Ini kisah tentang kakak beradik yang saling mengisi satu sama lain.
Sang kakak, Angga Adiputra alias Jagur, rela mengubur mimpi demi mewujudkan cita-cita adik kandungnya, Nihaya. Ia bekerja keras tanpa mengenal apa itu hidup layak untuk diri sendiri. Namun justru ditengah jalan, ia menemukan patah hati lantaran adiknya hamil di luar nikah.
Angga sesak, marah, dan benci, entah kepada siapa.
Sampai akhirnya laki-laki yang kecewa dengan harapannya itu menemukan seseorang yang bisa mengubah arah pandangan.
Selama tiga puluh delapan hari, Nihaya tak pernah berhenti meminta pengampunan Angga. Dan setelah tiga puluh delapan hari, Angga mampu memaafkan keadaan, bahkan ia mampu memaafkan dirinya sendiri setelah bertemu dengan Nuri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Berbekal arahan Nuri, Aji pun diam-diam mencari informasi tentang Nihaya. Mahasiswa hukum yang sangat mencintai Nihaya tersebut pertama-tama ingin mendatangi rumah gadis itu. Sudah hampir dua bulan ia tidak berkunjung lantaran dilarang oleh Nihaya. Nihaya akan marah tanpa sebab jika Aji tiba-tiba datang menemuinya di rumah.
Pernah suatu ketika Nihaya hampir melukai dirinya sendiri karena Aji bersikukuh tak mau pulang meskipun laki-laki itu di usir. Nihaya adalah gadis lembut yang pernah Aji punya, tak ayal jika perubahan sikap yang ditunjukkan Nihaya membuat Aji bingung setengah mati. Apa sekiranya yang di tutupi Nihaya selama ini? gumam Aji.
Malam ini, Aji menyusun strategi untuk esok. Kegalauannya telah menemukan titik terang lewat perbincangannya dengan Nuri. Tidak seperti kemarin-kemarin, hanya bisa bertanya-tanya dalam hati kebingungan tanpa ada usaha lain.
Pepatah jawa mengatakan; kakehan gludhug, kurang udan. Artinya terlalu banyak bicara minim usaha, satu aksi lebih baik daripada berjuta kata-kata. Aji merasa seperti itu kemarin. Karena sedih ia tidak bisa berfikir jernih.
Sekarang dia mulai bertindak. Hasilnya, entah Aji atau Angga yang lebih dulu mengetahui kebenarannya.
...***...
Sementara di gubuk derita Angga.
Nyatanya semarah apapun Angga, tetap tidak tega membiarkan Nihaya di luar seorang diri. Malam ini mereka berteduh dari dinginnya angin malam di satu atap yang sama. Angga bahkan mempersilahkan adiknya menempati tempat tidur miliknya. Sedangkan ia menggelar karpet lima belas ribuan di lantai peluran.
"Mas Angga tidur di sini saja, biar aku yang disitu." Tawar Nihaya, namun Angga tidak membalas dan memilih meringkuk membelakangi wanita itu. Mereka sebenarnya saling peduli, tapi tidak saling bicara.
Nihaya kembali terdiam. Di kasur pun dia hanya duduk, menatap lekat Angga yang mulai tertidur.
Malam semakin malam. Hujan yang sempat turun kini sudah mereda. Sekitar pukul dua dini hari, tidur Angga terpantau gelisah. Angga meringis, merintih, gusar, menjadi satu.
"Mas Angga, bangun Mas. Mana yang sakit, biar aku obati."
"Perutnya sakit banget." Lirih Angga. Di situasi sakit macam ini, dia lupa kalau sedang perang dingin dengan Nihaya. Egonya menguap, keluar bersamaan dengan keringat dingin sebesar biji jagung. Kaki dan badan Angga terasa dingin. Wajahnya pun pucat pasi.
"Kayanya Mas Angga masuk angin. Sini aku kerokin Mas. Maaf bajunya di buka ya." Angga manut saja. Dia membuka kaus dan melemparkannya ke sembarang arah.
Nihaya mulai melakukan tugasnya. Ia membaluri badan Angga pakai minyak urut Baljitot yang dia temukan tak jauh dari kasur. Perlahan-lahan kondisi Angga membaik. Badanya mulai menghangat, sakitnya pun sudah pergi. Nihaya memberi air hangat untuk Angga minum.
"Makasih." Ujar Angga. Nihaya tersenyum senang.
"Sama-sama Mas. Mas Angga mending tidurnya di sini." Kata Nihaya sambil menepuk-nepuk kasur empuk.
