Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Pertemuan Setelah Dua Dekade
*Coverku ini ganti lagi ya kakak semua, jangan kaget yah*
Robin berjalan tegap, seolah tubuhnya menolak mengakui beban usianya saat ini. Dirli mengekor di belakang, langkah tampak ragu-ragu setelah mendapat titah dadakan.
'Ayo Dirli, kau harus mampu membuatnya yakin bahwa kau pantas untuk dipertahankan dalam perusahaan ini. Kau harus menunjukkan loyalitas sebagai karyawan papa mertua barumu,' ucapnya dalam batin sembari menganggukan kepala.
Tiba-tiba dalam langkahnya, Robin berhenti. Dirli yang masih sibuk dalam pikiran, menumbur punggung sang bos, membuat Robin tergeser setengah langkah.
“Maaf, Pak! Saya nggak sengaja!” Dirli langsung menunduk, wajahnya panik, kedua tangannya reflek menyatu di depan dada.
Robin hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap lurus ke arah sosok wanita yang sedang duduk di bangku sofa, tengah menikmati minumannya. Nancy.
Wirya, yang berdiri tak jauh dari sana, menyipitkan mata. Ada hal aneh yang baru saja ia tangkap. ‘Apa big boss akan membongkar jati dirinya hari ini?’
Nancy tampak terpaku menyadari kehadiran orang yang terlihat berbeda dengan yang ia lihat tadi. Di bawah sana, pria ini tadi terlihat bagai gembel nyasar di antara elite karyawan perusahaan ini. Kini, pria itu berubah dengan tampilan terbaik, yang dulu tak pernah ia lihat bisa seperti ini.
Di sisi lain, bahu Robin menegang, dan tatapan matanya seperti pisau yang siap menikam kenangan lama yang tak mampu dihapus begitu saja.
Di hadapan dinginnya sikap Robin, Nancy hanya bisa diam. Tapi matanya, menyimpan sesuatu yang tak kalah menusuk. "Apa kabar?" Nancy menaruh cangkir kopi yang semenjak tadi tak lepas dari tangannya.
Robin berjalan lebih perlahan, menaruh satu tangannya di pinggang memegang dagu menilai wanita itu dari diamnya.
Nancy bangkit dari posisinya yang tadi duduk di sofa, dan sadar Robin masih menyimpan amarah dalam diamnya. Sejenak, ia melirik pria yang lebih muda berdiri kaku di belakangnya. Matanya membesar sejenak.
"Wah, Dirli? Kamu bekerja di sini?"
Dirli yang sedari tadi fokus pada punggung Robin tersentak mendengar sapaan yang akrab di telinganya. Ia melirik pemilik suara dan tatapannya berubah menjadi lebih canggung. Ia begitu kenal dengan wanita ini. Tante Nancy adalah sahabat mamanya yang biasa tinggal di luar negeri.
“Tante Nancy?” ucapnya sedikit tak yakin, bergantian melirik Robin.
Nancy tersenyum menyambut kehadiran Dirli. Tapi ada tatapan tajam di balik kerut matanya. “Ternyata, sekarang kamu bekerja di bawah pimpinan Robin, ya? Hebat juga kamu sekarang.”
Dirli mengangguk kikuk, pandangannya tak henti berpindah lagi ke Wirya yang hanya diam memperhatikan. Sang tangan kanan hanya bisa mengedikkan bahu, karena ia juga tak mengerti hubungan Dirli dan Nancy.
“Eh, iya, Tante, aku sudah beberapa tahun bekerja di sini. Tapi baru sebagai karyawan biasa," jawabnya dengan tawa kecil, tapi jelas hanya sekedar basa-basi.
Robin tetap diam, hanya rahangnya yang mengeras perlahan. Dirli bisa merasakan ketegangan di ruangan itu menebal seperti kabut. Ia menyesal berdiri di antara dua orang yang jelas punya masa lalu yang tidak biasa. Dirli hanya bisa menebak-nebak hubungan mereka sebelumnya.
Nancy melirik Robin sebentar, lalu kembali menatap Dirli. “Jadi kamu tahu banyak dong, tentang Robin ini?”
