"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Sembilan
Hari ini Sheila bermaksud untuk meminta maaf atas semua yang dia ucapkan. Tadi dia telah menghubungi Galang dan mengatakan semua yang sedang terjadi. Di luar dugaannya, pria itu tak mau ikut campur dan meminta dia menyelesaikan sendiri. Galang tak mau dilibatkan.
Sheila berdiri di depan pintu rumah mantan suaminya, Darren, sambil menggenggam sebuah tas kecil di tangannya. Rasa cemas menyelimuti hatinya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat dia mengingat semua kebohongan yang telah terucap pada wartawan. Dia tahu bahwa kerugian terbesar dari perpisahan itu bukan hanya perasaannya, tetapi juga nama baik Darren yang terangkat karena ucapannya.
"Sheila, kamu bisa. Ingat tujuan kamu," bisiknya pada diri sendiri sambil menarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa detik yang rasanya seabad, dia akhirnya mengetuk pintu itu.
Ketika pintu terbuka, Darren muncul dengan tatapan datar. Pria itu tampak semakin menarik dari saat mereka masih menjadi suami istri. "Mau apa lagi kamu, Sheila?" tanya Darren dengan suara datar. Tanpa menunjukkan ekspresi bahagia atau marah. Hanya ada kesan dingin yang menembus hatinya.
"Selamat siang, Darren. Aku … aku ingin bicara," Sheila mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dia tahu ini harus dilakukan.
Sheila sedikit tersenyum saat melihat ada Fuji. Dia berharap Darren bisa menahan amarah jika ada putrinya itu.
"Fuji ... Mama kangen. Kamu ...."
"Fuji, kamu masuk ke kamar dulu, Nak," kata Darren, memotong kalimat Sheila dan segera memanggil anak mereka yang berusia empat tahun. Dengan langkah ringan, Fuji berlari ke dalam rumah, meninggalkan Sheila dan Darren berdua.
Sheila merasa jantungnya berdebar kencang. Sudah saatnya, dia harus meminta maaf. Dia tak bisa mengelak dari kenyataan dan memilih untuk lari. Dia merasa tak ada jalan lain. Dia harus menanggung konsekuensi dari semua kebohongan yang dia buat.
“Darren, aku … aku mau minta maaf denganmu dan Fuji. Terutama padamu,” katanya dengan suara bergetar. Dia memandang ke arah Darren, berharap bisa melihat setetes pengertian di mata mantan suaminya.
Darren menautkan alisnya, menampakkan ketidakpuasan. "Minta maaf? Apa maknanya jika semua ini sudah terjadi? Kamu sudah menghancurkan nama baikku!"
"Ya, aku tahu! Dan aku menyesali semua itu!" Sheila menahan air matanya. "Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Aku salah. Dan aku ingin kamu memaafkan'ku."
Darren menghela napas berat, matanya berkilauan dengan kemarahan yang terpendam. “Sheila, ini bukan hanya masalah permohonan maaf. Kamu sudah menyebutku selingkuh di hadapan wartawan. Nama baikku hancur karena kebohonganmu."
“Kebohongan? Darren, aku … aku yang tak pernah bermaksud begitu. Aku hanya terbawa emosi,” suara Sheila terdengar semakin lembut. Dia berharap kata-katanya bisa menusuk hati Darren.
Tapi Darren hanya menggelengkan kepalanya. “Tetap saja, kamu sudah mengatakannya. Semua orang percaya itu. Padahal kamu tau, di dunia seni, nama baik itu penting di jaga. Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan semua ini?”
Sheila merasakan hatinya hancur, setiap kata Darren adalah pisau tajam yang menusuk ke dalam sanubarinya. “Darren, aku mengerti bahwa semua ini berat. Tapi aku berjanji, aku akan bertanggung jawab untuk memperbaiki semuanya. Aku bisa menjelaskan pada wartawan bahwa masalah ini bukan salahmu.”
“Kamu tidak mengerti, Sheila. Masalah ini bukan hanya soal nama baikku saja, tapi juga karirku. Ini tentang keluargaku, tentang keluargamu, tentang rasa kepercayaan yang hancur,” ujarnya tegas, seolah mencoba mengingatkan Sheila tentang konsekuensi dari tindakannya.
“Aku tahu. Tapi, aku tidak ingin melihat Fuji terluka karena kesalahan yang aku buat. Aku ingin kita berdamai, demi dia,” Sheila berusaha menekan air matanya yang hampir luruh.