"Kalau saya disana, terus kamu dimana?!"
"Ya kita bisa tidur berdua di sini Mas. Kita kan saudara kandung, jadi gak masalah."
Benar juga. Kepalang sakit, Angga pun tidak mau melanjutkan tidurnya di lantai. Dia menerima tawaran Nihaya. Mereka lantas berbagi ruang tempat tidur.
Angga tidur miring membelakangi eksistensi Nihaya. Matanya terpejam hanya sekadar merem-merem ayam. Angga merasakan tangan adiknya melingkar memeluk tubuhnya, kemudian ia berdehem.
"Ehmm, tidur Ni. Udah malam."
"Ini aku mau tidur Mas."
"Iya tapi nggak usah pakai meluk. Kalau mau peluk, bantal guling aja sana!"
"Aku perhatikan disini gak ada bantal guling Mas."
Oh iya, Angga lupa kalau dia tidak memiliki benda-benda sekunder. Malahan bagi Angga, bantal guling termasuk kategori tersier yang keberadaannya tidak penting-penting amat. Laki-laki itu membiarkan Nihaya memeluk sesukanya.
"Mas,"
"Hmm, ya ampun tidur Ni...dah malam. Kasihan juga sama kand--" tiba-tiba Angga menghentikan ucapannya seraya membuka matanya yang terpejam. Mau ngomong kandungan rasanya teringat harapannya yang hancur.
"Kand apa Mas?"
"Nggak! itu.. kand.. ang kambing."
Nihaya tidak menjawab lagi. Ia lanjut kembali memanggil Angga.
"Mas,"
"Ni.. udah jam berapa ini dan kamu belum tidur juga."
Nihaya kicep. Tidak ada lagi suara memanggil-manggil Mas karena takut malah membuat Angga tidak nyaman. Salah-salah bisa saja Nihaya dipulangkan Angga detik itu juga.
...***...
Paginya.
"Kamu nggak bawa pakaian?"
Nihaya menggeleng, "Nggak Mas. Aku kesini terburu-buru. Aku gak bawa persiapan apapun."
"Ceroboh kamu Ni. Pakai ini saja." Angga menyodorkan kaus dan celana training miliknya.
"Iya Mas, terimakasih. Mas Angga mau berangkat kerja ya? ini aku buatkan kopi. Aku cari-cari di dapur gak ada bahan makanan.
Angga menyeruput kopi buatan Nihaya. Dahinya berlipat ketika mencecap rasa kopi tidak seperti biasanya. Ah, mungkin gula di dapur habis. Pikirnya.
"Ni, saya mau tanya sesuatu sama kamu. Tapi ini bukan berarti saya sudah memaafkan semuanya."
"Tanyakan saja Mas."
"Kecelakaan yang sudah menimpa kamu, apakah janin itu baik-baik saja?"
Nihaya terpaku beberapa detik. Dia pun menjawab sejujurnya. Nihaya mengelus perut bawahnya dan berjalan mendekati Angga.
"Dia sudah tidak ada Mas. Aku kehilangan janin itu."
Angga menghela nafas panjang, mengusap-usap lembut kepala Nihaya. Kasihan juga adiknya merasakan sakit bertubi-tubi. Angga kemudian berinisiatif menanyakan soal pengakuan paman dan Nihaya yang katanya diperkoosa begundal. Dia sudah mulai percaya kalau adiknya tidak berbohong.
"Ni, soal kamu yang diperkoosa, terus kamu milih diam gak bilang sama keluarga, itu bagaimana cerita jelasnya? coba kamu kasih tahu ceritanya yang lengkap tanpa ada yang dilebih-lebihkan atau dikurangi."
"Baiklah, tapi Mas harus janji dulu." Nihaya menunjukkan jari kelingking untuk ditautkan sebagai bentuk janji yang disepakati.
"Janji apa dulu nih? kalau yang merugikan, saya ogah buat janji-janji."
"Janji Mas Angga tidak berbuat gegabah setelah mendengar ceritanya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama Mas Angga."
Angga diam sebentar, berfikir dan menimbang-nimbang.
"Oke saya janji. Ceritakan setelah saya pulang nanti. Jangan keluyuran kemana-mana, cukup diam di tempat ini saja."
"Iya Mas."
.
.
.
Bersambung.
Alan bakal jadi bapak asuh sembara si putra manusia dan Setengahnya jin....
Semangat berkarya akak Ze ayank....🫶🫶🫶🫶🫶