Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 - Apakah Aku Menakutkan?
“Kenapa kau mendadak bisu?” Tuan Minos menatap nyalang, berhasil membuat gadis itu merasa semakin terpojok.
“Aku hitung sampai lima, jika kau tidak memberi jawaban, maka aku akan memotong kedua kakimu dan menyuruhmu berlari keluar dari kastil malam ini juga!” final Tuan Minos, rasa sabarnya yang seujung kuku tak bisa dibuat main-main.
Dada Naina kembang kempis. Kedua kakinya bergetar hebat, pikirannya sudah menerawang jauh pada hal mengerikan yang akan dialaminya nanti. Mau keputusan apapun yang dipilihnya, tetap saja Naina tidak mendapat keuntungan.
“Satu...” Pedang yang digenggam Tuan Minos mulai diacungkan ke depan, sejajar lurus ke arah Naina.
Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, memunculkan bayang ketakutan di sana. Tidak ada pilihan untuk mundur, Naina dipaksa untuk tetap mengambil pilihan yang ada.
“Dua...” Tuan Minos menghitung dengan tenang, tapi nampak jelas dari raut wajah mengerikan itu dipenuhi oleh ancaman.
Sedang Naina masih bergeming. Pikirannya menghitam. Kakinya mendadak lumpuh, terjatuh begitu saja. Tenggelam dalam ketakutan tak berujung.
“Tiga...” Kali ini Tuan Minos melangkah ke depan, ujung pedang yang lancip tersebut semakin diarahkan pada wajah Naina yang sudah pucat.
“... Sepertinya kau benar-benar ingin mati!” tambah Tuan Minos di sela langkahnya yang laun tetapi teror kian meningkat di setiap ketukan yang terdengar.
“Empat...” Tuan Minos menatap datar, wajah hancurnya teronggok tanpa ekspresi.
Mulut Naina yang bungkam perlahan terbuka, suaranya masih tertahan di kerongkongan. “A-aku... Tuan, tolong...”
“Bicara dengan benar!” Kaki panjangnya sudah berhenti melangkah, hanya tersisa beberapa langkah sebelum ujung pedangnya benar-benar menyentuh dahi gadis itu.
Tuan Minos sudah menduga, bahwa gadis di depannya ini mana mungkin mau melakukan hal itu dengan pria macam dirinya. Penolakan berulang kali diterimanya, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.
“Lim—” Ucapannya terpotong.
Di detik-detik terakhir Naina menyambar ucapan Tuan Minos, mulutnya mengambil keputusan yang bertentangan dengan pikirannya, “Aku akan melayanimu malam ini, Tuan!” Suaranya bergetar, satu dua tetes air mata mulai meluruh.
Tora yang menyimak di sudut ruangan lantas mengembuskan napas lega. Tanpa disuruh pergi, dirinya memilih untuk keluar dari ruangan dan memberi waktu bagi mereka berdua.
“Kalau begitu lepaskan pakaianmu!” Mulut lebar yang berlumur darah tersenyum menyeringai. “... Lepaskan sampai tidak ada satupun yang tersisa.”
Bercinta dengan pria bertubuh monster? Naina tidak pernah membayangkan hal itu akan terjadi dalam hidupnya. Layaknya manusia pada umumnya, Naina juga pernah punya harapan memiliki kisah cinta indah dan kehidupan rumah tangga yang menyenangkan.
Tapi sepertinya Naina tidak diizinkan memiliki jalan hidup sesuai dengan keinginannya. Karena sisa hidup yang dimilikinya akan berkutat di kastil ini, menghabiskan sisa waktunya dengan pria tersebut.
“Tapi sebelumnya aku minta maaf, Tuan.” Dengan tangan yang gemetar hebat, Naina melepas resleting gaunnya. “Aku belum punya pengalaman sama sekali dalam hal ini. Dan juga...”
Gaun krem polos nyaris melorot dari tubuh Naina, menampilkan bongkahan dada yang berusaha ditutupi oleh kedua tangan. “Tubuhku punya beberapa bekas luka.” Kakinya yang menggeligis membuatnya hilang keseimbangan, susah payah berdiri.
Ketika gaun itu sempurna jatuh dari tubuhnya, menampilkan lekuk badannya tanpa tertutup sehelai benang pun. Naina perlahan bergerak memutar, menunjukkan luka-luka yang dimaksud.
Bilur panjang mencetak punggung gadis tersebut, rambut hitamnya yang tergerai langsung ia sampirkan ke bahu. Semakin jelas luka itu terpampang. Seperti bekas luka bakar yang membuat kulit tak lagi utuh.
Selain di punggung, di bagian pinggul dan paha belakang juga ada beberapa bekas luka. Bentuknya panjang melingkari ukuran pinggul dan pahanya, mungkin bekas tali yang mengikat kuat?
“Bagaimana, Tuan?” Naina menunggu jawaban, tahu pria itu hanya diam tidak merespon apa-apa. Penasaran apa yang ada dalam pikiran Tuan Minos.
Tuan Minos memasang wajah kaget. Ia jadi teringat ucapan Tora yang menceritakan sedikit tentang kehidupan Naina. Tapi rasa penasarannya tentang bagaimana gadis itu mendapatkan luka-luka tersebut segera terhempas setelah menyadari tujuannya saat ini untuk apa.
