Seorang gadis terikat oleh takdir kelam, ditinggalkan orang-orang terkasih dan hanya dapat menjalani hidup dibalut kesedihan. Gadis itu tetap tegar dihadapan semua orang dan bertahan demi mencari keberadaan orang-orang terkasih. Gadis itu membangun kekuatannya dengan perlahan dan membuktikan bahwa dirinya tidak terikat oleh takdir tersebut.
Namun, ia hanyalah manusia biasa yang tidak dapat melawan hukum dunia. Lantas, bagaimana gadis itu akan melawan takdir kelam tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zeils Evanescent, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arc 1: SUFFERING; Chapter 4: Berharap
Entah sudah berapa hari berlalu, di dalam ruangan yang lembab, gelap, dan sesak ini aku hanya dapat duduk diam tanpa melakukan apapun. Itu adalah pilihan terbaik yang dapat ku lakukan demi menjaga kesehatan ku sendiri. Makanan yang diberikan kebanyakan sudah berjamur, untuk mendapat air hanya ketika hujan turun.
Kalau bukan karena kehadiran Grace di tempat ini, aku pasti sudah gila.
Gadis itu selalu mengajakku berbicara tentang berbagai hal, anehnya ia sama sekali tidak bertanya tentang masa laluku. Apa ia sengaja menghindari pertanyaan seperti itu? Mungkin dia berfikir bahwa masa laluku begitu buruk sehingga ia tidak ingin bertanya agar tidak merusak hubungan yang cukup baik ini.
Setiap harinya ia selalu bertanya tentang keadaanku, bagaikan seorang kakak yang mengkhawatirkan kesehatan adiknya. Yah, kuakui Grace memang memiliki kemampuan sebagai seorang kakak, bahkan aku sempat terbawa suasana akibat hal tersebut.
"Apa kau haus? Aku baru saja mengambil ini, minum lah." Ujarnya sambil memberikan piring yang berisikan sedikit air.
"Bagaimana denganmu?" Aku bertanya.
"Aku sudah meminumnya tadi, yang ini adalah bagianmu, minum lah." Jawabnya.
Aku mengambil piring tersebut kemudian meminum air di dalamnya tanpa berfikir panjang. Ketika aku sudah menghabiskannya, aku mengembalikan piring tersebut kepada Grace. Namun, sebelum itu aku melihat ia tersenyum lembut saat menatapku.
"Ada apa?" Tanyaku dengan heran.
"Bukan apa-apa, apa itu sudah cukup? Aku akan mengambilnya lagi jika masih kurang." Ujarnya dengan senyuman.
"Tidak apa itu sudah cukup, Grace. Kita akan kehabisan air jika menjadi rakus seperti itu."
Grace mengangguk saat mendengar jawabanku, kemudian duduk di sebelahku setelah meletakkan piring itu di depan jeruji besi.
"Hey, semisal ada yang menyelamatkan kita dari sini, apa yang akan kau lakukan setelah itu?" Tanya Grace, yang membuat ku merasa sedikit aneh.
"Aku tidak tahu, bahkan jika aku ingin melakukan sesuatu aku masih belum cukup dewasa untuk memutuskannya, belum lagi aku sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk melindungi diri." Jawabku, hingga membuat Grace terdiam. Sepertinya ia tidak berfikir kalau aku akan menjawab dengan sangat akurat.
"Aku pikir kau sudah cukup dewasa untuk memikirkannya.." Ia tersenyum kecut.
"Mengapa kau berfikir seperti itu?" Tanyaku.
"Habisnya, setiap kali aku bertanya kau selalu menjawabnya seperti orang dewasa, akurat dan tidak blak-blakan." Keluhnya sambil menghela nafas.
Aku menatapnya dengan aneh, sejak awal tidak mungkin ada orang yang berani menyelamatkan kami dari tempat ini. Selain tidak ada untungnya, merawat ratusan budak juga pasti merepotkan.
"Tapi, aku pernah mendengar sebuah cerita bahwa suatu kerajaan di daerah barat mengerahkan ribuan pasukannya untuk menumpas perdagangan budak dan menyelamatkan budak yang ditawan." Grace tersenyum saat menceritakannya.
"Benarkah? Bukannya itu cuma dongeng semata?" Tanyaku dengan heran.
"Tidak, kejadian itu terjadi 7 tahun lalu pada masa pemerintahan Raja Celestia VI. Operasinya berjalan sangat lancar hingga membuat banyak orang merasa curiga. Namun, setelah bertahun-tahun lamanya tidak ada kejadian buruk yang muncul. Kejadian itu pun mulai di lupakan dan diangkat menjadi cerita kepahlawanan Raja."
Cerita kepahlawanan Raja. Kalau itu memang benar-benar terjadi, maka tidak ada salahnya untuk berharap akan datangnya bala bantuan dari Kerajaan. Tapi, kapan itu akan datang?
