Sebuah bakti kepada orang tua, mengharuskan perempuan berumur 27 tahun menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya yang selama ini ia anggap sebagai adik. Qila yanh terbiasa hidup mandiri, harus menjalani pernikahan dengan Zayyan yang masih duduk di bangku SMA. “Aku akan membuktikan, kalau aku mampu menjadi imam!” Zayyan Arshad Qila meragukannya karena merasa ia lebih dewasa dibandingkan dengan Zayyan yang masih kekanakan. Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja? Bagaimana keduanya menghadapi perbedaan satu sama lain? Haloo semuanya.. jumpa lagi dengan author. Semoga kalian suka dengan karya baru ini.. Selamat membaca..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyusul Istri
Zayyan yang sudah tenang duduk di kamarnya sambil menatap ponselnya. Rumi tahu anaknya khawatir dengan istrinya, sehingga beliau menasihati Zayyan untuk bersabar sebentar lagi.
Kota Metro bukanlah kota yang kecil. Tanpa tahu dimana Qila, bagaimana Zayyan menyusul istrinya? Jadi, beliau meminta Zayyan menunggu kabar dari Qila dan memastikan dimana istrinya saat ini agar bisa menyusulnya dengan mudah.
Setelah menunggu selama hampir satu jam, Qila akhirnya membalas pesan-pesan Zayyan dengan melakukan panggilan video.
“Maafkan aku, Bang. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Aku kemari dengan Ibu.” Kata Qila yang memperlihatkan sang ibu yang sedang menata pakaian ke dalam lemari.
“Kenapa tidak mengatakannya lebih awal?”
“Aku ingin mengatakannya, tetapi tidak sempat karena setiap kali menelepon, waktu kita tidak banyak.”
“Bukankah bisa tulis pesan?”
“Menulis pesan tidak seperti mengatakannya secara langsung, Bang. Lagi pula aku lupa.”
“Baiklah. Berapa lama kamu di sana?”
“Satu minggu seperti biasanya, Bang.”
“Aku akan menyusulmu!”
“Di sini sudah ada Ibu, Bang. Tenang saja.”
“Mana bisa aku tenang? Aku bahkan sudah menyiapkan perlengkapan. Kamu tunggulah!” Zayyan memutuskan sambungan dan segera bersiap.
Ia sudah bertekad untuk menyusul istrinya, maka akan ia lakukan. Sebelum berangkat ia menghubungi Bu Murni untuk izin agar beliau bisa mengatur persiapan perpisahan yang sudah mulai berjalan.
Zayyan berangkat ke Kota Metro dengan menggunakan pesawat dari Kota B. Perjalanan udara selama 2 jam lebih membuat Zayyan meregangkan tubuhnya saat sudah turun dari pesawat.
Keluar dari pintu kedatangan, ia memesan taksi online dan segera menuju hotel dimana istrinya tinggal. Sesampainya di hotel, Zayyan menuju kamar sang istri yang mana sedang tidur karena kelelahan.
Ana yang membukakan pintu untuk menantunya mempersilahkannya masuk. Segera Zayyan membersihkan diri dan mendekati Qila yang masih lelap.
“Dia hanya kelelahan. Sebelum terbang, dokter sudah memastikan kandungannya sehat jadi jangan khawatir.” Kata Ana.
“Iya, Bu. Terima kasih Ibu sudah menemani Qila.”
“Tidak masalah. Ibu juga tidak tega melepaskan Qila sendirian.” Zayyan mengangguk.
“Karena kamu sudah di sini, sebaiknya Ibu kembali. Tidak nyaman kalau Ibu jadi orang ketiga.”
“Aku pesankan tiket, Bu.” Zayyan memesankan tiket pesawat untuk Ana dan mengantarnya sampai bandara.
Qila yang terbangun, melihat catatan yang ditinggal Zayyan di nakas. Ia tidak menyangka suaminya benar-benar menyusulnya dan bahkan mengantarkan sang ibu kembali.