Darren hanya terdiam, matanya menatap jauh ke arah luar. Dia sedang berpikir, mungkin meresapi setiap kata yang Sheila ucapkan, tapi Sheila merasa harapan itu semakin memudar.
“Aku sudah membuat keputusan, Sheila. Aku tidak akan memaafkan'mu begitu saja. Dan aku akan melanjutkan kasus pencemaran nama baik ini ke meja hijau,” berat sekali suara Darren mengucapkannya.
“Tidak! Tolong, jangan seperti itu! Aku tidak ingin hal ini berlarut-larut!” Sheila meluapkan emosinya, tidak ingin Darren menyudutkan dirinya dengan pilihan yang semakin memperburuk keadaan.
Tapi Darren tidak goyah. “Ini bukan pilihan mudah bagiku, Sheila. Ini akan menjadi pelajaran bagimu untuk bisa berhati-hati dalam berucap!"
Mendengar kata-kata itu, hati Sheila terasa seolah diremas-remas. Dia tidak percaya Darren akan melakukan itu. Rasa kepanikannya semakin menjadi-jadi.
“Darren! Apa kamu tidak berpikir tentang Fuji? Bagaimana perasaannya jika mengetahui mamanya di penjarakan oleh sang papa.” Sheila mencoba meraih tangan Darren, berharap agar dia bisa menunjukkan betapa pentingnya masa depan anak mereka.
“Fuji tak akan tau. Aku akan melindunginya. Lagi pula dia tak butuh mama seperti kamu. Dia membutuhkan orang tua yang bertanggung jawab. Dan dalam kasus ini, aku tidak bisa memaafkan kamu. Jadi, sebaiknya kamu pergi sekarang,” Darren menjauhkan lengan Sheila dengan dingin.
“Darren, tunggu!” teriak Sheila saat Darren berbalik, kesedihan menyelimuti suara dan wajahnya. “Aku berjanji akan memperbaiki semuanya! Aku … aku siap bertanggung jawab dengan mengadakan konferensi pers untuk memulihkan nama baikmu."
Darren menatap Sheila dengan tajam, lalu membuang pandangan ke arah lain. “Seharusnya kau berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu. Sekarang sudah terlambat."
Di momen itu, Sheila merasakan ada sesuatu yang pecah di dalam hatinya. Dia tidak bisa membayangkan bahwa semuanya akan berakhir seperti ini. Dia berdiri membeku, merasakan setiap detak jantungnya yang semakin pelan.
“Aku akan menunggu keputusanmu, Darren,” ucapnya pelan, seolah tak ingin kehilangan satu harapan pun.
“Tidak perlu. Satu-satunya pilihan sudah ada di tanganmu sekarang. Kau harus bertanggung jawab atas semua yang kau lakukan di meja pengadilan,” Darren menjawab dengan nada yang sangat tegas. Wajahnya tak menunjukkan rasa kasihan atau simpati. Dia benar-benar berpikir bahwa perpisahan dan semua ini adalah pilihan yang terbaik untuk mereka.
Sheila tidak berkata lagi. Dia menjauh dari pintu itu dengan langkah hampa, meninggalkan Darren yang masih berdiri di tempatnya, seolah terabadikan dalam sebuah kenangan yang tak akan pernah mati.
Di luar rumah itu, Sheila merasakan angin sore yang dingin menyapu wajahnya. Dia tahu, langkahnya belum berakhir. Masih ada banyak yang perlu dia perbaiki. Tak peduli langit kelabu atau terang, dia harus berjuang untuk nama baik Darren, untuk Fuji, dan untuk dirinya sendiri.
Dengan tekad baru, Sheila menggapai ponselnya. Dia akan mendapatkan kembali kepercayaan itu, apapun yang akan terjadi selanjutnya. Dia akan mengadakan konferensi pers meminta maaf dan mengatakan kejujuran. Mungkin dengan begitu Darren akan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kasus ini ke meja hijau. Dia juga akan menghubungi Dara dan meminta bantuannya serta meminta maaf.
banyak kok artis yang pake narkoboy...
bahkan karir mereka aman2 aja
skrng cm bsa mnyesal kn???mga ga trulang d msa dpn....
kalo dikampungku orang galau patah hari gak bisa fokus sulit tidur datangnya ke psikolog atau ustadz atau tuan guru atau pendeta utk mendapatkan pencerahan bukan ke club miaras dan obat terlarang
entah kalo Adara lemah itu