Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Gegara salah manggil, malunya sampai terbawa-bawa. Sungguh rasanya Nahla tak ingin menampakkan wajahnya di depan pria itu lagi bila mungkin. Sayangnya, bahkan pagi-pagi sekali sudah harus sampai di rumah muridnya.
Langkahnya memelan, bingung hendak mengetuk pintu. Mendadak tidak siap bertemu dengan pria dingin itu. Terlebih saking gugupnya ia memutus telepon yang langsung tadi pagi. Ini semua lantaran lidahnya yang keseleo dengan panggilan keramat yang harusnya diperuntukkan untuk Icha.
Duh ... bikin repot hati aja. Malunya ya Allah ....
Pintu terbuka dengan siluet seorang pria yang berdiri gagah di depan pintu memakai pakaian rapih. Keduanya saling tatap dalam kecanggungan yang begitu nyata.
"Miss ... Icha udah siap," seru gadis kecil itu muncul di balik punggung ayahnya. Menyapa riang gembira Ibu guru lesnya saat sampai di rumahnya. Sengaja datang pagi-pagi sekali sesuai mandat yang diberikan.
"Hai Icha ... cantik sekali, apa semua barang bawaan sudah tidak ada yang terlupa?" Miss Nahla mengingatkan. Melambaikan tangannya dengan senyum terkembang. Mencoba bersikap sewajarnya saja walau hatinya jelas resah luar biasa. Apalagi bidikan netranya yang dingin, membuat Bu guru Nahla susah mengutarakan beberapa patah kata.
"Nggak, kata papa semua sudah beres," ujarnya mengacungkan dua jempolnya.
Berbeda dengan Hanan yang langsung berlalu begitu mendapati keduanya berakrab ria.
"Icha mandi jam berapa? Sepagi ini sudah beres?" tanya perempuan itu mengekor gadis kecil itu ke kamarnya.
"Subuh Miss, setelah telepon tadi pagi, Icha bobok lagi, terus papa bangunin aku habis subuh. Icha bawa jajanan banyak di sini," ujar gadis kecil itu dengan bangganya.
"Wah ... banyak sekali, apa nanti habis?" Nahla menengok barang bawaan Icha.
"Kan buat berdua, aku sama Miss Nahla," jawabnya sok imut. Membuat perempuan itu tersenyum gemas.
"Icha, kalau sudah beres sarapan dulu!" seru Pak Hanan memasuki kamar putrinya.
"Iya Pa. Ayo Miss, kita sarapan bareng!" ajak Icha menuntun tangan gurunya.
"Miss Nahla udah makan sayang, ditemenin aja ya," ujar perempuan itu berjalan mengikuti.
Rasa canggung masih menyelimuti hati Nahla, apalagi harus dihadapkan dalam satu meja.
"Duduk sini Miss!" Bocah enam tahun itu menarik kursi lalu mempersilahkan gurunya duduk.
"Terima kasih, Sayang," jawabnya bingung. Lebih bingung lagi saat Pak Hanan hanya diam menatapnya tanpa ekspresi. Jadi serba salah, kalau bukan karena kasihan dengan Icha tentu ia lebih memilih mengajar saja dari pada ikut kegiatan sekolah Icha.
Walaupun dibayar mahal, tetapi kalau rasanya tidak nyaman, bikin repot hati.
"Miss, Icha cuci tangan bentar ya?" pamit gadis kecil itu beranjak. Menyisakan dua manusia dewasa itu yang hanya diam. Sepertinya Nahla perlu menjelaskan tentang pagi tadi, agar semuanya merasa nyaman setelah klasifikasi.
"Maaf, untuk yang tadi pagi, tidak ada maksud apa pun," kata Nahla memberanikan diri.
"Kenapa harus minta maaf?" sahut pria itu santai.
Nahla terdiam sembari menggaruk tengkuknya yang berbalut hijab. Ia bahkan tidak punya pengalaman berkomunikasi baik menghadapi pria dingin nan aneh itu.
Icha kembali ke meja makan, yang seketika mencairkan suasana kaku diantara keduanya.
"Miss, kok belum ambil, ayo makan!" ajak gadis kecil itu duduk di kursinya.
"Miss udah sarapan tadi sayang, Nahla aja saya temeni," ujarnya dengan lembut.
"Beneran udah makan? Perlu aku ambilkan," ujarnya beranjak membuka piring yang sudah tersedia di meja.
"Eh, enggak, beneran udah sarapan tadi," tolak Nahla halus.
"Acaranya sampai sore atau bahkan bisa jadi sampai rumah malam, pastikan kamu mempunyai tenaga yang prima karena mengawasi anak saya."
"Paham Pak!" jawab Nahla mengangguk ngerti.
Dengan telaten perempuan itu membantu Icha di meja makan. Pemandangan yang begitu langka, seketika membuat hati seorang Pak Duda menghangat. Keduanya nampak begitu dekat, bahkan Icha terlihat senyum bahagia. Sayangnya perasaannya yang dalam belum mampu berpaling dari mendiang istrinya dulu.
Usai sarapan, Miss Nahla dan Icha langsung diantar Hanan menuju sekolahan. Di mana semua berkumpul di titik keberangkatan. Rombongan karya wisata tersebut berangkat menggunakan bus.
"Hati-hati di jalan sayang, kabari papa jika sudah sampai, pastikan jangan jauh-jauh dari Miss Nahla."
"Siap Pa," jawab Icha pamit. Kedua anak dan bapak itu saling memeluk, lalu menciumnya dengan sayang. Melambaikan tangannya dengan senyuman berbalut doa.
"Titip ya, kabari aku segera kalau ada apa-apa," pesan Pak Hanan mendekati Nahla.
"Iya Pak, siap!" jawabnya mengerti.
"Dari tadi Pak, Pak, kalau di luar jangan panggil aku Pak, tidak enak didengar."
Kali ini Nahla tidak menjawab, perempuan itu sedikit bingun, lantas ia harus panggil siapa. Bukankah memang sudah bapak-bapak beranak satu, apanya yang salah?
"Sudah sana masuk bus, eh ya Na, tunggu sebentar."
Hanan mengambil salah satu card di dompetnya. Pria itu tanpa pamrih menyerahkan pada Nahla.
"Ini barang kali kurang," ucap pria itu menyodorkan pada Nahla.
"Bukannya Icha sudah bawa uang, aku rasa cukup, sebaiknya bapak simpan lagi saja," tolak Nahla tak enak hati. Kenapa tidak uang cash saja, mana enak ngambilnya. Pria itu memang super sekali, dasar orang kaya sebodo ulah.
Hanan menghela napas panjang dengan wajah masam. Membuat Nahla pun sadar akan kesalahannya.
"Simpan dulu, buat jaga-jaga saja, nanti setelah pulang bisa dikembalikan," ujar pria itu begitu percaya.
"Bapak sepercaya itu dengan saya?"