Despair Of Being
~Buku Harian Livia 1~
Hari ini aku berulang tahun yang ke-15, Ayah memberiku sebuah buku tulis dan selusin pena sebagai hadiah, Ibu memasak makanan kesukaan ku dengan porsi besar, dan kami memakannya bersama-sama sambil membicarakan banyak hal. Ada banyak hal yang terjadi dalam satu hari ini, dan aku merasa bahwa hari ini adalah hari terbaik yang tidak akan pernah ku lupakan...
——
"Livia~ jangan tidur terlalu malam."
"Baik Bu–"
Aku menutup buku tulis itu kemudian naik ke atas tempat tidur dan menutup kedua mata ku dengan rapat.
Hari ini Ayah dan Ibu menemaniku di rumah selama seharian penuh, mereka seakan melupakan pekerjaan mereka dan hanya berfokus kepadaku saja. Tetapi aku tidak membencinya, justru aku sangat menyukainya karena selama ini mereka berdua sangat jarang berada di rumah untuk menemaniku.
Huh.. aku sama sekali tidak dapat tidur, rasa bahagia ini terlalu besar hingga menyelimuti seluruh hati dan pikiranku. Tak sekalipun aku dapat fokus untuk tidur dan berhenti berfikir.
Namun tanpa ku sadari, rasa kantuk secara perlahan mulai menyelimuti pikiranku dan membawaku ke alam mimpi dalam sekejap mata.
"Apa itu?"
Ujarku sambil memiringkan kepala, tampak di hadapanku ada sebuah rumah? Entahlah apa itu bisa disebut rumah atau tidak, sebab bangunan sederhana itu tengah terbakar dan ada banyak bongkahan dan pecahan dinding yang hancur disekelilingnya.
Entah mengapa ketika melihat rumah terbakar itu aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat, di mana aku pernah melihat rumah seperti itu?
Namun saat aku sadar langit-langit kamarku telah memenuhi pandangan, mimpi apa itu barusan? Hal itu sudah cukup untuk membuat ku tidak memikirkan apapun selain rumah terbakar tersebut.
"Livia?"
Aku menoleh ke samping dan menemukan Ibuku yang sedang menatapku dari pintu kamarku dengan kebingungan. Kami saling menatap, entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari kontak mata ini.
"Selamat pagi, Ibu-"
Ibuku termenung sendiri sejenak kemudian membalas. "Selamat pagi, kita akan segera sarapan jadi segera bersiap~" Katanya sambil tersenyum.
"Um.." Aku mengangguk.
Perkara rumah terbakar itu akan ku lupakan untuk sementara waktu, sebab ada hal yang lebih penting dari pada hal tersebut yang benar-benar harus aku lakukan.
Yah, aku hanya merapikan tempat tidur dan membasuh wajah saja, setelah bangun tidur aku harus melakukan hal ini terlebih dahulu, sebab jika aku tidak melakukan kedua hal tersebut, sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.
Aku berjalan ke dapur, sesampainya di sana aku melihat Ibu yang sedang memasak dan Ayah yang sedang duduk santai di meja makan sambil meminum secangkir teh hangat.
"Selamat pagi, Ayah." Sapaku dengan senyum kecil.
Ayah menoleh ke arahku dan membalas dengan senyuman hangat sambil berkata. "Selamat pagi, Livia." dengan suara yang penuh kasih.
Ibu memasang senyuman diwajahnya saat menyadari kehadiranku di sana, dengan sigap Ibu segera menyelesaikan masakannya ketika sudah matang, kemudian menghidangkan semua hasil masakannya di atas meja makan, ada berbagai jenis makanan di sana dan semuanya ditata dengan rapi oleh Ibu.
Setelah menunggu beberapa saat Ibu akhirnya bergabung dengan kami di meja makan, sehabis berdoa kepada Dewa kami pun menyantap makanan yang dihidangkan dengan lahap.
Menurutku keseharian yang biasa seperti ini tidaklah buruk, sebab hidup tanpa masalah adalah yang terbaik. Tetapi, apakah hidup tanpa masalah itu benar-benar ada? Tentu saja hal yang seperti mimpi itu sama sekali tidak ada.
"Hari ini, Ibu dan Ayah akan pergi ke mana?" Aku bertanya kepada Ayah yang sedang menulis diatas secarik kertas.
"Kami akan pergi ke kota Ureia yang berada di sebelah barat. Perjalanannya membutuhkan waktu 2 hari dengan kuda, sedangkan urusan Ayah dan Ibumu sepertinya akan memakan banyak waktu paling banyak 3 hari, setelah itu kami akan pulang." Jawab ayah dengan rinci.
