Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Di dalam ruang kerja yang remang, Adrian duduk di kursinya dengan tenang, sesekali menyesap bir dingin dari kaleng yang dipegangnya.
Berseberangan dengannya, Renzo duduk di sofa, matanya menatap tajam ke arah ayahnya. Suasana awalnya santai, namun perlahan menjadi lebih berat seiring dengan obrolan mereka.
"Selama ini hubungan kita tidak baik, sekeras apapun aku berusaha itu akan tetap sulit," ujar Renzo.
Sambil menyesap birnya, Adrian mengangguk.
"Dan selama itu pula Papa tidak pernah berusaha menjadi lebih baik. Kebohongan apa saja yang aku dan Mama tidak tahu?!" desak Renzo masih menatap sinis pada Adrian.
"Apa maksudmu? Aku pikir kau ke sini karena ingin memperbaiki hubungan kita dengan memulai bicara hal pribadi selain pekerjaan, layaknya hubungan anak dan ayahnya."
Renzo mendengus kesal.
"Bagaimana bisa semua di mulai tanpa adanya kejujuran." ketusnya. "Menyelamatkan seseorang memang tidak salah. Tapi mengapa tidak jujur dan sekarang hal itu akan menjadi petaka untuk kita semua." imbuhnya lagi.
Adrian meremas kaleng bir yang telah kosong. Kini sorot matanya sama tajamnya dengan Renzo. Bola mata mereka menyatu dalam satu pandangan.
"Orang yang kau selamatkan hampir membunuh calon istriku." teriak Renzo.
Adrian mencoba tenang, menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam kemudian menghembuskan asap itu kasar.
"Aku tahu siapa yang kau maksud. Aku sudah memberikan pelajaran padanya, aku menyelamatkan mereka karena mereka mengancam akan menjatuhkan keluarga kita. Jika saat itu aku jatuh, kamu tidak akan bisa berobat dan kita tidak bisa seperti sekarang!"
"Kau lihat lah dia di penjara, apa pelajaran yang telah aku berikan padanya. Dulu mereka berjanji tidak akan mengganggu hidupmu jika aku memberikan mereka hidup yang layak." terangnya lagi dengan nada menahan amarah.
Renzo tidak sadar kapan air mata itu sudah menetes di pipinya.
"Tapi mereka kini hadir dan mencoba menghancurkanku!"
"Akan kuurus mereka semua!" jawabnya santai.
"Tidak! Bukan itu yang aku mau. Tapi memang sedari awal ini adalah kesalahan, sekarang Ivy hadir dengan tampilan mirip dengan Luna. Aku juga tahu dia mengurus bisnis kotormu!" Renzo mengungkapkan semuanya dengan penuh rasa marah.
"Keluarlah!" Adrian mengusir Renzo.
Renzo keluar dengan langkah berat dan menutup pintu itu kencang.
Maharani terkejut tak kuasa mendengar apa yang mereka bicarakan sembari menutup mulutnya. Dia sudah ada di balik pintu mendengarkan perkataan mereka sedari tadi.
"Ma... "
Maharani seketika memeluk Renzo sembari menangis. "Jangan mengulang kesalahan yang sama seperti dulu ya anakku. Kamu harapan Mama satu-satunya."
Renzo mengusap punggung Mamanya kemudian melangkah pergi menuju kamarnya.
Mata Renzo langsung menyala penuh kemarahan dan ketakutan. Jika ada satu hal yang tak bisa dia biarkan terjadi, itu adalah Luna terseret dalam masa lalunya yang kelam.
.
"Jo... " panggil Renzo.
Johan yang sedang berdiri di dekat pilar tangga segera naik ke lantai atas dengan cepat.
"Besok antar aku ke lapas sebelum ke kantor,"
"Baik, Tuan."
"Sekarang istirahatlah, aku tau kau lelah mengikuti kegiatanku setiap hari. Ketika semua masalah ini selesai aku juga berharap kamu bisa lebih santai bekerja denganku." tutur Renzo sedikit senyum.
Johan melihat sedikit perubahan pada Renzo, kini dia bisa mengendalikan emosinya.
Dia bisa mengendalikan rasa sakitnya dengan lebih baik. Hanya cukup beberapa menit dia bisa membalikkan keadaan seperti semula.
.
.
Pagi yang di tunggu Renzo akhirnya datang, dia sudah berpakaian rapi lengkap dengan jas dan tas tentengnya.