Pertanyaan itu bagai sebuah jebakan. Dirli menelan ludah. “Eh, ya ... Aku kan hanya karyawan biasa, Tante. Yang aku tahu tentu masalah pekerjaan saja," terangnya kikuk.
Robin akhirnya bersuara, nadanya rendah namun penuh tekanan. “Dirli, tolong jelaskan kepada saya. Apa hubungan kalian? Sepertinya dia cukup akrab denganmu."
Dirli mengernyitkan wajah. "Tante Nancy ini sahabat mamaku, Pak. Beberapa minggu ini dia kembali setelah sebelumnya tinggal bersama suaminya di luar negeri."
Robin mengangguk sejenak, lalu beralih pandang ke arah Nancy.
"Lalu apa tujuanmu pagi-pagi sudah membuat Wirya repot-repot datang ke kantor?"
Nancy memasang senyuman semanis mungkin di hadapan Robin, berjalan mendekat mengulurkan tangannya. "Paling tidak, kita berjabat tangan dulu setelah dua puluh tahun tak berjumpa." Tangannya telah mengambang di hadapan Robin.
Namun, sang lawan bicara hanya menatap tangan itu menggantung menunggu disambut Robin yang membatu.
Nancy yang menyadari sengaja diabaikan mengalihkan tangannya ke arah Dirli. Dirli tersentak terpaksa menyambut tangan itu. "Bagaimana keadaanmu Dirli? Tante dengar dari mamamu, sekarang kamu sudah memiliki anak kan?"
"I-iya, Tante. Sebentar lagi umurnya tujuh bulan," ucapnya kikuk mengeluarkan keringat dingin melirik ke arah Robin.
Robin memutar tubuhnya menatap Nancy. "Sekarang, jawab saja pertanyaanku. Jangan bertele-tele dan setelah itu kau boleh pergi!"
Nancy menarik napas panjang, mencoba tetap tenang meski dadanya kini terasa sesak. Ia tak menyangka, pria yang dulu selalu menatapnya dengan penuh cinta, kini berubah total. Tatapan Robin saat ini tak ada bedanya seperti palu godam yang menghantam pertahanan yang telah ia bangun selama dua dekade.
"Aku hanya ingin mengatakan bahwa sekarang aku sudah ada di sini. Aku merindukanmu—"
"Jangan bohong." Suara Robin menebas dingin. "Jika hanya ingin bernostalgia, kau bisa kirim pesan lewat email. Kenapa harus datang ke kantorku. Di depan orang-orangku. Bahkan berlaga akrab dengan karyawanku."
Dirli yang berdiri kaku di belakang mereka hanya bisa menunduk, merasa seperti pion kecil dalam permainan raksasa yang ia tak mengerti bagaimana posisi yang akan digerakkan pemainnya.
"Aku dengar kamu sudah menikah? Setelah bertahan tanpa pernikahan selama dua dekade ini?"
"Apa urusanmu dengan kehidupanku?"
Nancy menggigit bibir bawahnya. Ia baru sadar, mendapat sesuatu di luar harapan. Kedua tangan Nancy terangkat dan berjalan mundur satu langkah. "Baik lah, kamu jangan emosi begitu."
Terdengar helaan napas berat milik Robin. Ia tak menyadari bisa meledak seperti ini memilih memutar badan. Di sana, ada Dirli yang terlihat kikuk dengan posisi yang membingungkan.
"Kau!" Tunjuknya mengarah pada Dirli.
"Iya, Pak?"
"Kua urus dia! Sepertinya saya tak bisa bicara dengannya." Robin melirik Wirya dan memberikan kode gerakan kepala. Wirya memberikan anggukan seakan paham dengan perintah Robin tanpa vokal.
Robin melirik Nancy di ujung matanya. "Kau ke sini setelah dia membuangmu bukan?" Robin berlalu diikuti Wirya meninggalkan Dirli yang masih dalam posisi kebingungan.
"Tapi, kau tak tahu alasan 'dia' mengakhiri semua. Apa dengan mudah kau melupakan, malam-malam yang telah kita lalui bersama? Tak ingatkan dengan sengaja meninggalkan benihmu di rahimku?"
Yuk mampir ke cerita lain milik temanku
Judul: Benih Siapa di Rahimku
Author: Ayumarhumah