NovelToon NovelToon
Deonall Argadewantara

Deonall Argadewantara

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Mycake

Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.

Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.

Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Deonall Story

Deon berjalan dengan langkah gontai menuju lift apartemennya, masih dengan napas berat dan aroma soju premium yang samar menempel di kerah bajunya.

Tubuhnya masih tegak, tapi ada limbung halus di setiap gerakan bukan mabuk parah, hanya sisa dari malam panjang penuh tawa, daging panggang, dan curhatan patah hati orang lain.

Begitu masuk ke dalam lift, tanpa ragu tangannya langsung menekan tombol lantai 23 tempat unit 333 berada.

Jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena alkohol, tapi karena kelelahan jadi dua orang dalam satu hari.

Pintu lift terbuka dengan bunyi pelan. Deon melangkah keluar tanpa semangat, jas kerjanya ia pegang dengan satu tangan seperti baru pulang dari perang korporat.

Dasi sudah longgar menggantung di leher, dua kancing atas kemejanya terbuka, dan rambutnya berantakan ala aktor drama yang baru sadar dunia ini absurd.

Langkahnya lambat, tapi matanya masih fokus. Kesadaran masih utuh. Hanya saja, jiwa sedang libur setengah hari.

Begitu kunci diputar dan pintu apartemen terbuka, Deon langsung terpaku di ambang pintu tercengang, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Apartemen Damian benar benar gila.

Bersih. Rapi. Minimalis. Mewah tapi gak norak. Semua perabotan simetris kayak penggaris selalu ikut campur waktu ditata. Sofa abu-abu dipadukan dengan karpet bulu hitam pekat yang terlihat kayak belum pernah diinjak manusia. Meja kaca tanpa sidik jari satu pun, dan bantal sofa yang kayaknya disetrika tiap pagi.

“INI?! Manusia tinggal di sini?” gumam Deon sambil melangkah pelan, seolah takut napasnya merusak estetika ruangan.

Lilin aromaterapi menyala di sudut ruangan, menyebarkan wangi kayu manis dan lavender, bikin suasana makin kayak showroom, bukan tempat tinggal biasa.

Dia menyentuh sedikit pinggiran meja dapur yang kinclong dan langsung muncul suara pelan dalam kepalanya.

“Tolong bersihkan setelah disentuh.”

Deon kaget sendiri. “APA ITU SUARA HATI DAMIAN?”

Dia melirik sekeliling semua alat dapur disusun sesuai ukuran. Sendok, garpu, pisau? Posisinya sejajar dan ngadep ke arah yang sama.

“GILA NIH ORANG. Ini bukan apartemen, ini altar buat OCD tingkat dewa.”

Deon menjatuhkan diri ke sofa, menghembuskan napas panjang, matanya menatap langit-langit.

“Gue tinggal di tubuh cowok yang makan salad dengan penggaris dan ironisnya, hidup gue lebih berantakan dari baju yang dia simpan pake vacuum bag.”

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Deon merasa kalah telak. Bukan oleh alkohol. Tapi oleh kebersihan.

Deon duduk mematung di sofa, merasa seperti makhluk liar yang tiba-tiba dilempar ke dalam museum seni modern.

Dia melirik kakinya sendiri sepatu masih berdebu, dan langsung merasa bersalah kayak baru injek altar suci.

“Damian, lo tinggal di sini atau ini secret base Avengers?” batinnya.

Dia berdiri perlahan, mulai menyusuri apartemen sambil celingukan. Setiap sudut seperti punya peraturan tak tertulis. Rak buku tersusun berdasarkan warna dan tinggi.

Tanaman indoor disiram dengan takaran cinta dan timer digital. Bahkan remote TV ditaruh di atas tray beludru, sejajar dengan sudut meja, persis kayak di film detektif. Bedanya ini bukan TKP, ini OCD heaven.

Saat membuka kulkas, Deon refleks mundur setengah langkah. Isinya rapi.

Botol-botol minuman ditata berdasarkan gradasi warna. Makanan dibungkus rapi dalam wadah bening yang udah ditempel label dengan font yang seragam.

“Monday. Tuesday. Low-carb. High-protein. Gluten-free.”

Deon mengelus jidatnya.

“Ini kulkas atau jadwal hidup anak pertama? GILA NIH ORANG.”

Dia ambil sebotol air, duduk lagi, dan akhirnya tertawa pelan. Tawa itu berkembang jadi ngakak yang dia tahan-tahan. Sambil geleng-geleng kepala, dia nyender ke sofa dan menatap langit-langit.

“Gue nyasar ke tubuh cowok yang hidupnya kayak spreadsheet berjalan. Tapi ya ampun nyaman juga ya.”

Dan di momen absurd itu, Deon baru sadar.

Mungkin, untuk sementara, gak masalah tinggal di tubuh orang lain asal tubuhnya tahu cara nyusun rak bumbu dan punya AC dingin tiga arah.

