"Aku memacari Echa, hanya karena dia mirip denganmu. Aku gak akan bisa melupakanmu Inayah. Jadi dengarkan aku, pasti... pasti aku akan memutuskan Echa apabila kamu mau kembali padaku!" Terdengar lamat-lamat pertengkaran Catur dengan mantan kekasihnya yang bernama Inayah dihalaman belakang sekolah.
Bagai dihantam ribuan batu, bagai ditusuk ribuan pisau. Sakit, nyeri, ngilu dan segala macam perasaan kecewa melemaskan semua otot tubuhnya. Echa terjatuh, tertunduk dengan berderai air mata.
"Jadi selama hampir setahun ini aku hanya sebagai pelampiasan." monolog gadis itu yang tak lain adalah Echa sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persami (Perasaan Yang Bersemi)
POV Ghofar
Semburat jingga menemani perjalanan kami pagi ini. Ya benar, kami melakukan perjalanan menuju Bumi Perkemahan yang kemarin saat rapat sudah ditentukan lokasinya. Dengan menggunakan sebuah truck besar, kami diangkut sekaligus untuk menghemat waktu serta biaya akomodasi. Sekitar 2 jam waktu yang harus kami tempuh untuk sampai dengan selamat di tempat tujuan. Sesampainya disana, ternyata sudah ramai saja. Aku pikir memilih waktu sangat pagi agar bisa menemukan lokasi yang strategis untuk mendirikan tenda. Tetapi ada dari Sekolah lain yang sudah mendahului. Tentu saja hal ini sudah kami perhitungkan sebelumnya, karena hampir semua Sekolah mengadakan kegiatan persami saat ini, juga dengan tujuan sama. Yaitu, untuk melantik anggota baru pada ajaran baru tahun ini. Beruntungnya kami datang masih terhitung pagi. Coba bayangkan kalau telat sedikit saja, pasti kami akan kesulitan menemukan lokasi yang pas.
Setelah semua tenda selesai terpasang dengan rapi, kami bergegas untuk mencari kayu bakar dan keperluan memasak yang lainnya. Sudah terbagi menjadi 5 kelompok, yang masing-masing tenda terisi kurang lebih 6 orang anggota. Tidak semua jumlah penghuni tenda sama, karena pembagian juga berdasarkan jenis kelamin.
Sudah menjadi tugas dan kewajibanku sebagai Pradana untuk memastikan semua berjalan lancar tanpa kendala yang berarti. Walaupun jauh dari kata sempurna, setidaknya aku harus memaksimalkan tenaga supaya semua terkendali dengan baik.
"Okey semua, setelah tenda berdiri dan keperluan memasak lengkap. Silahkan kalian beristirahat sejenak, sebelum melanjutkan kegiatan selanjutnya" Himbauan yang aku sampaikan melalui toa yang sudah disiapkan sebelumnya.
"Na, kamu mau masak apa untuk makan siang kita? Kalau bisa buat yang mudah saja, tapi mengenyangkan dan lezat." Sayup-sayup terdengar suara Echa sedang berbicara dengan sahabatnya.
Entah kenapa sejak awal melihatnya, ada perasaan menggelitik yang aku tak tau artinya apa. Setelah beberapa hari yang lalu kami menjadi dekat. Meskipun dia hanya menganggapku sebagai seorang kakak dan sahabat. Sikapnya begitu hangat, membuat siapa saja merasa nyaman berada didekatnya.
"Cha, apa ada yang bisa kakak bantu?" Tawarku seraya duduk disampingnya.
"Terima kasih kak, tapi untuk sementara semua masih aman terkendali. Kakak mau makan gabung dengan kami?" Balasnya sambil tersenyum manis. Senyuman yang membuat jantungku bekerja berkali lipat.
"Boleh?" Tanyaku ragu
"Ya tentu saja boleh, kami akan masak lebih banyak. Ajak kakak senior yang lain buat gabung." Ratna menimpali omonganku.
Waktu terasa begitu cepat, makan siang bersama tadi sungguh membuat rasa kekeluargaan kami meningkat. Tidak ada senioritas dalam dunia pramuka. Yang ada saling tolong menolong, saling bekerja sama dengan penuh kerelaan.
Sesaat setelah waktu istirahat usai, aku kumpulkan semua anggota untuk melaksanakan apel pembukaan. Dengan dipimpin langsung oleh pembina pramuka kami yaitu Bu Ninik.
