“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Andin membeku. Kedua matanya melebar seketika.
Tidak ada siapa pun disana. Langkah kaki yang dia dengar, suara yang memanggil namanya, siapa orang itu.
Andin mundur beberapa langkah, sebelah tangan nya menggapai Sofa, mencoba menopang tubuhnya agar tidak jatuh karena syok.
Beberapa saat kemudian.
Hans datang. Ia memarkir mobilnya di depan rumah Andin dengan tergesa.
Pintu pagar terbuka lebar, dan lampu rumah masih padam meski waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam.
Jantungnya langsung berdegup kencang. Ia tahu, ini bukan pertanda baik.
“Andin?” panggil Hans begitu masuk ke halaman.
Tak ada jawaban.
Angin malam berembus kencang, menggoyangkan tirai di jendela. Ketika Hans mendorong pintu depan, daun pintu itu berderit pelan dan terbuka begitu saja—tidak terkunci.
Langkahnya cepat, matanya menyapu seluruh ruangan yang berantakan. Vas bunga pecah, kursi terbalik, dan ada bekas lipstik merah di lantai kayu.
“Andin!!” teriaknya kali ini lebih keras.
Suara isak lirih terdengar dari balik sofa. Hans segera berlari ke arah suara itu, dan menemukan Andin duduk meringkuk, tubuhnya gemetar hebat, wajahnya pucat pasi. Matanya kosong, menatap ke arah dinding kamar dari kejauhan.
“Andin! Ya Tuhan, apa yang terjadi?”
Hans memegang kedua bahunya, mencoba membuatnya sadar.
Andin menoleh perlahan. Bibirnya bergetar, suara keluar pelan nyaris tak terdengar.
“Hans… dia… dia ada di sini…”
“Siapa?”
“Clara…”
Hans menatapnya dengan mata membulat.
“Clara? Andin, Clara sudah—”
“Dia menulis di dinding kamarku!” potong Andin cepat, suaranya meninggi.
“Dengan lipstik merah… tulisannya bilang ‘aku kembali’!”
Hans segera berdiri, melangkah ke arah tangga dan naik ke kamar Andin.
Namun ketika sampai di sana—dinding itu bersih. Tak ada tulisan apa pun. Tak ada lipstik. Tak ada tanda-tanda seseorang pernah masuk.
Hans mengerutkan alis. Ia memeriksa jendela, lemari, hingga kamar mandi. Semua terkunci rapat dari dalam. Tidak ada tanda pembobolan.
Ia menelan ludah, lalu turun lagi menghampiri Andin.
“Andin,” katanya pelan, menunduk di depannya.
“Aku sudah periksa semuanya. Tidak ada siapa-siapa di sini.”
Andin memandangnya tak percaya.
“Tidak… aku melihatnya, Hans. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri! Lipstik merah—di dinding kamar! Aku tahu itu tulisan Clara!”
Matanya mulai berkaca-kaca, antara takut dan putus asa.
Hans menatapnya lama, lalu menggenggam tangan Andin.
“Tenangkan dirimu dulu, ya? Aku akan memanggil polisi.”
Beberapa menit kemudian, dua petugas kepolisian datang. Mereka memeriksa rumah dengan senter dan alat deteksi sidik jari.
Tapi hasilnya sama — tidak ada jejak orang lain. Tak ada sidik jari asing, tak ada rekaman di CCTV yang menunjukkan seseorang masuk.
“Anda yakin tadi melihat seseorang, Ibu Andin?” tanya salah satu petugas dengan nada hati-hati.
Andin mengangguk cepat.
“Aku tidak berhalusinasi! Aku tahu yang kulihat!”
Petugas saling pandang, lalu menulis sesuatu di catatannya sebelum pergi.
Begitu polisi keluar, Andin duduk lemas di kursi. Hans berjongkok di hadapannya.
“Andin, mungkin kamu hanya stres. Kamu sudah bekerja tanpa henti belakangan ini, mungkin tubuhmu kelelahan.”
“Jangan bilang aku gila, Hans…”
“Aku tidak bilang begitu,” katanya lembut.
“aku cuma khawatir.”
Andin menatapnya dalam diam. Pandangannya kosong, lalu menunduk. Mungkin Hans benar, mungkin pikirannya mulai rapuh. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu — apa yang ia lihat tadi benar-benar nyata.
Malam semakin larut. Hans memastikan semua pintu terkunci sebelum memutuskan untuk berjaga di ruang tamu. Ia tak ingin meninggalkan Andin sendirian malam itu.
Sementara di luar, hujan turun perlahan.
Dari seberang jalan, di balik bayangan pohon besar, seorang wanita berjas hitam berdiri memegang payung.
Bibirnya merah, senyumnya tipis, dingin.
“Kau masih terlihat cantik saat ketakutan, Andin…”
bisiknya pelan, nyaris tak terdengar di tengah suara hujan.
“Tapi ini baru permulaan.”
Wanita itu berjalan pergi, meninggalkan aroma parfum yang khas —parfum yang sama dengan yang pernah Andin gunakan.
.
.
.
Bersambung.