Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dekrit Kaisar di Malam Hari
Pintu bergeser perlahan. Dayang Yu Zhen membungkuk dalam sekali lagi sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.
Selir Xuan tidak menoleh. Ia berdiri di tempat, diam.
Baru setelah pintu benar-benar menutup, ia mengangkat tangan, menyentuh sisi meja tempat tadi Yu Zhen duduk. Jemarinya menelusur permukaan kayu, pelan... seperti membelai sisa bayangan masa lalu.
“Luka di tangannya tadi... masih basah,” gumamnya lirih.
Dari balik tirai, Luo Mei, pelayan pribadi tertuanya, melangkah masuk tanpa suara. Wanita itu sudah mengabdi sejak Xuan masih gadis belia. Ia tidak pernah banyak bicara kecuali bila diminta.
“Aku tak tega melihatnya,” ucap Xuan pelan. “Tapi aku tetap memindahkannya. Begitu buruknya aku sekarang, ya?”
Luo Mei menunduk sopan. “Tapi itu untuk melindungi Yang Mulia.”
“Melindungi... atau mengekang, ya?” Selir Xuan tersenyum hambar, lalu mengambil kotak kecil dari balik lengan bajunya. Ia membuka tutupnya, lalu menyodorkan isinya ke Luo Mei.
“Bawa ini ke barak sebelum fajar. Campuran akar pembeku darah dan daun pelunak urat. Untuk luka di lengan gadis itu.”
Luo Mei menerimanya tanpa suara.
Setelah itu, Selir Xuan menoleh ke luar jendela. Angin malam mengibaskan tirai tipis, dan pantulan lentera membuat wajahnya tampak lebih pucat.
“Aku dulu... seceroboh dia.”
Luo Mei menoleh cepat. Jarang sekali Xuan menyentuh masa lalu dengan mulutnya sendiri.
“Dulu, aku hanya pencuci pakaian istana,” lanjut Xuan pelan. “Bukan siapa-siapa. Tapi karena satu kejadian... Kaisar menoleh padaku. Lalu menarikku. Tapi bukan untuk dinikahi. Tidak. Istana ini tidak menikahi air sungai. Hanya memilih permata dari gunung.”
Ia tertawa kecil—bukan karena lucu.
“Bedanya... aku tahu sejak awal. Dia tidak.”
“Gadis itu... bahkan belum menyadari betapa tajamnya tempat ini.”
Luo Mei menunduk.
“Tapi Pangeran Jing Rui... sangat berhati-hati, Yang Mulia.”
“Justru itu.” Selir Xuan menghela napas. “Anak itu sangat pemilih. Ia tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada siapa pun. Tidak tertarik pada permainan politik, tidak tergoda oleh kecantikan buatan. Dan lihat siapa yang menarik perhatiannya...”
Ia menoleh pada Luo Mei, separuh tersenyum, separuh sendu.
“Gadis polos. Jujur. Tidak punya kekuasaan. Persis... seperti aku waktu muda.”
Luo Mei menunduk lebih dalam, kali ini tidak berkata apa-apa.
Xuan kembali memandangi malam.
“Andai saja prinsip itu cukup untuk hidup di istana. Tapi tidak. Kejujuran tidak bertahan. Ia hanya membuatmu jadi sasaran.”
Ia menatap lentera yang berkedip, lalu berbisik—lebih kepada dirinya sendiri.
"Aku hanya ingin putraku tetap menjadi pangeran. Bukan lelaki biasa yang patah karena mencintai yang tak bisa dijaga.”
Diam.
Lalu ia berbalik, perlahan melangkah ke dalam ruang tidurnya.
“Tapi sungguh... ada bagian dari diriku yang ingin gadis itu tetap hidup. Meski harus aku jaga dari anakku sendiri.”
---
Cahaya lentera menyinari ruangan dengan temaram hangat. Di balik kisi jendela, angin malam membawa aroma pinus dan debu halus musim gugur.
Di ruang kerja pribadi, Pangeran Keempat duduk membelakangi jendela terbuka. Sebuah gulungan laporan belum tersentuh di hadapannya. Tangannya menopang dagu, matanya tertuju pada bayangan gelap di lantai.
Pintu berderit pelan.
Lian He masuk tanpa suara, membungkuk dalam.
“Yang Mulia.”
Jing Rui tidak menoleh.
“Sudah dikonfirmasi?”
Lian He mendekat, lalu meletakkan gulungan kecil di atas meja.
“Baru saja. Perwakilan Kediaman Dalam datang dengan lambang resmi. Dayang Yu Zhen… kini secara sah berada di bawah penugasan Selir Xuan.”
Diam.
Jing Rui mengangkat kepalanya perlahan, menatap gulungan itu sejenak—lalu kembali menatap jauh ke luar.
“Kita terlambat,” gumamnya.
Lian He duduk sopan di sisi meja, melipat lengan jubahnya.
