Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbukanya Rahasia Baru
Mayat pemuda tidak dikenal itu akhirnya dibawa polisi untuk dilakukan autopsi di rumah sakit. Wijaya dan sahabat dekatnya, Ajat mengantar rombongan polisi sampai Desa Karajaan Sagara, tempat mereka memarkir kendaraan.
Sesampainya di Desa Karajaan Sagara, suasana menjadi tegang, banyak warga yang berkumpul di sekitar lapangan. Tatapan mereka semua tertuju pada mayat yang berada di dalam kantong yang tengah dimasukan kedalam mobil ambulans.
Polisi lalu pamit dan pergi meninggalkan Wijaya Kusuma, Ajat, serta penduduk Desa Karajaan Sagara. Ketika semua warga mulai berhamburan untuk kembali ke rumah masing-masing, Ningsih berlari mendekati Wijaya Kusuma.
"Sudah ku duga, pasti dia kesini," keluh Ajat yang sudah bosan dengan gangguan Ningsih, setiap kali dia dan Wijaya berada di desa ini pasti Ningsih selalu mencegat dan menganggu.
"Aa Wijaya, jangan dulu pergi ya!" teriak Ningsih.
Wijaya menoleh dan tersenyum hambar pada gadis centil itu, "Ada apa sih? Mau kasih lagi tanghulu? Aa nggak suka ah, terlalu manis."
"Bukan ih! Aa gawat!" ucap Ningsih panik.
"Gawat kenapa atuh?" tanya Wijaya yang sebenarnya tidak peduli.
"Kampung Aa viral nih di Tictac!" Ningsih menunjukan layar ponselnya ke hadapan Wijaya.
"Ya tidak apa-apa atuh, memangnya kenapa? Pasti orang-orang di luar sana heran karena di jaman seperti ini masih ada kampung yang gelap gulita dan mengandalkan obor dari bambu."
"Bukan masalah kampungnya, tapi lihat nih, Aa jadi terkenal. Banyak yang genit di kolom komentarnya! Ih Ningsih gak suka!" tegas Ningsih dengan wajah kesal.
"Mana, coba aku lihat!" Ajat lalu mengambil ponsel di tangan Ningsih, menatap layar ponsel dengan seksama.
"Eh, iya Kang. Banyak yang naksir Akang!" ungkap Ajat, membaca komentar dalam video pendek itu.
"Tuh kan! Aku gak suka banyak saingan gini teh!" keluh Ningsih.
"Kamu gak perlu takut, kan Aa nggak punya ponsel, mana bisa Aa balas komentar mereka."
"Nih ponselnya," Ajat lalu mengembalikan ponsel Ningsih.
"Sudah ya, kami mau pulang," ucap Wijaya, mengakhiri obrolan dengan Ningsih.
Wijaya dan Ajat lalu bergegas pulang sebelum obor bambu mereka padam, saat di perjalanan, Ajat tiba-tiba membahas soal kematian bapak Wijaya yang juga penuh kejanggalan.
"Kang, sebenarnya saya sudah lama nahan mau ngomong ini sama Akang," ungkap Ajat.
"Bahas apa Jat, ngomong aja atuh. Kan kita teh sahabat dari kecil," jawab Wijaya, memegang obor dengan tangan kanan dan menoleh sebentar.
"Pak Kepala Desa Rama Wijaya, sebenarnya juga meninggal tidak wajar kan?"
"Ah, tidak Jat. Bapak kan memang punya riwayat sakit lambung," sanggah Wijaya.
"Tapi, denger-denger meninggalnya kaya diracun Kang" sambung Ajat ragu-ragu.
"Tidak Jat, bapak saya memang sakit lambung, itu mah cuma gosip," Wijaya mencoba menegaskan.
"Tapi Kang Wijaya tahu nggak, sebelum Pak Rama meninggal, beliau sedang berselisih dengan Kepala Desa Karajaan Sagara?" Ajat kembali bertanya karena dorongan rasa penasaran yang tersimpan sejak lama.
Pertanyaan itu sontak membuat Wijaya terdiam, bahkan membuat langkahnya terhenti sejenak. Wijaya tiba-tiba ingat kejadian saat diremehkan oleh Kepala Desa itu.
"Kamu tahu dari siapa Jat?" Tanya Wijaya, menoleh dengan sorot mata tajam seolah emosinya baru saja bangkit.
Ajat menatap ngeri Wijaya, Ajat mencoba tidak memperpanjang obrolan tadi namun Wijaya sudah tanggung penasaran, padahal yang tahu kisah ini hanyalah para sesepuh desa.
"Yang saya dengar. Pak Rama berselisih paham dengan Kepala Desa Karajaan Sagara karena mereka hendak menggunakan mata uang dan meninggalkan sistem barter, Pak Rama tidak ingin Desa Karajaan Sagara membuka akses bagi budaya dari luar, termasuk metode jual beli."
"Apa benar yang kamu ucapkan itu, Jat?" Wijaya Kusuma mulai peduli dengan kisah yang tadi dia anggap hanya sebatas gosip belaka.
"Iya, saya juga tahu dari beberapa orang tua, saya kira Akang tahu, maaf ya Kang, kalau saya lancang bahas ini," ucap Ajat terbata-bata.
"Iya tidak usah merasa besalah, Jat. Justru saya bersyukur bisa tahu cerita ini, kita kan sudah lama berteman, tidak perlu menyimpan rahasia, jujur lebih baik," kata Wijaya Kusuma.