Keesokan harinya, seorang gadis budak lainnya diambil untuk dijual. Seperti biasa terjadi kericuhan dalam prosesnya. Sungguh, mendengar teriakan putus asa seperti itu setiap hari membuatku sangat frustasi.
Kejadian saat rumahku dibakar oleh sekumpulan orang asing masih terbayang-bayang di kepalaku. Aku selalu bertanya-tanya tentang alasan mereka melakukan itu, bahkan aku merasa khawatir dengan kedua orangtuaku.
Bagaimana kabar mereka? Apakah mereka selamat? Atau mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa dan hanya bekerja seperti biasanya? Jika mereka kembali ke rumah dan melihat kondisi tempat itu, apa yang akan mereka lakukan? Apakah mereka akan mencari ku? Menangisi rumah yang hangus dan hilangnya diriku dari sana, apakah mereka akan menyelidiki kasus ini?
"Sepertinya aku terlalu banyak berpikir..."
Aku menghela nafas, belakangan ini aku sering sekali mengalami mimpi buruk. Aku hanya bisa tidur jika Grace berada di sisiku.
Kekhawatiran terbesarku adalah semisal Grace diambil dari sini, apa yang harus kulakukan setelah itu? Aku akan sendiri lagi, menghabiskan hariku dengan melamun sepanjang saat.
"Hm?"
Perhatianku teralihkan pada sudut ruangan, aku baru menyadari bahwa terdapat sebuah buku yang tidak asing di sana. Ketika aku melihatnya lebih dekat, itu adalah buku harianku yang masih terlihat baik-baik saja.
Saat aku membaca isinya dari halaman pertama, aku kembali mengenang ingatan saat hari ulang tahunku yang Ke-15. Ingatanku bertahan hidup selama beberapa hari di rumah sendirian, hingga pada saat sekelompok orang asing yang datang membakar rumahku. Aku belum menulis bagian itu disini, sepertinya aku butuh pena yang baru untuk menulis.
Namun, tidak mungkin ada pena di dalam penjara.
Tapi, jika buku harianku ada disini pasti pena yang ku letakkan di dalamnya juga berada di sekitar sini. Saat aku mencarinya dibawah tumpukan batu dan pasir, aku pun menemukannya tak jauh dari jeruji besi. Pena yang diberikan oleh Ayah dan Ibu.
Dengan dua hal ini, mungkin keseharian ku di tempat ini akan sedikit berubah.
"Apa yang kau lakukan di sana, Livia?" Grace bertanya dari sudut ruangan.
Saat mendengar suaranya, aku pun mendekat sambil membawa kedua benda itu di tanganku.
"Aku menemukan buku dan pena milikku di dekat jeruji besi, sepertinya mereka juga ikut membawanya kemari saat memasukkan ku ke tempat ini." Aku menjelaskannya sambil menunjukkan dua benda itu kepadanya.
"Buku dan Pena? Apa yang akan kau lakukan dengan itu?" Tanya Grace dengan penasaran.
Aku tersenyum kecil dan berkata, "Buku dan pena ini adalah hadiah ulang tahun yang diberikan oleh Ayah dan Ibuku, aku menjadikannya sebagai buku harian." Entah mengapa aku merasa sedih saat mengingat kedua orangtuaku.
Grace menatapku dengan lekat kemudian bertanya, "Buku harian? Apakah kau menulis keseharian mu di dalamnya? Boleh aku baca?" Ia bertanya dengan antusias.
"Tentu, tapi setelah aku menulis apa yang aku alami beberapa hari ini." Aku mendekat dan duduk tepat disebelah Grace.
Saat aku membuka buku itu, aku dapat melihat ekspresi Grace yang terlihat sangat penasaran dengan isinya. Ia duduk di sebelahku sambil memperhatikan apa yang ku tulis.
"Kau bisa membaca?" Tanyaku padanya.
"Tentu saja bisa! Meski aku terlihat seperti ini, aku telah belajar banyak hal dari akademi!" Dia berkata sambil tersenyum lebar.
"Akademi? Apa itu?" Tanyaku dengan heran.
"Kau tidak tahu? Akademi itu...."
Kemudian aku dan Grace saling bertukar cerita sembari aku menulis pengalamanku di buku harian. Dari ceritanya aku tahu bahwa dunia itu lebih luas dari apa yang dapat ku bayangkan. Ada banyak hal yang tidak ku ketahui, dan ada banyak tempat yang tidak ku kenal.
Aku pernah berpikir bahwa cerita ayah tidak sepenuhnya benar. Namun, setelah mendengarnya dari Grace aku pun langsung mempercayainya karena gadis itu telah melihatnya secara langsung. Aku belajar banyak hal dari gadis itu saat ia dengan penuh semangat bercerita kepadaku tentang dunia luar.
Kemudian beberapa minggu pun berlalu. Aku berpikir bahwa semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya untuk kami berdua jika kami tidak menonjolkan diri.
Namun, semua perkiraan itu salah. Aku, telah kehilangan teman pertamaku.
ntar ku lanjut lagi baca nya...
semangat terus