Satu jam kemudian, Zayyan kembali dan mendapati Qila yang baru saja selesai mandi. Segera ia memeluk tubuh istrinya dan membenamkan wajahnya di bahu Qila.
“Aku merindukanmu…”
“Aku juga, Bang.”
“Lain kali katakana saja, jangan sampai lupa!”
“Iya, Bang. Tapi bagaimana dengan persiapan perpisahannya?”
“Perpisahan tidak wajib. Aku tidak hadir juga tidak masalah.”
“Bagaimana dengan kenang-kenangannya?”
“Aku sudah bosan melihat wajah teman-temanku selama 3 tahun ini. Bahkan ada yang sudah aku lihat selama 6 dan 10 tahun.” Jawab Zayyan dengan enteng.
“Biasanya perpisahan SMA itu yang paling berkesan, Bang.”
“Kenapa begitu? Apa perpisahanmu saat SMA juga berkesan?”
“Tidak juga. Tetapi perpisahan saat SMA biasanya adalah titik awal target yang ingin dicapai. Misalnya ingin melamar orang yang disukai dan berjanji menikah setelah sama-sama mapan atau mengungkapkan perasaan kepada gebetan yang selama ini hanya disukai secara diam-diam.”
“Apa kamu juga seperti itu?” Qila menggelengkan kepala.
“Aku tidak pernah dekat dengan laki-laki, Bang.”
“Sama kalau begitu! Lagipula aku sudah punya istri, perpisahan sekolah tidak penting!” Zayyan mengeratkan pelukannya.
Qila yang merasa sesak, berusaha melepaskan diri tetapi Zayyan tidak melepaskannya. Sampai beberapa saat ia merasa puas, barulah ia melepaskan pelukannya.
Keduanya duduk di sofa menghadap jendela kamar yang menyajikan pemandangan hiruk pikuk Kota Metro yang terkenal dengan urbanisasi setiap tahunnya.
Sore itu keduanya memesan layanan hotel untuk makan malam dan menghabiskan waktu di kamar karena besok Qila sudah mulai training.
“Hubungi aku kalau kamu merasa tidak nyaman. Aku akan berjaga di dekat sini.” Kata Zayyan yang mengantar Qila sampai di ballroom tempat training dilaksanakan.
“Iya, Bang.” Qila mencium punggung tangan suaminya dan masuk ke dalam ballroom.
Zayyan menunggu istrinya di restoran hotel sambil mengerjakan designnya. Sekitar pukul 10, keduanya saling berbalas pesan karena Qila sedang coffeberak. Saat istirahat makan siang, Qila keluar dari ballroom untuk pergi ke kamar mandi.
Dengan sabar Zayyan mengantar dan menunggu istrinya di toilet, lalu keduanya makan bersama di restoran hotel. Zayyan yang memakan jatah nasi kotak istrinya, sementara Qila memesan makanan lain sesuai yang diinginkan.
“Bang, aku tidak mau daun bawang.” Kata Qila.
“Sini, aku yang makan!” Zayyan menarik mangkuk sop buntut Qila dan mengambil daun bawang.
Setelah selesai ia menggesernya kembali ke hadapan Qila dan mulai makan. Teman-teman yang mengenal Qila merasa keduanya adalah pasangan yang serasi karena tidak hanya Qila yang membawa suaminya.
Ada beberapa teman yang juga membawa istri dan suami mereka untuk training karena mereka tidak tega meninggalkannya di rumah.
Selesai makan, keduanya sempat menikmati eskrim bersama sebelum akhirnya Qila kembali ke ballroom untuk melanjutkan training.
Sore harinya, saat keduanya kembali ke kamar orang tua Qila menghubungi. Mereka menanyakan keadaan Qila di training pertamanya karena ibu hamil biasanya merasa tidak nyaman kalau harus duduk lama.