__

Deon melangkah keluar dari kamar mandi dengan handuk tergantung di leher, rambut masih sedikit basah, tapi wajahnya penuh ekspresi kagum yang tak bisa disembunyikan.

Dia berdiri di ambang pintu, menatap balik ke dalam kamar mandi seperti baru saja keluar dari portal dunia lain.

“Gila!! Ini bukan kamar mandi, ini spa bintang lima yang lahir dari Pinterest dan doa ibu-ibu arisan!”

Setiap sudut ruang itu teringat jelas di kepalanya ubin marmer putih mengkilap tanpa noda, wastafel yang bersih sampai refleksi wajahnya kelihatan lebih ganteng, dan pencahayaan hangat yang bikin kulit jadi glowing instan.

Sabun cairnya wangi peony mahal, handuknya empuk kayak pelukan mantan yang udah move on, dan bahkan tempat sikat giginya punya sistem susun magnetik.

Deon mengangkat alis, masih melongo.

“Sikat gigi aja punya docking station?? Bro!! SIKAT GIGI??”

Dia mendongak ke atas. Ceiling kamar mandi itu punya lampu LED halus yang berubah warna. Biru saat dia masuk. Kuning hangat saat air mulai mengalir.

“Damian, lo manusia apa katalog interior hidup??”

Deon menghembuskan napas pelan, kemudian mengangguk sambil bergumam sendiri, “Oke, gue salah nilai lo, Damian. Lo mungkin kaku, nyebelin, dan punya mode autopilot, tapi soal kebersiha lo dewa kamar mandi. Sumpah.”

Dia melangkah ke ruang tengah dengan ekspresi kagum yang belum luntur. Setiap langkah terasa seperti keluar dari surga sanitasi.

“Kalau neraka itu penuh debu mungkin kamar mandi Damian ini udah jelas surga lantai dua.”

Deon berjalan ke ruang tengah sambil masih ngelap rambut, tapi pikirannya gak bisa lepas dari kamar mandi tadi.

“Gue keluar dari situ lebih bersih dari hidup gue sendiri.”

Dia duduk di sofa dengan ekspresi syok yang elegan.

Tatapannya kosong, seolah baru disadarkan bahwa selama ini dia hidup dalam kebohongan kamar mandi kosannya dulu gak layak disebut kamar mandi, lebih cocok disebut zona karantina.

Sambil meneguk air mineral dari gelas kaca bening yang entah kenapa juga dingin dan gak bau kulkas, Deon nyender dan mulai mikir keras.

“Nih orang, sikat gigi punya casing, sabun cairnya isi ulang organik, dan bahkan ada lap khusus buat kaca shower. Lap KHUSUS. Gila, bahkan shower punya privilege di sini.”

Dia mendesah dramatis. “Damian tuh kayak perpaduan Iron Man sama ibu rumah tangga Korea. Gak masuk akal.”

Tiba-tiba, matanya melirik jam dinding digital yang berbunyi lembut, lalu otomatis menyalakan lampu baca di sudut ruangan.

“Buset, bahkan jam dindingnya ngerti mood lighting. Ini apartemen atau pacar ideal, sih?”

Deon beranjak dari sofa, iseng jalan ke dapur. Ngelihat susunan bumbu dapur yang dilabelin rapi kayak katalog IKEA bikin dia merasa tersudut. Minder. Tapi juga penasaran.

“Damian, lo hidup kayak ninja Zen yang langganan majalah arsitektur. Tapi gue jujur aja nih gue ketagihan.”

Dia buka kulkas, ambil sepotong cheesecake kecil yang sudah dipotong rapi dan dibungkus clingwrap macam pameran makanan, lalu duduk lagi sambil nyengir sendiri.

“Oke, Damian. Lo mungkin nyebelin. Tapi kalau ini cara lo ngatur hidup kayaknya untuk sementara, gue gak keberatan diem di tubuh lo.”

Satu suap cheesecake masuk ke mulut.

“Anjir bahkan rasa hidup lo pun enak.”

Deon belum habis tercengangnya.

Baru juga cheesecake setengah potong meluncur manis ke tenggorokan, matanya kembali nyasar ke pojokan ruang tamu dan di sana, berdiri satu rak besar isi sepatu formal, sneakers, sampai boots koleksi yang disusun kayak museum alas kaki.

“Buset! Ini rak sepatu atau altar pemujaan fashion?” gumamnya pelan, setengah takut nginjek lantai.

Dia berdiri pelan, mendekat kayak lagi nyamperin sesuatu yang sakral. Tangannya menyentuh ujung salah satu sepatu kulit kilapnya memantulkan cahaya lampu gantung seperti ada aura surgawi.

“Damian, lo nyikat sepatu pakai air zamzam ya?!”

Belum puas, Deon jalan ke sisi kiri rak. Ada drawer kecil. Pas dia buka...

