catatannya ke laboratorium dan mengkonfrontasi Dr. Lian.
Amelia:”Lian, ini tidak bisa dibiarkan. Pasien-pasien BetaMaxin memang membaik secara fisik, tetapi efek samping neurologisnya tidak bisa diabaikan. Mereka kehilangan ingatan, mengalami halusinasi, dan bahkan menunjukkan tanda-tanda kerusakan otak."
Dr. Lian tetap tenang, meski ekspresinya sedikit mengeras. "Amelia, kita menghadapi darurat global. Superbug ini bisa membunuh ribuan orang dalam waktu singkat. BetaMaxin adalah satu-satunya harapan kita saat ini."
Amelia:”Tapi obat ini belum melalui uji coba yang memadai. Kita bahkan belum tahu efek jangka panjangnya! Bagaimana jika kerusakan neurologis ini permanen?"
Dr. Lian:(mendesah) "Semua obat baru memiliki risiko. Dalam situasi seperti ini, kita tidak punya waktu untuk prosedur standar. Setiap penundaan berarti kehilangan nyawa."
Amelia merasa terjebak. Di satu sisi, ia memahami tekanan yang dihadapi Dr. Lian dan timnya. Namun, di sisi lain, tanggung jawabnya terhadap pasien tak bisa ia abaikan.
......................
Beberapa hari kemudian, keadaan memburuk. Raymond, yang sebelumnya mulai pulih, tiba-tiba mengalami kejang hebat di bangsal. Alarm berbunyi keras, dan Amelia segera bergegas ke ruang darurat untuk menanganinya.
Amelia:(berteriak) "Dosis diazepam! Segera stabilkan tekanan darahnya!"
Tim medis bekerja dengan cepat, dan setelah beberapa menit yang menegangkan, kejang Raymond berhasil dihentikan. Namun, kondisinya semakin lemah.
Amelia memutuskan untuk melakukan pemindaian MRI pada otaknya, yang mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan: kerusakan permanen pada area hipokampus, bagian otak yang bertanggung jawab atas memori.
Ketika Raymond akhirnya sadar, ia tampak kebingungan.
Raymond:(dengan suara lemah) "Dokter... apa yang terjadi pada saya? Saya tidak bisa mengingat wajah istri saya..."
Amelia terdiam, merasa hancur. Di saat yang sama, ia diselimuti rasa bersalah. Apakah ia telah mengambil risiko terlalu besar dengan menggunakan BetaMaxin?
......................
Amelia memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Ia mengakses laporan uji klinis BetaMaxin dan membaca setiap halaman dengan teliti.
Di salah satu dokumen internal, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya mendidih: efek samping neurologis sebenarnya sudah diketahui dalam uji coba awal, tetapi sengaja tidak dicantumkan dalam laporan resmi untuk mempercepat persetujuan obat.
Amelia merasa dikhianati. Ia menemui Dr. Lian dengan bukti tersebut.
Amelia:(meletakkan dokumen di meja) "Jadi, ini alasannya efek samping itu muncul. Kalian tahu risikonya, tapi tetap meluncurkan obat ini. Berapa banyak nyawa yang akan kita korbankan sebelum menghentikan ini?"
Dr. Lian:(terdiam sejenak) "Amelia, kau tak paham. Jika kita menghentikan penggunaan BetaMaxin sekarang, ribuan pasien sepsis lainnya tak akan punya kesempatan bertahan hidup. Kita hanya butuh waktu untuk menyempurnakannya."
Amelia:(dengan nada dingin) "Kita tidak punya hak untuk menjadikan pasien sebagai percobaan tanpa izin mereka. Aku akan melaporkan ini."
......................
Amelia berdiri di depan komputernya malam itu, memandangi layar kosong. Jari-jarinya gemetar saat ia mulai mengetik laporan resmi untuk komite etika rumah sakit.
Ia tahu, jika laporan ini diteruskan, kemungkinan besar ia akan kehilangan pekerjaannya. Namun, membiarkan pasien menjadi korban eksperimen adalah sesuatu yang tak bisa ia terima.
Ia melihat foto pasien-pasiennya yang tersimpan di mejanya, termasuk Raymond. Dalam pikirannya, suara pasien-pasien itu bergema: harapan mereka, rasa syukur mereka, dan kini penderitaan mereka akibat efek samping yang tak terduga.
Dengan napas panjang, Amelia menyelesaikan laporannya. "Apa pun yang terjadi," gumamnya pada diri sendiri, "aku tidak akan tinggal diam."
Amelia menekan tombol "kirim," mengirimkan laporan itu ke komite etika. Ia tahu ini baru awal dari perjuangan panjang melawan sistem yang lebih mementingkan hasil cepat daripada keselamatan manusia.
Di balik semua risiko, Amelia yakin bahwa tanggung jawab utamanya adalah melindungi pasien apa pun konsekuensinya.