Malam harinya, acara paling ditunggu tiba. Api unggun serta penampilan bakat dari masing-masing kelompok. Ada yang bermain teater, ada yang bermain drama komedi, ada yang bermain gitar. Aku tak menyangka, ternyata anggota baru banyak sekali yang memilik bakat. Hebat sekali mereka. Dan sekarang giliran kelompok Echa, aku tak tau kelompok itu akan menampilkan apa. Tiba-tiba Echa menghampiriku berbisik "kak maukan memainkan gitar untuk ku? Aku akan bernyanyi." Tentu saja aku dengan semangat mengiyakan permintaannya.
Jreng jreng jreng
Di saat kita bersama, di waktu kita tertawa
Menangis, merenung oleh cinta
Kau coba hapuskan rasa
Rasa di mana kau melayang jauh dari jiwaku juga mimpiku
Biarlah, biarlah hariku dan harimu
Terbelenggu satu oleh ucapan manismu
Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan rasa sayang
Pastikan kita seirama
Walau terikat rasa hina
Sekilas kau tampak layu
Jika kau rindukan gelak tawa yang warnai lembar jalan kita
Reguk dan teguklah mimpiku dan mimpimu
Terbelenggu satu oleh ucapan janjimu
Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan rasa sayang
Pastikan kita seirama
Walau terikat rasa hina
Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan rasa sayang
Pastikan kita seirama
Walau terikat rasa hina
Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan rasa sayang
Akankah kita seirama?
Saat terikat rasa hina
Lagu dari grup band asal Jogja, Sheila on 7 mengalun indah dan menutup acara pementasan bakat malam ini. Setelahnya kita dipersilahkan istirahat sebelum acara jurit malam dilakukan.
"Dingin?" Aku berjalan mendekati Echa. "Lumayan kak" balasnya singkat.
"Makasih ya kak, tadi mau menemani aku tampil di tengah lapangan. Kalau tidak pasti aku sudah pingsan karena grogi. Aku demam panggung, dari dulu suka bernyanyi meskipun aku sadar suaraku tidak terlalu merdu. Tapi aku bisa mendadak bisu jika berhadapan dengan banyak orang. Trauma masa kecil dan pernah terluka parah akibat kecelakaan membuanya selalu merasa pusing jika melihat banyak orang berkerumun." Cerita Echa panjang lebar.
"Santai saja Cha, kakak senang kok membantu adek kecilku ini." Suaraku tercekat, serasa tidak rela jika aku hanya menjadi kakak angkatnya saja. Tapi aku bisa apa, aku belum punya keberanian mengungkapkan perasaan yang tiba-tiba datang.
"Jurit malam kita nanti kemana kak? Apa tempatnya aman? Maksudku, aku tidak takut dengan yang namanya hantu. Tapi karena ini diatas gunung, yang ku takutkan hanya hewan penghuni hutannya. Dan mungkin ada jurang yang tak terlihat karena malam." Seolah bimbang, Echa menanyakan hal yang sudah menjadi pertimbanganku juga atas persetujuan Pembina tentunya.
"Aman, mungkin akan ada ular besar yang akan menggigitmu. Nyam nyam nyam hahahaha." Senang sekali menggodanya, apalagi melihat wajah cemberutnya yang terlihat semakin manis.
"Gak asyik ah kakak. Sudahlah aku mau masuk ke tenda dulu." Echa gak terima diketawain oleh ku.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, sudah waktunya jurit malam dimulai. Dengan toa ditangan, aku bangunkan semua anggota yang masih terlelap itu. "Mari semua siap-siap berbaris ke lapangan, kita akan segera mulai acara jurit malamnya."
"Cha, kamu takut gak? Gelap, dingin pula." Si Ratna menggerutu gak jelas.
"Aku cuma takut ular Na." Echa bergidik ngeri.
"Tenang ya, aku pasti selalu disampingmu." Ku coba menenangkan perasaan Echa yang dari tadi terlihat gelisah.
'Semoga suatu hari nanti kamu bisa melihat ku Cha. Bukan sebagai seorang saudara. Tapi sebagai seorang laki-laki.' Batinku mendoakan serta mengaminkan sendiri isi hatiku. Meskipun mungkin hal ini adalah sesuatu yang sangat mustahil.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Alhamdulillah,
Terima kasih yang sudah menunggu kelanjutan cerita ini.
Bantu kritik dan saran di kolom komentar, sehingga cerita ini bisa semakin berkembang.
Jangan lupa juga klik bintangnya. Supaya aku lebih semangat buat nulisnya.
NO PLAGIAT!
by : Erchapram