"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 : Dua Pria yang Hadir di Hidupku
Ucapan yang dilontarkan lelaki itu, tentu saja menyulut emosi panitia. Lebihnya lagi, yang berada di hadapannya saat ini adalah panitia inti dari BEM universitas. Ia didorong dengan kuat hingga jatuh terduduk di tanah. Para panitia yang datang dari beberapa fakultas lantas turut mengepung dan menghardiknya.
“Lo mau unjuk jago di sini? Mau jadi pahlawan buat teman-teman lo? Atau mau caper? Hah?!” teriak mereka dengan mata yang memancarkan tombak api.
“Ospek hanya bagian dari tradisi kolonial yang masih dilestarikan hingga saat ini!” balasnya.
Bahkan, sudah didorong seperti itu ia masih tak gentar sedikit pun. Para panitia lantas semakin emosi dan menarik paksa dirinya agar berdiri. Mereka juga hendak menyeretnya ke suatu tempat. Namun, langsung dicegat oleh salah satu senior dari fakultas kedokteran.
"Mau kalian bawa dia ke mana?" tanya kakak senior kami yang berasal dari fakultas kedokteran.
"Lo lihat sendiri, kan, nih anak kurang ajar ma kita? So, biar jadi urusan kita!" cetus panitia inti.
“Sorry, Bro. Ketua BEM FK ngasih pesan gak ada yang boleh nyentuh Maba-nya.”
"Ketua BEM FK?" Pria dengan rambut yang mirip sarang tawon lantas menyeringai, "Oh ... ternyata ini Maba manja dari FK yang ketua BEM-nya aja mengusulkan penghapusan perploncoan? Lihat, bahkan ketua BEM kalian enggak hadir buat belain kalian!"
"Ketua kami enggak hadir sebagai bentuk aksi protes karena tidak setuju dengan ide kalian yang terlalu menyiksa Maba!" bela senior perempuan dari fakultas kami.
“Jadi, kalian gak mau ngasih, nih, anak ma kita?” tanyanya seolah memberi pilihan.
Senior-senior dari fakultas kami saling menatap bimbang. Sangat terlihat jika mereka juga terkekang dan dilema antara mengikuti perintah panitia inti dari BEM universitas atau melaksanakan amanat dari ketua BEM mereka sendiri.
Panitia inti itu tersenyum licik sambil berkata lewat megafon, “Oke, kayaknya gak asik kalo cuma hukum satu orang doang. Semua Maba dari fakultas kedokteran dihukum push-up 100 kali!”
Kami terperanjat seketika. Hal yang paling ditakutkan adalah apabila satu orang berbuat, semuanya terkena imbas. Ini sungguh tidak adil. Tapi perintah dari panitia bersifat mutlak. Seperti yang sering mereka dengungkan "panitia tidak pernah salah".
"Apa yang kalian tunggu? Cepat turun dan push up 100 kali! Ini akan menjadi contoh ke Maba lainnya agar enggak bersikap superior di sini!"
Pada waktu yang bersamaan, lelaki bernama Arai itu bangkit, merebut pengeras suara genggam dari tangan panitia yang memerintahkan kami untuk push up, kemudian berlari di tengah lapangan sambil berdiri dan berteriak di hadapan kami semua.
"Teman-teman, kenapa kita harus melestarikan penjajahan seperti ini?! Kita disuruh meneguk air sisa kumuran teman. Kita disuruh berlari, jalan jongkok, berguling di lumpur, berjoget dan mengerjakan tugas yang tak masuk akal serta melakukan hal-hal bodoh layaknya badut yang membuat mereka terhibur dan tertawa lalu mencemooh kita sepuasnya. Kenapa kita dipaksa menjadi orang yang bermental budak?! Kita adalah calon-calon akademis dan cendekiawan bukan seorang budak! Kita harus memutus mata rantai kebodohan di mulai dari angkatan ini!”
Dia terus berorasi layaknya seorang pemimpin demo. Setiap kata yang dilontarkan begitu tegas, lugas dan berapi-api. Tak peduli didorong, ditarik ditendang, bahkan diseret paksa para panitia, dia terus menyerukan aksi menentang kegiatan ospek yang tidak manusiawi.
Laki-laki di fakultas kami yang tadinya hanya berdiam diri sambil pasrah dengan hukuman yang diberikan, kini mulai beraksi dan mendukung perkataannya dengan melepaskan atribut yang kami pakai sebagai bentuk penolakan kegiatan ospek yang penuh dengan kekerasan verbal maupun fisik. Mereka bahkan meminta perempuan di fakultas kami juga melakukan hal serupa.
"Buka atribut kalian, kita harus satu suara dengannya! Jangan biarkan mereka menjajah kita atas nama senioritas!"
Aku dan para perempuan di fakultas kedokteran langsung ikut melepas atribut Tak hanya dari fakultas kami, bahkan kini Maba yang ada di fakultas teknik, ekonomi, hukum, dan sipil turut melepas atribut ospek di badan mereka. Diikuti fakultas pertanian, FKip dan semua Maba dari seluruh fakultas yang ada di kampus tersebut.
Panitia yang jumlahnya kalah dari kami, tentu tak bisa berbuat apa-apa lagi ketika semua Maba kompak mendukung apa yang ditentang lelaki itu. Para Maba bersorak, menghalangi panitia yang hendak mengeroyok lelaki itu bahkan melempari mereka dengan atribut yang sempat kami gunakan. Situasi lapangan kampus yang semakin tak kondusif, membuat jajaran para petinggi hingga rektor turun untuk mendamaikan.
