Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Penguntit
Sejak insiden di rumah sakit, Marsha mulai merasa ada sesuatu yang aneh.
Awalnya, ia mengira itu hanya perasaannya saja.
Namun, semakin hari, semakin jelas bahwa ada seseorang yang terus mengamatinya.
Ia merasakan tatapan itu saat berjalan keluar dari gedung penerbitan, ketika sedang berbelanja di supermarket, bahkan saat menikmati kopi di kafe favoritnya.
Selalu ada seseorang yang rasanya selalu mengikutinya ke manapun gadis itu pergi.
Bayangan itu samar, tetapi Marsha merasakannya. Ia kerap menyadari dan melihat sendiri seseorang yang mengenakan hoodie dan menutupi sebagian kepalanya, tetapi tertangkap basah mengambil gambarnya.
"Hei, siapa di sana!" teriak Marsha di suatu kejadian.
Marsha tidak pernah melihat wajahnya dengan jelas, tapi ia sering menangkap bayangan di sudut matanya, sesosok pria bertopi dengan hoodie gelap, berdiri di kejauhan, memegang ponsel seolah sedang memotret ke arahnya.
Jantungnya selalu berdegup lebih cepat setiap kali menyadari keberadaan pria itu.
Namun, setiap kali ia mencoba menoleh atau mendekat, sosok itu menghilang, seolah hanya bayangan.
Hari ini pun sama.
Saat Marsha melangkah keluar dari butik langganannya di kawasan perbelanjaan mewah, perasaan itu kembali muncul.
Ada seseorang yang memperhatikannya.
Ia mempercepat langkahnya, jantungnya berdebar keras. Matanya mencari ke sekitar, tetapi hanya ada pejalan kaki biasa di jalanan ramai. Tetapi entah mengapa semakin jalanan ramai, rasa takut itupun juga semakin menggebu.
Kali ini ia kembali merasakan hal yang sama ketika ingin membeli minuman di pinggir jalan, karena cuaca sangat panas.
Namun, di seberang jalan, di antara deretan mobil yang diparkir, Marsha melihatnya lagi.
Pria itu berdiri di sana.
Kepalanya sedikit tertunduk, tetapi mata yang tersembunyi di balik bayangan topinya jelas tertuju padanya.
Marsha menahan napas, menggenggam tasnya erat, lalu segera masuk ke dalam mobilnya.
Ia menyalakan mesin dengan tangan gemetar dan melaju pergi.
Namun, bahkan saat mobilnya bergerak menjauh, perasaan takut itu tidak ikut hilang.
***
Malam itu, di rumah keluarga Abraham, Marsha tidak bisa tidur.
Ia berdiri di dekat jendela kamarnya, menatap pekarangan yang sepi di luar. Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan ranting pohon, menciptakan bayangan-bayangan gelap di dinding kamarnya.
Perasaan itu masih ada.
Ia merasa diawasi.
Jantungnya berdegup semakin cepat saat ia menyadari seseorang sedang berdiri di halaman rumah.
"Mas Gio? Kau kah itu?" tanya Marsha dengan suara sedikit berteriak.
Sosok itu diam, hampir tidak terlihat di kegelapan.
Marsha menahan napas, tubuhnya menegang.
Tiba-tiba, suara gerakan di belakangnya membuatnya tersentak.
Sebelum ia bisa berbalik, sebuah tangan besar menutup mulutnya dari belakang.
Marsha terperanjat, tetapi aroma familiar yang menyelimuti tubuhnya langsung membuatnya sadar siapa yang melakukannya.
Giorgio. Suaminya.
“Jangan berteriak,” bisik Giorgio di telinganya, suaranya rendah dan dalam.
“Ikut aku.”
Jantung Marsha masih berdebar kencang, tetapi ia mengangguk perlahan.
Giorgio melepaskan tangannya dari mulutnya, lalu menarik pergelangan tangannya dengan lembut, membimbingnya keluar dari kamar.
Tanpa suara, mereka menyelinap keluar dari rumah dan berjalan menuju garasi.
Di sana, sebuah mobil sport berwarna oranye menyala menunggu.
Giorgio membuka pintu penumpang dan mendorong Marsha masuk sebelum menutup pintu dan masuk dari sisi pengemudi.
Dengan satu sentakan gas, mobil itu melesat ke jalanan malam.
Mereka melaju tanpa suara selama beberapa menit. Marsha duduk dengan tubuh tegang, tangannya masih gemetar.
“Kau tahu siapa dia?” suaranya nyaris berbisik.
