Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Bus besar itu terus berlari, berhenti sejenak memberikan kesempatan penumpang untuk makan, beribadah dan membuang hajatnya.
Nadira dan ibu sebelahnya saling berdiaman, tak lagi bertegur sapa.
Dalam diamnya Nadira menangisi nasibnya, karena ia menganggap mimpi mimpinya telah tercabut dengan paksa oleh pemuda bajingan itu.
Ia juga menganggap jika pelariannya ini adalah satu satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran pria tersebut.
Rasa kantuknya sudah sedemikian hebat, Nadira tak mampu lagi menahannya.
"Bismillah..!"
Terucap sebuah doa dalam hatinya untuk kebaikan dirinya.
Tibalah saatnya bus akan menyeberang.Menunggu giliran satu persatu kenderaan besar atau pun kecil, memasuki lambung kapal.
Semua penumpang bus turun, termasuk Nadira.
Ia hanya bisa mengikuti kemana orang orang itu setelah turun dari bus.
Ternyata mereka menuju ke lantai atas kapal, dimana ada bangku bangku berjejer.
Nadira ikut saja duduk seperti yang lainnya, menunggu hingga kapal merapat ke dermaga pulau seberang.
Sambil menikmati hembusan angin laut yang sangat kencang serta suara deburan ombak, pikiran Nadira, kemana mana.
Ia tidak tahu setelah ini bagaimana dengan nasibnya.
Mungkin untuk bertahan hidup di daerah yang sama sekali asing baginya, Nadira tidak merasa takut, karena ia memiliki tabungan yamg sangat banyak menurutnya.
Tabungan dari hasil menjual tanah warisan ayahnya.
"Boleh saya duduk.di sini? Semua bangku sepertinya sudah penuh!"
Seseorang menegur Nadira, tanpa melihat lawan bicaranya Nadira menggeser bokongnya untuk memberi tempat pada pemuda itu.
"Mau kemana mbak? Kenalkan saya Diki", ucap pemuda tersebut dengan ramah.
" Silahkan! Ini tempat umum!"
Dengan nada datar, Nadira mempersilahkan pria itu duduk.
Wajahnya tetap terarah ke depan, ia tidak berniat sedikit pun untuk menoleh, melihat lawan bicaranya.
Nadira sengaja memberi batas dan mengisyaratkan jika dia tidak ingin diganggu.
Sepertinya Diki sadar, jika perempuan muda di sampingnya itu sedang menunjukkan rasa tidak nyamannya untuk melanjutkan obrolan.
Dari samping, Diki mengamati wajah Nadira.
"Cantik!", bisiknya di dalam hati.
Hingga kapal merapat, tidak ada obrolan sedikit pun.
Nadira bergerak, mengikuti orang orang yang kembali ke bisnya masing masing.
Tanpa Nadira ketahui, ternyata Diki terus memantau pergerakkan Nadira, ia ingin tahu, bis mana yang dinaiki oleh gadis tersebut.
Setelah ditandai bisnya, Diki lalu naik ke bisnya sendiri.
Tiba di terminal Nadira celingak celinguk sebentar, mengitari pandangan semampu jangkauan matanya. Ia seakan akan sedang menunggu seseorang, berpura pura menghubungi dengan ponselnya.
Ia tahu, ada banyak orang yang sedang memperhatikannya untuk kemudian menargetkan dirinya untuk menjadi mangsa.
Tempat ini benar benar asing baginya, ia harus bersikap waspada. Tanpa kentara, Nadira semakin erat melindungi tas selempangnya, yang berisikan banyak uang dan surat surat berharga lainnya.
Hanya tas yang berisikan pakaian serta dalamannya saja yang ia pegang seadanya dengan sebelah tangannya.Sedangkan ponselnya ia masukkan ke dalam saku gamisnya.
Mata Nadira melihat sebuah warung tenda, ia menuju ke tempat itu, bermaksud untuk sekedar ngopi dan memakan camilan yang disediakan oleh pemiliknya.
"Mau pesan apa Neng?", tanya seorang ibu bertubuh subur dan berhijab maroon.Wajah bulat ibu itu terlihat manis dengan senyum ramahnya.
" Saya mau kopi hitam dan dua buah roti manis bu", sahut Nadira ramah.
