Deonall Argadewantara
Langit sore di Jakarta mulai berubah jingga saat sebuah mobil sport hitam mengkilap berhenti tepat di depan sebuah pusat perbelanjaan mewah. Suara mesin yang menggelegar menarik perhatian beberapa orang di sekitarnya.
Dari dalam mobil, seorang pria muda melangkah keluar dengan gaya yang begitu percaya diri. Deonall Argadewantara, atau yang lebih sering dipanggil Deon, tersenyum miring sambil mengenakan kacamata hitamnya.
Dengan jaket kulit mahal, sepatu sneakers edisi terbatas, dan jam tangan mewah yang harganya setara dengan gaji tahunan kebanyakan orang, Deon tampak seperti ikon kemewahan berjalan. Tapi bukan itu yang membuatnya terkenal.
Bukan karena ketampanannya atau gaya hidupnya yang hedonistik. Bukan pula karena statusnya sebagai pewaris salah satu konglomerat terbesar di negeri ini.
Yang membuat Deon begitu dikenal adalah satu hal, sikap tengilnya yang luar biasa menyebalkan.
“Awas dong, jalan jangan di tengah, lo kira ini jalan nenek moyang lo,” ucapnya ketus saat seorang pria paruh baya yang berjalan sedikit lambat menghalangi jalannya.
Tanpa menunggu jawaban, Deon melangkah masuk ke dalam mal dengan gaya angkuh. Beberapa gadis remaja yang mengenalinya dari media sosial mulai berbisik-bisik sambil cekikikan, tapi Deon tak peduli.
Baginya, perhatian adalah sesuatu yang biasa. Dia tumbuh dengan itu.
Hidupnya sempurna. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Atau setidaknya, itulah yang ia pikirkan.
Namun, segalanya berubah ketika Deon dipanggil pulang ke rumah mewahnya malam itu. Ia masuk ke ruang keluarga dan menemukan ayahnya, Deandra Argadewantara, duduk dengan ekspresi dingin di wajahnya. Ibunya, yang biasanya selalu membela Deon, kali ini hanya diam di sisi suaminya.
“Kita sudah cukup sabar dengan kelakuan kamu, Deon,” suara berat sang ayah menggema di ruangan. “Tapi kamu makin lama makin tidak bisa diatur.”
Deon mendengus, menatap ayahnya dengan santai. “Ayah mau ceramah lagi? Bisa dipersingkat aja? Aku ada janji.”
“Janji dengan siapa?” kali ini ibunya yang bersuara, nadanya tak seperti biasanya. “Dengan teman-teman kamu yang hanya peduli pada uang kamu? Dengan gadis-gadis yang hanya ingin dekat karena harta kamu?”
Deon mengangkat bahu, tak mau ambil pusing. “Dan kalaupun iya, masalahnya di mana?”
Ayahnya menghela napas panjang, lalu memberikan satu amplop putih tebal kepada Deon. Dengan alis terangkat, Deon mengambilnya dan membuka isinya.
Mata coklatnya yang tajam membulat ketika membaca isinya.
Kontrak Magang.
“Apa ini?” tanya Deon dengan suara lebih tinggi.
“Kamu akan bekerja sebagai anak magang di perusahaan kita,” jawab ayahnya dengan nada yang tak terbantahkan. “Selama enam bulan. Tanpa ada yang tahu bahwa kamu anakku. Jika kamu menolak atau gagal, kartu kreditmu, akses ke rekening bankmu, dan semua fasilitas yang kamu nikmati akan dicabut.”
Deon terdiam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa dunia runtuh. Kerja?
Dia, Deonall Argadewantara, yang terbiasa hidup dalam kemewahan, disuruh bekerja seperti orang biasa?
“Tunggu,” katanya, berusaha tertawa. “Ini becanda, kan?”
Tapi tidak ada yang tertawa. Tidak ibunya. Tidak ayahnya. Tidak pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Bahkan udara di ruangan terasa lebih berat.
Dan saat itu, Deon tahu bahwa hidupnya yang sempurna baru saja berubah.
__
Pagi berikutnya, Deon berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo perusahaan keluarganya terpampang besar di atasnya.
Tapi kali ini, bukan sebagai pewaris atau anak bos.
Kali ini, ia hanya seorang anak magang.
Dan ini baru permulaan.
Deon menarik napas panjang, melirik sekeliling. Kantor itu penuh dengan orang-orang berpakaian formal, berjalan cepat sambil membawa dokumen atau berbicara di telepon. Beda sekali dengan klub malam atau showroom mobil yang biasa ia datangi.
“Gila, ini neraka apa kantor sih?” gumamnya pelan.
Langkahnya terhenti saat seorang wanita dengan clipboard di tangan mendekatinya. Mata tajamnya menatap Deon dari atas ke bawah, seolah menilai apakah ia layak berada di sana.
“Kamu anak magang baru?” tanyanya ketus. “Nama?”
Deon mendengus, memasukkan tangannya ke saku celana. “Deon.”
Wanita itu menatapnya tajam. “Deon siapa?”
Deon tersenyum miring. “Deonall.”
“Deonall apa?”
Deon terdiam. Refleksnya hampir menyebutkan nama keluarganya, tapi ia sadar tidak boleh mengungkap identitas aslinya.
“Deonall... Wijaya,” ucapnya asal.
Wanita itu mengernyit. “Baik, Deonall Wijaya. Saya Nadine, supervisor divisi pemasaran. Mulai hari ini, kamu kerja di bawah saya.”