"Begitu ya, semoga perjalanannya dapat berlangsung dengan baik." Aku berkata sambil tertawa kecil, Ayah melihat itu dan hanya tersenyum, sepertinya ada hal yang mengganggu pikirannya.
Ayah meletakkan pena yang ia pegang di atas meja kemudian menatap lurus padaku, sepertinya Ayah ingin mengutarakan sesuatu yang penting.
"Livia, dengar ya. Ayah dan Ibu akan pergi dari Rumah selama 1 Minggu penuh. Selama itu, kamu sama sekali tidak boleh membuka pintu, jendela, ataupun pintu kecil di atap rumah. Kemudian jika ada orang lain yang mengetuk pintu kamu sama sekali tidak boleh meresponnya."
Aku merasa aneh, ada apa dengan Ayah hari ini? Padahal selama ini aku sering di tinggal sendirian di rumah, tetapi baru kali ini Ayah sampai seperti ini menasihati dan memperingati ku.
"Kenapa?" Aku bertanya sambil memiringkan kepala.
Ayah hanya tersenyum saat aku menanyakan hal itu. "Cukup lakukan apa yang Ayah katakan saja, dan jika kamu mencium bau asap, segera keluar dari pintu belakang." Katanya sambil mengelus rambutku dengan tangannya yang hangat.
Yah, Jika Ayah berkata seperti itu aku hanya bisa menurutinya, bagaimana pun semua yang dikatakan oleh Ayah selalu benar.
Waktu berlalu dengan cepat, tidak terasa hari sudah siang. Ayah dan Ibu telah bersiap-siap untuk melakukan perjalanan panjang, mereka membawa berbagai jenis peralatan bertahan hidup dan bahan makanan.
Perlengkapan mereka juga menjadi lebih banyak dari yang biasanya, apa karena perjalanannya lebih panjang dari sebelumnya? Entahlah, aku sama sekali tidak mengerti.
"Livia, jaga dirimu baik-baik." Ibu memelukku dengan erat, seakan diriku akan pergi ke tempat yang jauh dan ia tidak ingin melepaskannya.
Tetapi, bukankah yang akan pergi itu Ayah dan Ibu? Kenapa adegan ini terasa sangat menyedihkan?
Aku berfikir dengan keras hingga menemukan satu jawaban, mungkin saja Ibu tidak ingin melepaskan pelukannya karena ingin bersamaku lebih lama? Jika sudah pergi maka hanya perasaan rindu yang akan melanda hati.
Ya, pasti seperti itu.
Aku pun membalas pelukan Ibu dengan erat juga, "Ibu juga, jaga diri baik-baik. Livia akan sangat merindukan kalian nantinya." Aku berbisik dengan suara pelan.
Ibu mendengarnya dan memelukku dengan semakin erat, aku merasa sesuatu membasahi punggungku, apa itu?
Yah karena aku tidak bisa melihatnya, aku pun mengabaikannya dan fokus untuk merasakan kehangatan Ibu yang menenangkan.
Beberapa saat kemudian Ibu melepaskan pelukannya dan menatapku dengan mata yang sedikit memerah, aku hampir tidak menyadarinya karena bayangan membuat tempat itu sedikit gelap.
"Sampai jumpa, Livia. Putri kecilku tersayang."
Jantungku berdetak dengan keras, apa itu tadi? Entah mengapa aku merasa tidak ingin mendengar kalimat itu.
"Ah.." Tanpa ku sadari aku melamun.
Saat aku sadar, Ibu dan Ayah telah pergi jauh dan hanya menyisakan bayangan berbentuk manusia di kejauhan.
Apa itu tadi? Entah mengapa dadaku terasa sesak, apa aku merasa tidak enak badan? Sepertinya aku harus minum air hangat.
Seperti apa yang diperingati oleh Ayah, aku menutup semua jendela serta pintu yang ada di rumah kemudian menguncinya dengan rapat. Aku hanya menyisakan lentera di ruang tengah dan mematikan lentera lainya di dalam rumah.
Biasanya aku hanya akan tertidur, melamun, atau membaca buku di kamar Ayah di saat kedua orangtuaku sedang pergi untuk bekerja. Tetapi karena aku telah memiliki buku harian ku sendiri, aku pun menulis apa yang aku lakukan dalam satu hari ini di dalam buku tersebut, untuk mengisi waktu luang.
"Semoga Ayah dan Ibu pulang dengan Selamat."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Mr. Wilhelm
Tulisannya sudah rapi cuman sedikit koreksi aja kalau dialog tag gunakan huruf kecil ya sama akhir dialognya diakhiri koma
2024-05-19
0
🎀
jangan lupa mampir ya thor
2024-05-09
0
🎀
kaya perpisahan nggak sih?
2024-05-09
0