"Makanlah yang banyak." gumamnya pelan saat memberi makan Latte kucing kesayangannya.
Dengan langkah yang terburu-buru Johan mendekat ke arah Renzo.
"Tuan, maaf saya kesiangan. Mobil sudah siap, kita bisa berangkat sekarang,"
Renzo menepuk pundak Johan tanpa berkata apa-apa dan beranjak dari posisinya menuju halaman parkir.
Mobil hitam itu sudah dalam posisi menyala yang siap di kendarai. Renzo duduk di kursi belakang dan membiarkan Johan menyetir dengan tenang.
Mereka menuju lapas tempat Ivan di tahan....
.
Renzo melangkah masuk ke dalam gedung lapas dengan langkah tegap, ditemani Johan yang berjalan di sampingnya dengan ekspresi waspada. Mereka berdua sudah merencanakan pertemuan ini sejak kemarin.
Setelah beberapa menit menunggu di ruang administrasi, Johan melangkah ke arah meja sipir yang bertugas. Ia menyerahkan identitas serta surat izin untuk bertemu Ivan.
“Kami ingin bertemu dengan seorang narapidana bernama Ivan Permana,” ucap Johan tegas. “Kami sudah mendapatkan izin untuk berbicara dengannya.”
Sipir yang sedang memeriksa daftar tahanan tiba-tiba mengangkat kepalanya, tatapannya datar namun ada sedikit keterkejutan di matanya. Ia menatap Johan, lalu beralih ke Renzo yang berdiri dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya.
“Ivan Permana?” sipir itu mengulangi namanya, memastikan ia tidak salah dengar.
“Iya, benar,” jawab Johan, kali ini lebih tegas.
Sipir itu menghela napas panjang, lalu menutup buku catatan di hadapannya. “Maaf, tapi Ivan sudah tidak berada di sini.”
Renzo mengerutkan keningnya. “Apa maksud Anda?”
Sipir itu menatap Renzo lurus-lurus sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, “Ivan Permana sudah dibebaskan.”
Otak Renzo seakan berhenti seketika. Mata elangnya menyipit tajam, napasnya terasa berat, dan ia melangkah lebih dekat ke arah meja sipir dengan ekspresi dingin. “Dibebaskan? Kapan?”
“Sekitar dua hari yang lalu.”
Johan tampak sama terkejutnya dengan Renzo. “Tidak mungkin. Dia seharusnya masih menjalani hukuman bertahun-tahun lagi.”
“Menurut catatan kami, dia mendapatkan pembebasan bersyarat karena ada pihak tertentu yang menjamin serta menanggung segala urusannya di luar sana.”
Renzo mengepalkan rahangnya. Ia tahu betul siapa yang cukup berkuasa untuk melakukan ini. Hanya ada satu orang yang mampu menarik benang di balik layar: ayahnya, Adrian Kim William.
Johan, yang sudah cukup lama bekerja untuk keluarga William, juga tampak tegang. Ia menatap Renzo seolah meminta arahan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.
“Siapa yang menjemputnya?” tanya Renzo dengan suara rendah namun berbahaya.
Sipir itu terlihat ragu, namun akhirnya menjawab, “Seorang wanita.”
Renzo dan Johan saling berpandangan. Wanita? Vivi.
Darah Renzo mendidih. Jika Vivi alias Ivy yang menjemput Ivan, maka ini bukan sekadar kebetulan. Semua ini sudah direncanakan. Vivi pasti sudah merencanakan sesuatu lagi dengan ayahnya.
Tanpa membuang waktu, Renzo berbalik dan melangkah keluar dengan langkah lebar dan cepat. Johan mengikutinya dari belakang.
Begitu mereka mencapai mobil, Renzo menggebrak pintu kendaraan dengan kepalan tangannya. “Sial! Aku sudah menduga ini akan terjadi.”
Johan mengambil napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Apa yang akan kita lakukan sekarang, Tuan?”
"Kita harus cari Ivy di restorannya, aku tidak tahu apa yang di rencanakan Papa dan Ivy. Pikiranku sangat buruk sekarang, apa mungkin Papa menyingkirkan mereka berdua?"
Lalu ia menatap jauh ke depan, matanya tajam dan penuh bahaya. “Jika Vivi sudah membebaskannya, itu artinya ini baru permulaan.”