Deon tersenyum santai. “Oh, tenang aja, Mbak Nadine. Gue nggak bakal nyusahin lo kok.”
Nadine menyipitkan mata. “Panggil saya ‘Bu Nadine’. Dan satu hal lagi, anak magang itu nggak boleh songong.”
Senyuman Deon seketika menghilang.
Dan di saat itu, ia sadar... hidupnya benar-benar berubah jadi kacau.
Baru saja Deon mau masuk ke dalam ruangan, sebuah tumpukan map tebal mendarat di dadanya. Ia hampir tersungkur ke belakang.
“Nih, kerjaan pertama lo. Baca, catat, dan laporkan ke gue besok pagi,” kata Nadine santai sambil berjalan melewatinya.
Deon menatap map itu dengan horor. “Seriusan? Gue anak magang, bukan sapi perah.”
Nadine berbalik, menatapnya tajam. “Oh, lo pikir anak magang ngapain? Duduk santai sambil main HP?”
Deon mengerjap. “Ehm... iya?”
Nadine mendecak. “Salah. Selamat datang di dunia nyata, Wijaya. Dan mulai sekarang, gue jamin hidup lo nggak akan semudah itu.”
Deon menelan ludah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar... kalah.
Deon masih menatap map tebal di tangannya seolah benda itu adalah kutukan abad ke-21. Ia menghela napas panjang dan menyeret kakinya ke meja kerja yang tampak kosong di pojokan. Begitu duduk, ia membuka halaman pertama dan langsung diserang oleh deretan angka, grafik, dan istilah bisnis yang bahkan tidak pernah ia dengar sebelumnya.
"Apa ini? Bahasa alien?" gumamnya.
Baru saja ia ingin menutup map itu dan mencari cara untuk kabur, seorang pria berkacamata dengan senyum penuh semangat muncul di sampingnya. "Hai, lo anak magang baru, ya? Gue Iwan, udah setahun magang di sini. Tenang aja, kalau butuh bantuan, lo bisa nanya ke gue."
Deon mengangkat alis. "Setahun magang? Kok masih magang? Lo salah jurusan atau gimana?"
"Ah, itu cerita panjang..." Iwan tertawa canggung. "Pokoknya, kalau mau bertahan di sini, lo harus nurut sama Bu Nadine. Percaya deh, dia galak tapi baik... kadang."
Deon mendengus. "Galak tapi baik? Itu kayak bilang minuman ini dingin tapi panas."
Iwan hanya mengangkat bahu dan kembali mengetik di komputernya. Sementara itu, Deon menatap kembali map tebal di hadapannya. Kali ini, ia mencoba membaca satu paragraf dengan serius. Lima detik kemudian, ia sudah menguap seperti singa kelaparan.
"Oke, kayaknya ini nggak bisa dikerjain sendiri. Saatnya menggunakan strategi andalan," katanya pelan sambil menyeringai.
Ia melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu dengan gesit mengeluarkan ponselnya. Jarinya langsung bergerak lincah mengetik pesan ke asistennya.
Deon: Lo bisa bantuin gue ngerjain laporan ini nggak? Gue bayar lo double.
Beberapa detik kemudian, balasan muncul.
Asisten: Pak Deon, saya juga nggak ngerti laporan keuangan. Saya asisten pribadi, bukan dukun.
Deon mengerang pelan. "Sial, rencana A gagal. Oke, rencana B."
Ia lalu mencari aplikasi AI di ponselnya dan mencoba mengetikkan beberapa pertanyaan. Namun, baru saja ia ingin mengirimkan pertanyaan, suara Nadine terdengar dari belakangnya.
"Gue harap lo nggak main HP pas kerja, ya, Wijaya?"
Deon terlonjak seperti kucing kesiram air dan reflek menjatuhkan ponselnya ke lantai. Dengan wajah polos ia menoleh. "Hah? Main HP? Nggak, Bu Nadine. Saya cuma... eh... googling istilah bisnis."
Nadine menyipitkan mata. "Oh ya? Coba gue lihat."
Deon buru-buru memungut ponselnya dan menutup aplikasi secepat kilat. "Eh, tadi sih layarnya nge-lag, jadi keburu ke close. Maklum, HP gue udah tua."
Nadine mengangkat alis, jelas tidak percaya. "HP lo tua? Itu kan seri terbaru yang bahkan gue belum bisa beli."
Deon hanya bisa cengengesan. "Ehm, maksud gue, tua secara... spiritual."
Nadine mendengus. "Daripada lo cari jalan pintas, gue saranin lo mulai kerja. Kalau laporan lo jelek besok, siap-siap aja kena omelan di depan semua orang. Gue pengen lihat ekspresi lo pas diceramahin bos gede di depan banyak orang. Pasti seru."
Setelah berkata demikian, Nadine pergi dengan anggun tapi tetap menyeramkan. Deon menghela napas panjang dan menatap map itu dengan benci.
"Oke," katanya akhirnya. "Gue bisa ngerjain ini. Tinggal fokus... dan nggak tidur." Ia menepuk pipinya sendiri.
Lima menit kemudian, kepalanya sudah tergeletak di atas meja, tertidur dengan mulut sedikit terbuka sambil mendengkur halus.
Iwan, yang duduk di sebelahnya, hanya menggeleng-geleng. "Ya ampun, baru juga mulai... Udah kayak HP baterai 5%.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Mycake
Mampir yukkk ke dalam cerita Deonall yang super duper plot twist 🤗🤗🤗
2025-03-30
0