“Saya mengaku lengah. Tapi... siapa sangka Ibu Yang Mulia akan bergerak secepat ini.”
Jing Rui hanya mengangguk tipis. “Bahkan beliau menganggap gadis itu sebagai gangguan.”
“Atau mungkin…” Lian He menyipitkan mata, “beliau hanya melihat terlalu banyak kemungkinan dalam satu arah yang tidak beliau rencanakan.”
Diam lagi.
Jing Rui menyentuh cangkir teh yang sudah dingin. Ia tidak meminumnya.
“Sekarang... memanggilnya pun tak bisa sesuka hati,” katanya tenang. “Ia sudah menjadi milik istana Ibu.”
Lian He menyentuh dagunya pelan.
“Kalau begitu... apakah kita perlu menugaskan orang di Kediaman Dalam untuk... menjaga jarak pandang?”
Jing Rui menoleh sekilas. “Jangan berani macam-macam.”
Lian He tersenyum sopan. “Saya hanya bercanda.”
Ia lalu menatap cangkir Jing Rui yang tak tersentuh.
“Kalau boleh jujur… saya belum pernah melihat Tuan sebegini diam karena seseorang.”
Jing Rui tak langsung menjawab. Ia menggenggam cangkir itu sedikit lebih erat.
“Dia berbeda,” ujarnya akhirnya. “Tak bersuara, tapi terasa. Tidak berani mencari perhatian, tapi kejujurannya... memancingnya sendiri.”
Lian He mengangguk pelan. “Itu justru berbahaya. Karena Pangeran seperti Anda tak pernah tertarik pada topeng.”
Jing Rui menyandarkan tubuh.
“Aku bukan siapa-siapa untuknya. Dan dia juga bukan siapa-siapa di istana. Tapi bila kelak… aku tak menemukan siapa pun yang lebih jernih dari dirinya…”
Ia menatap langit gelap di balik kisi jendela.
“...maka aku tak akan memberikan hatiku pada siapa pun.”
Lian He menatap majikannya lama, lalu bicara dengan nada yang masih lembut, tapi menyelipkan senyum kecil.
“Kalau begitu... saya doakan semoga takdir masih punya sisa keberpihakan untuk cinta semacam itu.”
Jing Rui tersenyum samar. “Aku belum sampai mencintainya, tapi...”
Tiba-tiba suara langkah cepat bergema di luar lorong.
Tak lama kemudian, pelayan luar membungkuk di ambang pintu.
“Utusan dari Istana Dalam. Membawa dekrit dari Yang Mulia Kaisar.”
Jing Rui berdiri perlahan. Wajahnya tenang, namun matanya menajam.
“Persilakan masuk.”
Pintu dibuka penuh.
Masuklah Kasim Agung, mengenakan jubah hitam-emas kebesaran dengan ikat pinggang berukir lambang naga bermahkota. Di tangannya, ia membawa kotak panjang berhias giok hijau muda—tempat penyimpanan dekrit kaisar.
Ia melangkah sampai ke tengah ruangan, lalu berhenti dan berseru:
“Dekrit dari Yang Mulia Kaisar!”
Pangeran Keempat dan Lian He langsung berlutut, membungkuk dalam, dahi hampir menyentuh lantai.
Kasim membuka kotak itu perlahan dan mengambil gulungan kertas kuning keemasan.
Dengan suara lantang dan formal, ia membacakan:
“Dengan titah langit dan atas kehendak Yang Mulia Kaisar,
Pangeran Keempat Jing Rui ditugaskan untuk memimpin pembangunan
Pos Penghubung Kekaisaran di Lembah Utara,
guna memperkuat logistik dan penjagaan antara Ibu Kota dan wilayah barat laut.
Penugasan berlaku mulai esok pagi. Segel tugas sementara diserahkan
bersama dekrit ini.
Laporan langsung wajib dikirim dalam tujuh hari sejak proyek dimulai.
Ini adalah titah dari Kaisar. Tidak boleh ditunda, tidak boleh ditolak.”
Setelah membaca, Kasim menurunkan dekrit ke atas nampan khusus, lalu membuka kotak kecil satunya lagi berisi segel perintah sementara—berbentuk logam perunggu berbentuk naga mengepalkan cakar, simbol tugas darurat.
Jing Rui dan Lian He menunduk dalam.
“Hamba menerima titah.”
Setelah ritual selesai, kasim menyerahkan gulungan dan segel secara resmi kepada Jing Rui.
Ia membungkuk dalam, lalu keluar ruangan.
Hening menyelimuti kembali.
Lian He baru berani berbicara saat pintu ditutup sepenuhnya.
“Pos di Lembah Utara...” gumamnya. “Jalur paling sempit... dan paling membeku saat salju turun.”
Jing Rui menatap segel logam di tangannya, sorot matanya tajam tapi tak menunjukkan emosi.