“AH ELAAAH, INI LAKER ATAU LACI PUSAKA?!”

Isinya dasi, jam tangan, manset, semuanya ditata rapi seolah hidup Damian dijalanin lewat Excel. Bahkan ada drawer isinya parfum, bukan satu-dua botol, tapi barisan koleksi sekelas toko duty free.

Deon sempat merem sejenak, tarik napas dalam. "Gue gak ngerti lagi ini cowok hidup atau nge-cosplay jadi kehidupan ideal Pinterest tiap hari?"

Tiba-tiba ada notifikasi bunyi dari tablet yang terletak di meja kerja.

BUNYI. “Reminder, Facial Treatment Tomorrow 10AM – Do not skip.”

Deon bengong. “LO BIKIN JADWAL BUAT WAJAH LO??!”

Dia mulai jalan muter apartemen sambil ngomel sendiri, gak berhenti kayak anak ilang masuk istana.

“Sumpah, ya. Nih orang punya coffee scale, vacuum cleaner otomatis, mesin pembuat es kotak kecil, dan GILA ini, ini dispenser air PANAS dan DINGIN langsung dari galon bawah? DAMIAN APA SIH LO?!”

Deon akhirnya jatuh terduduk lagi di sofa, mulut terbuka, nafas ngos-ngosan bukan karena capek tapi overwhelmed. Dia melirik ke sekeliling, lalu nyengir lebar sambil geleng-geleng.

“Oke. Gue gak tau hidup lo kayak apa, Damian. Tapi kalau lo pernah jadi agen rahasia, mantan pangeran Eropa, atau kloningan manusia sempurna gue gak bakal kaget sama sekali.”

Lalu, dia tenggak sisa air putih di gelas, pandangan ke langit-langit.

“Gue cuma pengen tahu satu hal, lo nyetrika handuk juga gak, Dam?”

Dengan napas yang masih ngos-ngosan karena overdose kemewahan, Deon berdiri lagi, kali ini menuju satu tempat yang belum ia sentuh sejak masuk ke apartemen ini.

Kamar tidur Damian.

Perlahan ia dorong pintunya, dan begitu daun pintu itu terbuka...

"OH. MY. DAMIAN."

Itu bukan kamar, itu surga tidur versi high fashion. Kasur king size di tengah ruangan dengan seprai putih gading licin kayak iklan pelembut pakaian.

Lampu gantung model minimalis elegan menggantung manja di langit-langit. Ada diffuser kecil di pojokan yang meniupkan aroma lavender pelan-pelan kayak nyuruh jiwa Deon istirahat.

“Anjrit, ini sih bukan tempat tidur. Ini altar tempat mimpi-mimpi sukses dilahirkan.”

Dia jalan pelan, kaki nyaris gak berani nginjek karpet bulu halus yang rasanya lebih lembut dari perasaan orang habis dapet gaji.

Deon jatuh duduk di tepi kasur, lalu langsung rebah. Kasurnya empuk tapi bukan empuk tenggelam, lebih kayak dipeluk sama awan premium yang ngerti beban hidup lo.

“Damian, lo tidur di kasur atau di pangkuan dewi kebahagiaan sih?”

Matanya menatap langit-langit, lalu lirikan ke kanan dan kiri.

Ada side table.

Di atasnya, jam kayu digital, buku-buku filsafat yang udah ditandai stabilo, dan satu jurnal kulit dengan nama D.A. diembos emas.

“Lo journaling? SERIUS LO NULIS PERASAAN JUGA?!” Deon nyaris teriak, tapi setengah kagum.

Dia bangkit pelan, buka lemari geser Damian. Isinya baju-baju disusun warna dan jenis, dari kemeja kerja, hoodie santai, sampai blazer yang bahkan kelip-kelip kayak habis disetrika sama bidadari.

“Lo nyetrika daleman juga gak, Dam? Jawab! JAWAB GUE!”

Lalu dia nemu satu spot di rak, tumpukan celana tidur dari bahan satin. SATIN. Buat tidur.

Deon geleng-geleng, matanya udah hampir berkaca-kaca.

“Gue, gue gak tau lagi harus ngapain. Gue hidup di tubuh manusia paling sempurna yang pernah gue temuin. Tapi gue gak bisa santai karena tiap sudut tempat ini bikin gue ngerasa kayak benalu berdosa.”

Dia rebahan lagi. Tatapan kosong, senyum getir.

“Damian, lo tuh paduan Elon Musk, oppa Korea, sama Marie Kondo. Dan gue cuma numpang tidur. Tapi Tuhan, kalo ini mimpi, tolong jangan bangunin dulu.”

1
🌻🍪"Galletita"🍪🌻
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
Isabel Hernandez
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Mycake
Mampir yukkk ke dalam cerita Deonall yang super duper plot twist 🤗🤗🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!