Giorgio menggeleng, matanya tetap terfokus pada jalan. “Belum. Tapi aku tahu dia berbahaya.”
Marsha menatapnya, merasa sedikit lebih tenang hanya dengan kehadirannya.
“Bagaimana kau bisa tahu aku dalam bahaya?” tanya Marsha setengah curiga.
Giorgio menghela napas, lalu menoleh sekilas padanya. “Aku sudah mengawasi sejak beberapa hari lalu. Aku tahu ada seseorang yang mengikuti gerak-gerikmu.”
Marsha terdiam.
“Kenapa tidak kau katakan padaku?” tanyanya akhirnya.
“Aku ingin memastikan dulu,” jawab Giorgio dengan suara rendah. “Dan sekarang, aku yakin. Dia tidak hanya mengikutimu, Marsha. Dia ingin kau tahu bahwa dia ada.”
Marsha menggigit bibirnya, merasa mual karena ketakutan yang menjalar di dalam dirinya.
Giorgio meraih tangannya yang gemetar dan menggenggamnya erat.
“Dengar,” katanya lembut, “aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu.”
Keheningan mengisi ruang di antara mereka, tetapi sentuhan hangat Giorgio di tangannya memberikan sedikit kenyamanan.
Marsha menatap pria itu dari samping. Sorot mata Giorgio tajam, rahangnya mengeras. Ia terlihat marah—bukan hanya karena penguntit itu, tetapi juga karena dirinya sendiri.
Seolah ia merasa gagal melindungi Marsha lebih awal.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah apartemen mewah di pusat kota.
Giorgio turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Marsha. Ia membimbingnya masuk, melewati lobi dan naik ke lantai atas.
Apartemen Giorgio luas dan maskulin, dengan desain minimalis yang didominasi warna hitam dan abu-abu.
Begitu pintu tertutup, Marsha menghela napas panjang.
“Jadi… apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Marsha, masih dengan ekspresi cemas di wajahnya.
Giorgio menatapnya dalam-dalam. “Untuk malam ini, kau tetap di sini. Aku tidak akan membiarkanmu kembali ke rumah itu sampai kita tahu siapa yang mengikutimu.”
Marsha membuka mulutnya ingin protes, tetapi tatapan tajam Giorgio menghentikannya.
“Kau butuh perlindungan,” lanjutnya. “Dan satu-satunya tempat yang paling aman untukmu sekarang … adalah di dekatku.”
Marsha menelan ludah. Tiba-tiba ingatan di malam pernikahannya seakan kembali diputar. Bayangan ketika Giorgio ceroboh mandi di saat ia pun sedang melakukan hal yang sama. Itu benar-benar menakutkan baginya.
Mereka berdua memang adalah sepasang suami istri, tetapi entah mengapa, bagi Marsha Giorgio masih tetap pria asing.
Ia butuh waktu untuk menjalin kedekatan dengannya. Dan itu tak mudah.
Keheningan di antara mereka terasa lebih intens dari sebelumnya.
Tatapan Giorgio terlalu dalam, terlalu dalam. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang membuat jantung Marsha berdegup lebih cepat.
Suhu udara di ruangan itu terasa lebih hangat, lebih berat.
Marsha mundur selangkah. “Aku … aku butuh mandi,” katanya gugup, berusaha mencairkan ketegangan yang terjadi.
Giorgio mengangguk, tetapi sebelum Marsha bisa melangkah, pria itu meraih dagunya dengan lembut, membuatnya menatap langsung ke matanya. Napas keduanya pun akhirnya saling memburu.
Suasana sepi, semakin membuatnya terdengar jelas.
“Aku serius, Marsha,” suaranya lebih dalam dari sebelumnya. “Mulai sekarang, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu.”
Marsha tidak bisa menjawab.
Tatapan mereka terkunci dalam diam, sebelum akhirnya Giorgio melepaskan tangannya dan membiarkannya pergi ke kamar mandi.
Namun, bahkan saat air hangat menyentuh kulitnya, Marsha tahu sesuatu telah berubah di antara mereka.
Dan ia tidak yakin apakah itu hal yang baik atau justru berbahaya.
***
Di dalam apartemen, di balik gorden yang menjuntai indah seseorang berdiri dan bersembunyi.
Lensa kamera di tangannya berkedip merah saat ia memotret ke arah kamar apartemen Giorgio.
Tatapannya tajam, senyum kecil terukir di wajahnya.
“Sekarang kau milikku, Marsha.”
Bersambung....