15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 - Belum saatnya
Jantung Rimba berdebar kencang, adrenalin ya bagai dipacu keluar saat bibir Steven meraup bibirnya. Perutnya bak diaduk-aduk dengan isi ribuan kupu-kupu yang beterbangan. Rasa nyaman dan hasrat yang tak pernah hadir sebelumnya seakan sengaja Steven munculkan.
Rimba menelan salivanya susah payah. Sudah siapkah ia menghadapi serangan Steven? Apa Rimba sudah harus melepas miliknya sekarang?
Semakin lama Rimba berpikir, Steven tak rela menunggu. Lelaki tampan ini semakin berani. Jemarinya yang semula memeluk erat pinggang Rimba murai bergerak menyusuri punggung Rimba, mengusap usapnya lembut. Sedangkan wajahnya yang semula terbenam dileher Rimba sudah terangkat setengahnya, berganti menciumi telinga rimba hingga mau tak mau Rimba menggeliat geli dan mengerang kecil.
"Steve," lirih Rimba timbul tenggelam. Memanggil suaminya dengan panggilan nama. Ia mencoba menahan dada Steven agar mereka berhenti sebentar, tapi gerakannya tak berarti apa-apa.
"Once you mine, there's no going back, you're mine!" lirih Steven masih bertahan menciumi telinga pipi istrinya.
"Kak, sebentar," rintih Rimba tetap berusaha untuk meyakinkan dirinya, Steven adalah suaminya, tempatnya menyerahkan segalanya.
Steven mendongakkan kepalanya. Matanya memerah, mati-matian menahan diri agar tidak memaksa Rimba bercinta dengannya, tapi tubuhnya sangat susah diajak bekerja sama.
"Oke, make me your one and only," kata Rimba seolah memberinya syarat.
"Let's do it, wife!" balas Steven tak memberi Rimba kesempatan untuk berpikir lagi.
Rimba memejamkan matanya pasrah saat Steven menciumi wajah dan bibirnya yang membara. Jemari Steven bergerak nakal, mengusap punggung Rimba tapi sudah didalam piyama istrinya.
"Steve," erang Rimba saat jemari Steven mulai melepas kaitan bra-nya.
"Hem," jawab Steven menggeram, menenggelamkan wajahnya diceruk leher Rimba dan menumpahkan segenap hasratnya di sana, membuat satu tanda kepemilikan.
"Apa bakalan sakit?" tanya Rimba tiba-tiba, terdengar polos dan begitu menggemaskan, membuat Steven seketika berhenti menciumi lehernya.
Ditatapnya wajah Rimba dalam. Lalu ia tak tahan untuk tertawa. Suasana panas dan intim yang semula begitu pekat mengisi atmosfer berubah hangat.
"Kenapa kamu tanya ke aku? mana aku tau rasanya," kekeh Steven tak henti tertawa. "Emang sebelumnya sama mantan kamu nggak pernah?" tanyanya serius.
Rimba menggeleng cepat, "Kayanya itu salah satu alasan terbesar kenapa Marvin selingkuh dengan Angela," lirihnya keceplosan.
"Kenapa? kamu nggak bisa muasin dia? gaya bercinta kamu monoton? atau emang dia nggak pernah puas?" tebak Steven vulgar. Niat awalnya hanya bercanda, tapi Rimba menganggap untaian kata-kata itu bukan sekedar banyolan.
Reflek Rimba memukul dada bidang suaminya. "Bisa nggak jangan mikir terlalu jauh dulu?" protesnya. "Aku nggak pernah sampe begituan ya! enggak sekali pun!" aku Rimba jujur, tak terima dianggap perempuan gampangan menurutnya.
Mata Steven membulat tak percaya. Dicarinya kebohongan dalam ekspresi polos diwajah Rimba, tapi tak berhasil ditemukannya. Ia jadi merasa menyesal karena mengeluarkan kata-kata tadi dari mulutnya yang spontan.
'Jadi kamu virgin, Rim?' setidaknya itulah yang menggema dibatin Steven saat mendengar pengakuan istrinya yang sempat ia ragukan sejak mengetahui Rimba memiliki satu mantan kekasih bernama Marvin. "Sorry, aku udah nyinggung perasaan kamu," ucap Steven lirih. Merasa menyesal karena telah berbicara asal. Di pikirannya ia menganggap perempuan yang sudah pernah berpacaran pasti pernah juga melakukan hubungan intim dengan pasangannya tersebut. Tak bisa dipungkiri, memang jamannya sudah seperti itu. Tapi tidak berlaku bagi Rimba. Nyatanya gadis itu masih bisa mempertahankan keperawanannya hingga sekarang.
"Kalau kamu nggak percaya sama perkataan ku, ayo kita lakukan sekarang. Mungkin kamu akan tau dan merasakannya saat selaput daraku robek," tantang Rimba masih tak terima.
"Hey, aku percaya Rim," Steven langsung mengusap pipi Rimba, memberinya kecupan lembut di keningnya. "Sekali lagi aku minta maaf, aku udah nyinggung perasaan kamu," lirihnya dengan sorot mata memohon.
"Jika ternyata aku berbohong, dan sebenarnya aku sudah kotor, apa kamu akan tetap mempertahankan ku?" tanya Rimba tiba-tiba. Membuat Steven terkesiap mendengarnya.
