“Rere memang istri pertamaku. Namun percayalah, tidak ada satu pun wanita yang benar-benar aku cintai di dunia ini, selain dirimu!”
Azzura selalu berpikir, dirinya dan Cikho akan bersama-sama hingga akhir, bahkan menjadi pasangan dunia akhirat. Apalagi selain mereka yang sudah dekat sejak kecil karena orang tua mereka sudah seperti keluarga, alasan pernikahan mereka ada juga karena mereka saling cinta.
Namun, adanya Rere di rumah impian mereka tepat di malam yang harusnya menjadi malam pertama Azzura dan Cikho, meruntuhkan segala impian itu. Bagaimana tidak? Wanita yang Azzura ketahu sebagai sekretaris Cikho, malah Cikho akui sebagai istri pertama, meski Chiko baru menikahi Rere secara siri. Cikho menikahi Rere tanpa sepengetahuan orang tuanya, akibat kesalahan satu malam yang membuat Rere mengandung benihnya.
Azzura yang menentang keras poligami memilih mundur, meski Cikho tak mau melepaskannya. Selain itu, Cikho juga terus meminta waktu dan melarang Azzura mengabarkan apa yang sebenarnya terjadi kepada keluarga mereka. Hanya saja, tanpa mereka ketahu, Rere yang takut kehilangan Tuan Muda kaya raya sekelas Cikho, diam-diam telah menyewa jasa pembunuh bayaran untuk menyingkirkan Azzura.
Adalah Excel Lucas, mafia kejam yang harusnya membunuh Azzura. Namun karena sebuah insiden, Azzura malah berulang kali menyelamatkan nyawanya. Lebih kebetulannya lagi, Excel Lucas merupakan kakak kandung dari Rere.
Awalnya Excel Lucas berpikir untuk menyiksa Azzura sebagai pelampiasan dendamnya kepada wanita yang telah mengusik rumah tangga sang adik. Namun, pesona seorang Azzura sang muslimah tangguh, malah membuat rasa dendam dalam diri seorang Excel Lucas, dengan cepat menjadi cinta.
❣️❣️Merupakan bagian dari novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga 💗💗 Novel : Pembalasan Istri yang Terbunuh (Suamiku Simpanan Istri Bos!) ❣️❣️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4 : Ledakan Dan Excel Lucas
Azzura mundur, balik badan benar-benar melangkah pergi lantaran Cikho tak kunjung memberikan kepastian. Rere makin panik karena yakin Azzura akan mengabarkan apa yang terjadi kepada keluarga besar.
Padahal yang Rere mau, Azzura tetap di sana mengikuti aturan Cikho yang sebelumnya sudah disepakati juga olehnya. Beruntung, dengan segera tangan kanan Cikho menahan sebelah pergelangan tangan Azzura. Padahal, Chiko masih berlutut sambil menunduk dalam, loyo, terlihat jelas tak memiliki semangat hidup.
Kenyataan tersebut membuat Rere langsung menghela napas dalam, merasa sedikit lega. Walau jika melihat dari sosok Azzura yang selalu tegas bahkan bijak dalam bersikap, Rere tetap tidak yakin Azzura bisa diajak kompromi.
“Ra, ... aku mohon. Aku tahu aku salah. Kamu boleh kasih aku syarat apa pun!” lirih Cikho benar-benar memohon.
“Kalau Mas memang tetap tidak mau menyelesaikan ini dengan baik-baik, biar aku saja yang menyelesaikannya!” lirih Azzura masih berucap tegas. Kemudian ia menyentak tahanan tangan Cikho.
Di sentakan pertama, tahanan tangan pria itu malah makin kencang. Hingga di sentakan kelima, akhirnya Cikho perlahan melepaskannya.
Rere makin mirip udang kecil yang ditaburi garam ketika pada akhirnya, Azzura memboyong koper besar meninggalkan rumah. Tak lama berselang, pintu utama terdengar sampai ditutup lagi, tapi Cikho yang ditinggalkan masih terdiam mirip patung. Geregetan, dengan perutnya yang besar, Rere segera melangkah, menyusul Azzura yang benar-benar pergi dari sana.
“Lamanya hubungan dan juga kesetiaan, enggak menjamin semuanya akan baik-baik saja apalagi bahagia, hingga akhir,” lirih Azzura. “Karena rencana dan impian, hanya tinggal wacana jika Alloh sudah berkehendak. Memang belum jodoh.” Azzura tidak mempermasalahkan kenyataannya yang terus menangis. Karena dengan menangis juga, rasa sesak yang begitu menyiksa memenuhi dadanya perlahan berkurang walau memang hanya sangat sedikit.
Layaknya orang hilang, Azzura mengawasi hamparan halaman rumah keberadaannya. Halaman di sana benar-benar luas dihiasi kebun yang tertata rapi sekaligus indah. Beberapa kali, Cikho memang mengirimi suasana di sana. Dari awal penggarapan berupa fondasi dan sekelilingnya dibenteng seng, hingga bunga dan tumbuhan yang ditanam akhirnya menjadi penghuni tetap di sana.
Walau lagi-lagi, kenyataan yang terjadi membuat Azzura mengingatkan dirinya bahwa ia dan Cikho sudah bukan siapa-siapa. Karena seperti yang Azzura katakan, ia akan melakukan pembatalan pernikahan mereka.
Rere langsung melangkah lebih pelan ketika langkah tergesa terdengar dari belakangnya. Rere yakin itu Cikho dan memang iya. Cikho menyusul Azzura, kembali menawarkan perjanjian, dan Cikho akan menyelesaikan hubungan mereka dengan baik-baik.