"Tunggu sebentar ya, akan saya siapkan!", ucap ibu itu lalu menyiapkan permintaan Nadira.
" Mau kemana Neng?", tanya si ibu sambil meletakkan pesanan Nadira di atas meja di hadapan Nadira.
Si ibu pemilik warung sudah paham, jika Nadira adalah penumpang salah satu bis dari pulau seberang.
"Terimakasih bu! Saya sedang menunggu keluarga yang akan menjemput saya, tapi sayang ia berhalangan sehingga tidak bisa menjemput saya.
Jadi saya memutuskan untuk mencari penginapan di dekat sisi saja.
Apakah ibu bisa merekomendasikan penginapan yang baik dan aman untuk saya?", tanya Nadira sambil menatap ibu itu lekat lekat.
Ia hanya ingin menunjukkan jika dia bukan perempuan bodoh yang kebingungan di tempat asing.
" Oh ada Neng, itu dia tempatnya!"
Si ibu menunjukkan sebuah bangunan yang berdiri kokoh di seberang jalan.
"Wisma Mentari", ucap Nadira di dalam hati.
" Tapi menginap di situ lebih mahal Neng", kata si ibu.
"Tidak apa bu, kebetulan ada sedikit uang untuk membayar penginapan itu. Paling tidak saya tidak terlantar malam ini, karena besok keluarga saya akan menjemput", dusta Nadira.
Tanpa Nadira sadari, Diki juga sedang berada di tempat itu.
Sama seperti Nadira, pemuda itu juga memesan seperti pesanan Nadira.
Ia mendengar semua omongan kedua perempuan itu.
Setelah selesai urusannya di warung tenda itu, Nadira membayar sejumlah uang pada si ibu.
Ia sengaja menyimpan uang untuk keperluannya di jalan di saku gamisnya yang berbeda dengan saku tempatnya menyimpan ponsel.
Ia tidak mau harus membuka buka tas selempangnya untuk mengambil uang dan memberi kesempatan orang lain melihat isi tasnya.
Dengan santai Nadira melangkah, berjalan, menuju ke penginapan itu.
Setelah membayar uang sewa satu.malam, Nadira menuju ke kamarnya.
Begitu masuk.ke dalam kamar dan mengunci pintunya sekalian, Nadira merebahkan tubuhnya yang sangat letih akibat perjalanan panjangnya di dalam bis.
Saking capeknya, Nadira langsung tertidur dengan sangat nyenyaknya dengan tas selempang berada di dalam dekapannya.
Gadis itu benar benar menjaga tas itu, walau di dalam tidurnya sekali pun.
Suara hiruk pikuk aktifitas warga serta terobosan sinar matahari dari cela cela ventilasi yang menghangatkan tubuh, membuat Nadira tersentak bangun.
"Astaga..!"
Sejenak Nadira linglung, ia bingung, mengapa dirinya berada di tempat yang sangat asing.
Namun ia segera memulihkan memori ingatannya, kemudian ia tersenyum setelah menyadari semua yang telah terjadi.
"Ternyata aku sedang berada di sebuah penginapan dekat terminal, di.pulau seberang yang sangat jauh dari kampung halamanku!
Ya Allah, tolong lindungi aku!"
Nadira beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri dan menuntaskan semua kebiasaannya di pagi hari.
Sebelum.benar benar meninggalkan kamarnya, Nadira terlebih dahulu berselancar di dunia maya.
Ia ingin mencari informasi, untuk mencari rumah sewa atau kamar kost.
Nadira memutuskan untuk mencari pekerjaan di daerah ini, demi kelangsungan hidupnya yang sebatang kara itu.
Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Nadira memesan ojek online untuk membawa dirinya ke tempat tujuannya.
Sebuah rumah kontrakan yang cukup mungil, tipe tiga puluh enam yang berada di kompleks perumahan padat penduduk.
"Sesuai alamat ya mbak?", yanya bang ojeknya.
" Ya benar bang!", sahut Nadira singkat.
Seperti kesepakatan sebelumnya, Nadira dengan sang pemilik, Nadira langsung meminta kunci rumah yang sudah ia transfer uang sewanya setahun.pada sang pemilik.
Kebetulan si pemilik rumah itu rumahnya di sebelah dinding rumah kontrakkannya.