Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Nayla tersenyum tipis, menatap Yuki dengan mata penuh pemahaman. “Siapa di dunia ini yang cukup gila karenamu, Putri?”
Yuki terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan jawabannya—karena hanya ada satu orang yang selalu menegaskan kepemilikannya atas dirinya, satu orang yang, meskipun dengan caranya yang kejam dan obsesif, tetap memilihnya tanpa ragu.
“Ya,” bisik Yuki akhirnya, menatap kosong ke cawan tehnya. “Dia memang satu-satunya orang yang cukup tegas memilihku menjadi istrinya.”
“Aku juga pernah di posisimu, Putri,” lanjut Nayla, suaranya nyaris seperti bisikan. “Tapi tidak separah dirimu. Aku pernah mempunyai tunangan… seorang teman sejak kecil. Kami tumbuh bersama, saling mengenal, saling mencintai. Aku yakin dialah satu-satunya untukku.”
Dia menunduk, jemarinya meremas rok gaunnya dengan lembut. “Tapi suamiku memisahkan kami. Dia menghancurkan hubungan itu, mengambilku, dan membuatku mengandung anaknya. Aku terpaksa menikah dengannya… awalnya, hanya demi anak dalam perutku.”
Yuki menahan napas, mendengar kepedihan dalam setiap kata yang diucapkan Nayla.
“Tapi setelah menikah,” lanjut Nayla, menatap Yuki dengan mata yang penuh kebijaksanaan, “Aku baru sadar… mungkin memang dia adalah orang yang tepat untukku. Bukan pria yang kucintai sejak kecil, bukan pria yang dulu kuanggap sebagai belahan jiwaku. Tapi seseorang yang bersedia melawan dunia hanya agar aku bisa tidur nyaman di sisinya.”
Yuki refleks mendongak, matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Pangeran Riana di kejauhan. Sorot mata pria itu begitu dalam, tajam, dan sulit diterjemahkan. Hanya sesaat, lalu Yuki dengan cepat memalingkan wajahnya, seolah menghindari sesuatu yang terlalu berbahaya untuk ditatap lama-lama.
Tapi di dalam hatinya, ia menyadari sesuatu.
Dunianya selama ini tampak selalu baik-baik saja, meskipun penuh dengan badai dan bahaya yang mengintai di setiap sudut. Namun, bukan karena ia kuat atau mampu bertahan sendiri.
Itu karena ada seseorang di sana—seseorang yang berdiri di belakangnya, melindunginya tanpa suara.
Pangeran Riana.
Dialah yang menjaga dunianya tetap utuh, meskipun caranya tidak selalu lembut.
Musik mengalun lembut, memenuhi aula dengan melodi yang menenangkan. Beberapa pasangan mulai berdansa, mengikuti irama yang mengalir seperti angin malam.
Nayla menarik tangan Yuki dengan senyum lembut. “Mari kita berdansa berdua. Suamiku tidak akan senang jika melihatku berdansa dengan seorang pria. Aku rasa Pangeran Riana juga,” katanya dengan nada bercanda, meskipun ada kebenaran di baliknya.
Yuki tersenyum kecil dan mengangguk. Dia menerima uluran tangan Nayla, membiarkan dirinya ditarik ke lantai dansa. Mereka tidak mengikuti aturan yang kaku seperti pasangan lain—tidak ada peran pemimpin atau pengikut.
Mereka hanya bergerak mengikuti alunan musik, berputar dengan ringan, tertawa kecil saat salah satu dari mereka hampir menginjak kaki yang lain. Gaun mereka berayun anggun, menciptakan pemandangan yang kontras namun harmonis.
Tidak ada tekanan, tidak ada kewajiban. Hanya dua wanita yang menikmati kebebasan sejenak dalam tarian mereka sendiri.