Steven terdiam sejenak, lantas mengangguk lemah. Melihat reaksi itu, Rimba sedikit mendorong tubuh Steven. Rimba bangkit dari posisi tidurnya. Dan keduanya kini duduk bersandar dileher ranjang. Menyembunyikan kaki masing-masing di dalam selimut tebal.
"Bohong, aku bisa baca dari raut wajah kamu, kak Steve."
"Jika memang seperti itu, aku anggap kamu sudah mengkhianati janji kita 15 tahun lalu. Di foto yang pernah kamu liat didompet waktu itu, disanalah kita saling berjanji untuk tumbuh dewasa dan menikah. Karena aku berusaha untuk setia dan menepati janji itu," ujar Steven seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"What?" suara Rimba mulai meninggi. "Lagi-lagi kamu bahas masa lalu kita yang nggak pernah aku ingat sedikitpun. Kapan aku pernah berjanji hal konyol seperti itu disaat usiaku 7 tahun?" balasnya ikut terpancing.
"Maksudmu?" Steven menatap Rimba lagi setelah sebelumnya membuang pandangannya.
Rimba tertawa gamang, "Masa lalu apa? aku nggak ngerti seberapa mengerikannya masalalu kita sampe kamu perlu alasan se-klise ini cuma buat nikah sama aku. Seriously? karena menurutmu aku ini masa lalu kamu begitu? bagaimana kalau kamu salah? bagaimana kalau ternyata aku bukan perempuan yang pernah kamu janjikan untuk menikahinya?"
Steven tak menjawab. Kini keduanya terlibat saling pandang dan tak ada yang bicara. Masing-masing dibungkus ego tinggi yang hanya akan berubah menjadi teriakan saat mereka membuka mulut. Mata Steven memerah, ia sendiri bingung harus menjawab apa. Sebenarnya ia pun kini ragu sejak Sean memperlihatkan foto Rimiko kepadanya. Ingin rasanya ia melupakan janji itu dan menganggap hanya kekonyolan semata. Tapi ia tetap saja merasa terbebani.
Sementara diseberangnya, Rimba sudah meneteskan air mata, kalut dan kacau, bingung terhadap perasaannya sendiri. Ia yang awalnya tidak begitu mempermasalahkan hati, kini kenapa merasa baper? mungkin karena Rimba telah benar-benar merasa memiliki hati terhadap suaminya itu.
"Oke, kalo gitu kita lupakan masalah itu, aku akan berusaha untuk nggak ngebahas lagi masa lalu kita dulu," lirih Steven jelas bernada penuh penyesalan dalam suaranya.
"Aku nggak mau! aku hanya ingin kejelasan yang sebenarnya tentang masa lalu kita. Bisa kamu ceritakan semuanya? ceritakan kapan dan dimana kita pernah bertemu?" pinta Rimba.
Steven menghela napasnya sejenak, ia mengusap wajahnya. Hasratnya yang sudah berada di ubun-ubun itu terpaksa harus ia tahan kembali. Memang ada baiknya ia menceritakan kisah awal pertemuannya dulu dengan Rimba kecil. Mungkin dari sana akan ada keajaiban yang akan membuat Rimba kembali mengingat siapa Steven.
"Waktu itu, kamu pernah menyelamatkan aku dari reruntuhan bangunan disebuah mall di Tokyo akibat kesalahan konstruksi. Kalo nggak ada kamu, mungkin aku akan mati didalam puing-puing bangunan itu. Tangan kecilmu lah yang sudah membuatku keluar dari sana Rim," ujar Steven mengenang kembali masa lalunya.
"Hah?" respon Rimba kaget.
"Meski waktu itu kepala kamu terluka parah, tapi kamu hebat. Kamu berusaha memindahkan puing-puing bangunan dengan tangan kecilmu demi mengeluarkan aku yang terjebak disana," Steven terhenti, ia tak melanjutkan ceritanya saat menyadari Rimba yang tengah kesakitan sambil memegangi kepalanya. "Kamu kenapa Rim? Rimba!" Steven memegangi pundak istrinya.
"Ini gila! bener-bener gila!" Rimba menjauhkan tangan Steven dari bahunya. "aku nggak ingat apa-apa. Kamu bilang kejadiannya di Tokyo? Hah! aku nggak pernah pergi ke Jepang. Absurd banget menurutku," katanya sambil kembali memegangi kepalanya.
"Tapi Rim---"
"Cukup! bisa tolong tinggalin aku sendiri dulu Kak!" pinta Rimba lirih.
"Kamu kenapa? apa kepala mu sakit? kenapa dari tadi memegangi kepala terus?" tanya Steven benar-benar khawatir.
"Aku nggak apa-apa kak, hanya sedikit pusing saja. Aku lagi butuh sendiri dulu," ucapnya secara halus mengusir Steven untuk pergi sementara ini.
"Baiklah, kalo kamu butuh sesuatu aku ada dikamar tamu," sahut Steven memahaminya.
Steven lantas melangkah keluar kamar. Ia meninggalkan Rimba sesuai permintaannya. Sementara Rimba yang kalut dan bingung dengan perasaannya memilih meninggalkan rumah Steven diam-diam, pulang ke rumah bunda Vania untuk mencari tahu tentang masa lalunya. Bagaimana bisa anak perempuan didalam foto itu begitu mirip dengannya saat kecil? apa itu memang dirinya, atau ada orang lain yang begitu mirip dengannya?
.
.
.
Tak perlu heran dengan hal yang ragu, mungkin kita hanyalah sepasang ragu-ragu yang terbelit trauma atas kerusakan jiwa di masa lalu.