“Berbaliklah! Dan lihat aku baik-baik,” perintahnya tegas, langsung membuat Naina menghadap padanya.
Naina mengamati baik-baik sesuai perintah, pandangannya tidak lepas dari lagak-lagu pria dihadapannya. Saat Tuan Minos mulai melepas satu per satu pakaiannya, dimulai dari jubah dan tudung kepala, mata Naina tidak berkedip.
Tudung yang menutupi kepala sudah terbuka, Naina melihat rambut Tuan Minos yang ternyata cukup gondrong. Rambut ikal sebahu itu diikat ke belakang, tampak lengket dengan cairan merah pekat dan kebauan.
Jubah yang masih membalut tubuh besar dan kokohnya pun mulai dilucuti. Berserak di atas lantai, menampilkan tubuhnya yang memang layaknya monster. Tangan yang tertutup oleh sarung tangan ternyata penuh dengan bulu hitam, bulu tebal nan hitam itu memenuhi bagian dada hingga pinggang. Sedang paha hingga ujung kaki seperti tulang yang dibalut kulit hitam kegosongan tanpa bulu.
“Jangan khawatir dengan lukamu yang tak seberapa. Yang kutanyakan apakah kamu mampu menerimaku dengan kondisi seperti ini?” Tuan Minos perlahan membalikkan tubuh, menunjukkan bagian punggungnya pada Naina.
Ternyata kondisi tubuh Tuan Minos semakin terlihat aneh saat sayap hitam lengket pada punggungnya. Kerangka sayap itu tidak banyak ditumbuhi bulu, sehingga tulang-tulangnya terlihat menonjol.
Jadi, Tuan Minos ini jelmaan atau binatang yang memiliki sayap? Dikatakan manusia bukan, tapi tidak ada binatang yang menyerupainya.
Naina tidak tahu harus berkomentar apa, sejak awal pun dirinya memang menganggap pria itu sebagai monster yang menakutkan. Ditambah sekarang rupa sebadan-badannya bisa dilihat jelas tanpa tertutup pakaian, Naina hanya bisa meringis.
“Karena kita sudah sama-sama telanjang. Sama-sama tahu kondisi tubuh kita masing-masing bagaimana. Jadi, mari kita lanjutkan aktivitas ini ke tahap selanjutnya.” Tuan Minos berbalik, kembali mengikis jarak antara dirinya dengan gadis itu.
Sedang Naina sudah pasrah, benar-benar pasrah sampai tak berniat untuk memikirkan apa-apa lagi. Air matanya semakin merembes, memenuhi seluruh wajahnya, mulutnya digigit kuat untuk menahan jerit yang akan lepas.
Saat tersisa satu langkah lagi, Tuan Minos berhenti. Tangan panjangnya terulur, menyentuh dagu Naina, membuat gadis itu menengadah untuk menatapnya. Meski jemari tangannya ditumbuhi bulu-bulu panjang yang lebat, air mata milik Naina masih bisa dirasakan.
Mereka hanya beradu pandang sebentar, Naina lebih dulu memejamkan mata. Menerima apapun yang akan dilakukan pria dihadapannya tanpa berpikir untuk menolak.
Dan keheningan yang menyelimuti hanya diiringi oleh seruan detak jantung Naina yang seakan terdengar menggema hingga seisi ruangan. Sedang Tuan Minos yang melihat gadis dihadapannya terus menggugu dalam tangis, merasakan perasaan tak nyaman.
“Pergilah...” Tangan milik Tuan Minos perlahan turun dari pipi Naina, suaranya mengalun sendu, pandangannya pun dialihkan ke sembarang arah.
Naina yang melihat hal tersebut sontak membuka mata seraya mengerutkan kening. “A-ada apa, Tuan?” Bicaranya gelagapan, takut kalau dirinya sudah melakukan kesalahan.
Alih-alih langsung menjawab, Tuan Minos lantas berbalik. Memunggungi Naina, berhasil membuat gadis tersebut semakin tenggelam dengan perasaan bingung.
“Tuan?” Begitu hati-hati Naina saat berbicara, berharap bahwa dirinya sedang tidak melakukan kesalahan.
“Kau tuli?”
Begitu pertanyaan sarkas terdengar dari mulut Tuan Minos, Naina langsung mengambil ancang-ancang untuk bergerak mundur. Perlahan berjongkok, meraba-raba untuk meraih pakaiannya yang tergeletak.
Ketika terdengar derap langkah kaki Naina yang berlarian menjauh, Tuan Minos meloloskan napas panjang. Tubuhnya berangsur-angsur merosot ke lantai tanpa perlawanan.
“Bagaimana mungkin aku bisa menidurinya setelah melihat wajahnya yang tertekan seperti itu?” gumam Tuan Minos dengan suara lirih.
“... Apa aku begitu menakutkan di matanya?”
“Dia hanya belum tahu dirimu yang sebenarnya, Tuan,” celetuk Tora yang rupanya diam-diam menguping, mendadak ia sudah ada di pojok ruangan.
Tuan Minos melirik padanya. “Kau juga pergilah! Kata-kata seperti itu tidak membuatku senang!”
Dengan suara yang menciut, Tora menjawab, “Ba-baik, Tuan.”
***