Bangsawan Tinggi Trigar mengamati Yuki yang tengah berdansa dengan Nayla, senyum kecil tersungging di bibirnya sebelum ia mengalihkan pandangannya kembali ke Pangeran Riana.
“Aku cukup menyukai istrimu,” katanya santai, mengangkat gelas anggurnya sebelum menyesapnya perlahan. “Aku pikir dengan statusnya, dia akan meremehkan istriku.”
Pangeran Riana, yang sejak tadi memperhatikan Yuki dengan tatapan tenang namun tajam, akhirnya mengalihkan perhatiannya kembali pada Bangsawan Tinggi Trigar. Dia tidak langsung menanggapi, hanya memutar gelas anggurnya dengan gerakan lambat dan penuh perhitungan sebelum akhirnya berbicara.
“Dia bukan wanita yang akan memandang status dalam pergaulannya,” ujarnya datar, seolah hal itu sudah menjadi fakta yang tak perlu diperdebatkan.
Bangsawan Tinggi Trigar mengangkat alisnya, ekspresi tertarik terlintas di wajahnya. “Jadi, dia akan menjadi Ratu Garduete?” tanyanya dengan nada penasaran.
Pangeran Riana menurunkan gelasnya, lalu menatap Bangsawan Tinggi Trigar dengan tajam. Jawabannya keluar tanpa ragu, tegas dan mutlak.
“Dia adalah pasanganku.”
Bangsawan Tinggi Trigar tertawa pelan, nada suaranya terdengar menghibur namun juga mengandung ejekan halus. “Voldermon benar,” katanya sambil menggelengkan kepala. “Kau sudah hilang akal jika berhubungan dengan istrimu.”
Dia lalu meletakkan gelas anggurnya ke meja, bersandar santai sebelum menatap Pangeran Riana dengan penuh perhitungan. “Jadi sekarang apa yang akan kau lakukan?” lanjutnya. “Masih ada Argueda dan Lekky yang harus kau urus, bukan?”
Pangeran Riana tidak segera menjawab. Dia hanya mengamati anggur dalam gelasnya, seolah menimbang sesuatu. Matanya sekali lagi kembali ke sosok Yuki di lantai dansa, yang tampak begitu bebas dan tanpa beban.
“Aku selalu tahu apa yang harus kulakukan,” gumamnya akhirnya, nada suaranya pelan namun penuh kepastian.
...****************...
Saat musik kedua mulai mengalun, lampu-lampu di aula tiba-tiba padam, menenggelamkan ruangan dalam kegelapan sesaat. Suara dengungan kebingungan terdengar di antara para tamu, beberapa orang berbisik, beberapa lainnya tertawa kecil, mengira itu hanya gangguan teknis sepele.
Namun, ketika lampu kembali menyala, ada sesuatu yang berubah.
Di tengah lantai dansa, di antara para tamu yang masih berusaha menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang baru kembali, seorang pria berdiri dengan begitu mencolok. Sosoknya tinggi dan berkarisma, mengenakan pakaian gelap yang kontras dengan cahaya yang mulai menerangi ruangan. Matanya menatap Yuki dengan tatapan yang sulit diartikan—entah itu kelembutan, permainan, atau sesuatu yang jauh lebih dalam dan berbahaya.
Yang lebih mengejutkan, tangannya telah melingkari pinggang Yuki, menariknya dengan lembut namun pasti ke dalam pelukannya.
“Menari denganku, Putri,” bisiknya, suaranya begitu tenang, seolah kehadirannya di tempat ini bukanlah sebuah pelanggaran, melainkan bagian dari rencana yang telah lama ia susun.
Lekky.
Yuki membeku sesaat, tubuhnya merasakan kehangatan samar dari pria itu yang berdiri begitu dekat. Dia mencoba menarik diri, namun Lekky sudah menuntunnya ke dalam ritme tarian yang perlahan menyatu dengan musik yang kembali mengalun. Langkahnya terampil, penuh kendali, menguasai setiap gerakan seolah Yuki adalah miliknya malam ini.