“Rere sedang hamil dan aku enggak mau egois,” ucap Cikho.
Tanpa Cikho ketahu, sikap manisnya yang selalu mementingkan Rere berikut kehamilannya, sudah sangat melukai Azzura. Alasan yang juga membuat Azzura bungkam, selain wanita itu yang jadi tak sudi menatap Cikho. Sebab, ulah pria itu malah menegaskan bahwa selama ini, Cikho memang menikmati kebersamaannya dengan Rere.
“Masuklah. Untuk sementara waktu, aku mohon tinggallah di sini dulu,” mohon Cikho. “Ini Jakarta, bukan desa kamu tinggal. Di sini sangat rawan kejahatan.”
“Daripada Mas memintaku untuk tinggal di rumah Mas, lebih baik Mas langsung bunuh aku!” tegas Azzura. “Lumrah jika orang luar yang tidak mengenalku berusaha melukaiku karena Mas dan mbak Rere saja dengan sengaja membunuhku bahkan, ... orang tuaku.”
Ucapan Azzura membuat Cikho merasa sangat tertampar. Ia jadi tidak berani menatap Azzura. Wanita itu kembali pergi, menarik koper besarnya dan sudah langsung membuat satpam yang menghadang, bingung.
“Beri aku waktu satu minggu!” pinta Cikho.
Azzura tidak menjawab, selain Azzura yang juga tidak membiarkan kopernya di ambil alih oleh sang satpam. Tubuh Azzura sudah terguyur oleh hujan yang berlangsung. Begitu juga dengan tubuh Cikho.
“Pak, saya numpang di sini sebentar, ya. Sebentar lagi kakak saya pasti datang buat jemput,” ucap Azzura. Ia bertahan di teras depan pos satpam Cikho yang bersebelahan dengan gerbang rumah.
Satpam di sana tidak bisa menjawab, dan hanya kebingungan menatap Cikho yang masih setelan jas pengantin warna putih juga selaras dengan pakaian pengantin Azzura.
“Satu minggu, Ra. Tolong, aku mohon,” mohon Cikho. Hatinya tergerak menyadari Azzura yang kuyup, perlahan kedinginan karena hujan angin dan juga petir yang masih berlangsung.
“Tiga hari, Mas. Aku hanya bisa memberi Mas tiga hari karena aku tidak punya banyak waktu jika waktu yang aku gunakan hanya akan melukai orang tuaku,” ucap Azzura tanpa sedikit pun melirik Cikho. Suaranya sudah bergetar karena kenyataannya yang menggigil.
“Baiklah. Sekarang, kamu mau tinggal di mana karena selama itu juga, kamu masih menjadi tanggung jawabku,” lanjut Cikho.
“Aku akan tinggal bersama mas Aidan karena tidak ada orang lain yang bisa aku percaya lagi selain kakakku sendiri.”
Cikho langsung tidak bisa berpikir ketika Azzura sampai berkata bahkan sebentar lagi, kakak laki-laki wanita itu akan datang. Bisa Cikho pastikan betapa kecewa sekaligus marahnya mas Aidan kepadanya.
“Jangan tunggu di sini, ayo tunggu di dalam,” bujuk Cikho masih lirih dan terdengar sangat tidak bersemangat.
Jeduuueerrr!
Suara barusan terdengar mirip ledakan dahsyat. Tanah yang Azzura maupun Cikho injak sampai bergetar mirip terkena efek gempa. Tatapan Azzura dan Cikho juga refleks bertemu untuk beberapa saat. Azzura yakin, tadi itu bukan ledakan akibat petir yang tak hentinya menyambar, tapi memang semacam bahan peledak menyerupai bom.
Buru-buru Azzura meninggalkan kopernya untuk memastikan. Azzura juga mengipratkan tahanan tangan kanan Cikho yang menghalang-halangi langkahnya. Pria itu sampai ikut dengannya lantaran ia tidak mau dihentikan. Benar saja, di pertigaan kompleks rumah Cikho berdiri, sebuah mobil kebakaran. Apinya sudah berkobar-kobar, tapi di balik kemudi ada laki-laki yang tergolek lemah dan kepalanya memakai topi hitam.
“Jangan, itu bahaya, Ra!” tahan Cikho.
Azzura menatap tak setuju kepada Cikho. “Dia butuh bantuan. Lepas, Mas!” tegasnya yang memang makin kesal lantaran Cikho juga sampai melarangnya menyelamatkan nyawa orang yang juga sudah menjadi kewajibannya sebagai manusia sekaligus petugas medis.
“Cukup diam jika memang Mas tidak akan membantu!” kesal Azzura yang juga sudah sampai meminjam palu kepada satpam rumah Cikho.
Azzura lari di tengah hujan yang masih mengguyur dengan deras hingga kobaran api yang sempat menguasai mobil perlahan padam. Cikho yang sebenarnya takut, segera menyusul Azzura karena ia tak mau wanita itu kenapa-kenapa.
Azzura terus memalu kaca pintu sebelah kemudi lantaran pintunya dalam keadaan dikunci. Di balik kemudi, pria yang duduk di sana dan sudah sangat tak berdaya, juga sibuk memandangi Azzura.
“Azzura,” batin pria itu.
“Kenapa mas Excel ada di sini? Bukankah terakhir, dia bilang masih ada di kampung buat berobat sakal putung(pengobatan tulang patah)?” batin Azzura.