Dari mediasi yang panjang, rektor kampus pun memberi kebijakan dadakan untuk meniadakan kegiatan yang mengandung kekerasan fisik dan verbal selama masa ospek dua hari berikutnya. Keputusan rektor ini tentu mendapat sorakan gembira dari para Maba.
“Siapa nama kamu?” tanya rektor pada lelaki itu. Rupanya keberaniannya menentang perploncoan yang sudah ada turun-temurun di kampus itu menarik perhatian sang rektor.
"Nama saya Arai Al-Ghifari. Asal Belitung."
"Oh, orang Belitung?"
"Iya, Pak. Tapi, di kampung saya sering disangka blasteran."
"Memangnya kamu punya darah bule?"
"Tidak, Pak. Saya dijuluki blasteran karena kulit wajah saya putih sementara tangan dan kaki saya hitam. Tapi kalo Bapak lihat punggung dan perut saya juga putih. Jadi, kalo saya buka baju akan nampak sekali hitam putihnya seperti tahii cicak."
"Oh, itu namanya belang. Bukan blasteran." Dosen-dosen tergelak mendengar penuturannya.
Ternyata Arai juga berasal dari luar pulau Jawa. Tidak seperti diriku yang pemalu, dia begitu percaya diri berbicara di depan orang-orang meski aksen Melayunya sangat kental. Bahkan di hari itu juga, dia menjadi populer di kalangan Maba dan panitia. Banyak dari rekan Maba fakultasku yang langsung mengajaknya berkawan.
Dari Arai, aku mempelajari satu hal. Satu suara yang berani terlontar ternyata dapat memengaruhi banyak suara yang terpendam. Terbukti, rektor berjanji ini kegiatan yang penuh dengan perundungan itu menjadi hari terakhir yang akan diselenggarakan di kampus ini.
Sepulang dari hari pertama ospek yang melelahkan dan penuh drama, aku langsung buru-buru menghidupkan ponsel untuk mengecek siapa yang menghubungiku pagi tadi.
Huft! Bukan dia.
Aku langsung mendengkus seraya membalikkan ponselku. Lagi-lagi tak sesuai harapanku. Untuk pertama kalinya aku merasakan rindu yang tak pantas pada sosok lelaki misterius yang pertama kali kutemui.
Ternyata yang dijanjikan rektor benar-benar tertepati. Hari-hari selanjutnya, sudah tak ada lagi kegiatan yang mengundang kekerasan dan perundungan seperti kemarin. Mereka menggantinya pengenalan akademik dan kegiatan bakti sosial yang turun ke masyarakat. Jauh lebih baik, tapi tetap melelahkan. Kami harus duduk dari pagi hingga sore untuk menerima materi dari orang-orang yang berbeda. Sangat monoton!
Ini sudah menunjukkan pukul empat sore, materi terakhir akan segera dimulai. Tetapi para Maba sudah terlihat kelelahan bahkan menguap berkali-kali. Ini juga berlaku padaku. Rasanya ingin mempercepat waktu ke jam pulang.
"Materi berikutnya adalah kepemimpinan yang akan dibawakan langsung oleh ketua BEM fakultas kedokteran."
Aku menunduk seraya mempersiapkan buku catatan. Bertepatan dengan itu, suara tepuk tangan terdengar begitu riuh. Aku memerhatikan air muka beberapa Maba perempuan yang duduk di sekitarku. Mereka kompak menunjukkan ekspresi kagum yang berlebihan. Karena posisi dudukku lumayan jauh dari tempat narasumber, maka perlu sedikit mendongakkan kepala agar bisa melihat sosok ketua BEM fakultas kami yang belum pernah hadir selama ospek.
Pada detik itu juga, mataku melebar seketika. Sesosok lelaki berpostur tinggi dengan senyum menawan tengah berdiri di depan sana. Lelaki itu tak lain adalah orang yang telah berhasil memporak-porandakan pikiranku selama beberapa hari ini.
"Halo semua. Gue Evan Zionathan Andreas. Kalian boleh panggil gue Evan, tapi jangan manggil sayang karena itu cuma boleh dipanggil sama seseorang!"
"Cciiiieeeee ...." Suara gegap gempita lantas mengisi ruangan ini.
"Gue mahasiswa semester tujuh fakultas kedokteran. Oh, iya, gue gak mau bicara formal biar kalian gak tegang-tegang amat."
Kehadirannya langsung bisa mengubah atmosfer sekitar. Dengan gaya bicara yang asyik dan menyenangkan dia dapat membuat Maba yang tadinya mengantuk dan kelelahan menerima materi, kini terlihat segar dan bersemangat. Sedangkan aku, semakin terperosok dalam kekaguman dan rasa suka yang mendalam. Kurasakan ada ratusan kupu-kupu yang menghinggapi kepalaku saat ini. Namun, logikaku seakan menampar hari itu juga bahwa dia yang sedang berdiri di sana, tak semudah itu untuk tergapai.
.
.
Nah gitu dong, kalo feedback-nya kalian antusias gitu kan gua jadi semangat up tiap hari.
Kalo kak Yu suka tokoh abu2, berarti Tuan Lim ya?
Berkelas atau tidak Evan sukanya sama Ita, titik. Yg menilai tdk berkelas kan kamu Nadin krn mlihat hanya krn harta dan kedudukan