Suara bisikan dan tatapan tamu mulai tertuju pada mereka, menyadari kehadiran pria yang tidak seharusnya berada di sana.
Sorot mata Lekky tajam, penuh perhitungan, tapi bibirnya melengkung dengan senyum penuh misteri. Dia memimpin tarian itu dengan kepercayaan diri mutlak, membuat Yuki terseret dalam irama yang bahkan tak ia sadari telah ia ikuti.
“Kau menari dengan baik,” bisiknya pelan, nyaris seperti desahan di telinga Yuki.
Seketika, tubuh Yuki menegang. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena pujian itu, tetapi karena suara dan kehadiran pria ini memicu sesuatu dalam ingatannya—sesuatu yang tak bisa ia jangkau sepenuhnya.
Yuki menatapnya dengan keraguan. “Kau…”
Lekky tersenyum lebih lebar, matanya berkilat seperti seorang pemburu yang baru saja menjebak mangsanya. “Ya, aku… Kau tidak bisa melupakanku begitu saja, Yuki.”
Sebelum Yuki sempat mundur atau berkata apa pun, Lekky bergerak cepat. Dengan satu tangan, ia menekan kedua pelipis Yuki menggunakan jari telunjuk dan jempolnya.
Sekejap, rasa sakit menusuk kepalanya.
Cahaya berkilauan keluar dari ujung jari Lekky, menyusup masuk ke dalam kepala Yuki seperti gelombang yang meledak di dalam pikirannya.
Kilasan ingatan yang tak ia mengerti tiba-tiba menyeruak—gambar-gambar yang bergerak cepat, suara-suara yang bergema dalam benaknya.
Dengan satu gerakan mulus, Lekky kembali menuntunnya ke lantai dansa, mengabaikan kepanikan yang tergambar jelas di wajahnya. Ia tersenyum samar, seolah menikmati kekacauan yang baru saja ia ciptakan.
“Kita belum selesai,” bisiknya sambil menggenggam erat tangan Yuki, memaksanya mengikuti langkahnya lagi.
Yuki merasa dadanya sesak, seolah ada sesuatu yang menyeruak dari dalam benaknya. Langkah-langkahnya mengikuti irama musik secara otomatis, tubuhnya bergerak selaras dengan Lekky, tapi pikirannya melayang jauh.
Ada sesuatu yang familiar dengan tarian ini. Musik ini.
Déjà vu.
Bayangan-bayangan samar mulai berkelebat dalam pikirannya, seperti kenangan yang telah lama terkubur. Ia pernah berdansa dengan lagu ini sebelumnya. Namun, bukan di ruangan ini. Bukan dengan Lekky.
Saat Lekky memutarnya dengan anggun, Yuki membiarkan dirinya terbawa, tapi bukan karena terpikat. Bukan karena pesona pria itu.
Melainkan karena di dalam kepalanya, sebuah ingatan perlahan menjadi jelas.
Seorang pria berambut pirang keemasan.
Mata biru yang menatapnya dengan kelembutan tak tergantikan.
Tangannya yang kokoh menuntunnya di lantai dansa.
Pesta dansa yang berbeda. Gaun yang berbeda. Namun, ada satu hal yang sama.
Mereka telah menikah.
Yuki terengah, matanya membelalak. Kenangan itu menghantamnya begitu kuat hingga dia hampir tersandung.
Ledakan.
Dentuman menggelegar sesaat setelah segel suci ditarik.
Asap, jeritan, kehancuran.
Dan wajah pria itu—suaminya.
Suami yang telah meninggal.
Yuki menatap Lekky, tapi bukan Lekky yang ia lihat. Ingatan di kepalanya semakin nyata, menelusup masuk seolah ingin merobek sesuatu yang selama ini terkunci rapat.
Dia ingat.
Dia ingat wajah pria itu.
Pangeran Sera.