“Alhamdulillah tidak ada halangan, Yah. Ya memang sedikit pegal duduk lama, tapi Qila masih tahan.”
“Perbanyak minum, Nak.”
“Iya, Bu. Ada Abang yang selalu mengingatkan.”
“Iya, Bu, Yah. Zayyan akan menjaga Qila dengan baik.” kedua orang tua Qila mengangguk dan mengakhiri panggilan mereka.
Zayyan meminta Qila untuk mandi agar terlihat lebih segar. Ia juga sudah memesan camilan dari aplikasi pesan antar untuk mereka nikmati sebelum makan malam. Setelah keduanya sama-sama segar, mereka menikmati camilan sambil menonton televisi.
“Deng…” panggil Zayyan yang merasakan nafas teratur Qila di dadanya.
“Kalau mengantuk kenapa tidak mengatakannya?” gumam Zayyan.
Sebenarnya Zayyan ingin membiarkan istrinya tidur lebih lama, tetapi karena waktu senja ia membangunkan Qila karena tidur di waktu senja tidak baik untuk Kesehatan Qila yang memiliki gangguan tidur saat malam.
“Bangun, Deng.”
“Hmmm…”
“Bangun, tunggu sampai selesai isya’ baru tidur lagi.”
“Tapi ngantuk sekali, Bang.”
“Mau tidak ngantuk, tidak?” tanya Zayyan dengan nada menggoda.
“Apa?” tanya Qila sambil mengucek matanya.
Zayyan mendekatkan wajahnya dan menyatukan bibir mereka. Qila terkejut dengan perlakuan suaminya tetapi tidak menolak karena dalam hati ia juga menginginkannya karena sudah lama mereka tidak ada bercumbu.
Cukup lama Zayyan memainkannya hingga ia melepaskan Qila untuk memberikan waktu istrinya bernafas.
“Deng…” panggil Zayyan dengan suara berat.
Niat hati ingin membuat Qila tidak mengantuk, tetapi ia justru menjadi terpancing dengan ulahnya sendiri.
“Kenapa, Bang?”
“Sudah lama aku tidak melakukannya.” Qila segera paham dengan kalimat suaminya.
Pasalnya sejak ia dinyatakan hamil, mereka hanya fokus dengan kehamilan Qila dan morning sickness sehingga mereka tidak ada berhubungan sama sekali.
Setiap kali Zayyan berkunjung, waktunya hanya dihabiskan untuk menemani sang istri yang sensitif.
“Tapi sebentar lagi maghrib, Bang.”
“Kalau begitu…” Zayyan menggantung kalimatnya dan segera menyerbu ke arah Qila.
Ia kembali memainkan bibir Qila dengan menyatukan tubuh mereka. Qila yang merasa tidak nyaman, mengalungkan tangannya di leher suaminya. Gerakan Qila justru membuat Zayyan semakin memuncak hingga merebahkan tubuh Qila dan mengungkungnya.
Sayangnya, mereka harus menyudahi kegiatan mereka karena suara adzan maghrib berkumandang. Keduanya mengambil wudhu dan melaksanakan sholat berjamaah.
Setelah Qila mencium punggung tangan suaminya, Zayyan menarik tubuh Qila dan segera memulai permainan. Ia yang sudah lama menahannya sudah tidak sanggup untuk menunggu lebih lama lagi.
Keduanya berakhir dalam pendakian hingga sama-sama mencapai puncak. Zayyan yang ingin melakukan pendakian kedua mengurungkan niatnya karena mengingat istrinya sedang hamil saat ini.
“Ayo mandi…”
Meski back to realita nya kondisi suami, ortu, dan mertua yang kaya gini sepertinya jarang ada ya? apalagi suaminya termasuk masih usia remaja. Kalo d dunia nyata ada sosok Zayyan, hebat banget ya ortunya bisa didik anak seperti ini