Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 26
Hampir lima hari berlalu sejak rapat besar pertama untuk Atlantic, Eva Liora tak pernah absen mengunjungi Kavi, baik di kantor atau menunggunya selesai bekerja. Beragam makanan mewah dikirimnya setiap hari sebagai dalih ingin bertemu.
Tapi tanggapan Kavi di luar ekspektasi wanita itu, selalu datar, selain suguhan senyum yang terkesan paksa.
"Kamu menjijikkan!" Eva bergerak cepat sesaat ketika Puja akan membuka pintu, memasang dua kepalan tanganーentah akan mencakar, memukul, atau menjambak.
Setelah dekat .... "Beraninya kamu mau bersaing denganku?! Siapa kamu pantas melakukan itu?!”
Baru satu tangannya terayun untuk menampar, namun ....
GREB!
Kavi menggagalkan. Pergelangan tangan Eva dicekalnya.
Puja yang merunduk menghalangi wajah dari serangan Eva seketika mengangkat kepala.
"Kenapa kamu menghentikanku?! Dia nggak pantas buat kamu, Kavi! Sadarlah! Kalian gak selevel!" teriak Eva. Diselimut amarah membuat matanya melebar seperti monster, tenaganya mendadak besar.
"Pulanglah." Kavi menyuruhnya. "Selain urusan pekerjaan, di antara kita gak boleh ada urusan lain. Nona Eva, tolong jangan melampaui batas. Hargai kerja sama kita." Diempasnya tangan wanita itu dari cekalan.
Eva melebarkan mata tanpa bisa berkata-kata.
Segera setelah itu Kavi menggamit tangan Puja, membawanya dalam gandengan. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya lembut.
Namun untuk Puja sendiri, bentuk perhatian itu justru membuatnya makin tak nyaman. Bergerak kepalanya menoleh Eva yang terdiam dengan napas memburu. Amarah wanita itu masih meliput di sekitaran.
Rangkulan Kavi diempasnya.
"Aku baik-baik aja. Sebaiknya aku keluar. Kamu sama Nona Eva, bereskan permasalahan kalian." Puja mengambil jalan tengah yang menurutnya adalah yang paling tepat.
"Tapi, Pujaー”
"Kita bicara lagi nanti. Aku harus kembali kerja," potong Puja. Tidak akan baik hasilnya jika menuruti keinginan Kavi, terlebih dengan keberadaan Eva di antara mereka. Jalan satu-satunya adalah pergi.
Tepat saat langkahnya dekat dengan Eva, sesaat dia berhenti, lalu berkata, "Aku bukan seorang jal4ng, Nona Atlantic." Dia menekankan kemudian berlalu tanpa menoleh lagi.
Kavi tidak mengangguk tidak pula mencegah saat Puja berbalik badan dan pergi. Hanya menatap dengan balutan rasa bersalah.
Sepeninggal Puja ....
"Pulanglah, Nona Eva. Saya harus menyelesaikan pekerjaan" pinta Kavi, dengan gaya bicara formal. Posisi diambilnya segera, duduk di kursi kerja dan mulai mengacak berkas.
"Kamu sungguh menolak aku lagi, Kavi?" Eva memastikan bernada menuntut, langkah kembali disusun untuk mendekat ke meja Kavi.
Kavi menaikkan tatapan pada wanita itu. "Sudah Saya tegaskan tadi. Selain urusan kerja sama pekerjaan, di antara kita tidak ada kesepakatan lain."
Eva langsung mengetatkan rahang mendengar itu. "Apa kurangnya aku dibanding wanita rendahan itu? ... Aku kaya, aku cantik, dan aku .... aku juga bisa memuaskanmu lebih dari dia di atas ranjang."
Dia merekam jelas kata 'ranjang' yang tadi diucapkan Kavi sekilas saat mencegat Puja untuk keluar.
Kata-kata akhir Nona Atlantic itu menajamkan pandangan Kavi, muncul seringai mengerikan di sudut bibirnya sesaat kemudian. "Kamu yakin bisa melakukan itu?"
"Tentu saja!"
Seraya tersenyum kecut, Kavi membenturkan punggung pada sandaran kursi yang diduduki.
"Apa ada yang lucu?" tanya Eva, merasa diremehkan. "Kamu nggak yakin dengan kemampuanku?" tanyanya lagi. "Baiklah, di ruang kerjamu ini ada kamar, 'kan?" Tangannya mengarah ke sebuah pintu di dekat lemari buku. "Kita lakukan sekarang juga!"
Mata Kavi nyalak melebar. "Apa?" Lalu tertawa kemudian. "Nona, kamu semangat sekali ingin menunggangiku" cibirnya. "Tapi aku nggak punya minat. Aku impoten.”
Eva melebarkan mata dan diam. “I-impoten?”
“Hmm.”
“Bohong!” Eva tak percaya. “Tolong jangan seperti ini, Kavi. Bukankah jika kamu memilih aku, akan semakin baik kerjasama antar usaha dan bisnis kita?”
Kavi menghela napas, mulai merasa jengah.
"Sayangnya nggak ada perasaan yang bisa dipaksa, Nona Eva. Hati saya, saya yang mengatur. Pada dan untuk siapa, entah padanya atau wanita lain, saya yang akan memutuskan, bukan Anda, bukan juga bisnis yang kita jalani. Jadi maaf, carilah pria lain. Anda itu cantik, juga kaya, gak akan sulit bagi Anda mendapatkan pria mana pun yang Anda mau, selain saya tentunya."
Eva menggeleng-geleng, tak suka semua kalimat itu, tidak ada motivasi yang pantas diterima dari seorang yang disukai dan sudah menolaknya sekian kali. Hatinya malah memanas. "Aku nggak mau, aku cuma mau kamu, Kavi. Aku cinta kamu!”
Kavi bangkit dari duduknya. "Lihat, Anda terus memaksakan keinginan. Dan segala sesuatu yang dipaksakan itu bukan cinta seperti yang Anda bilang, itu obsesi."
Sebanyak apa pun pengertian yang diberikan Kavi, Eva tetap pada apa yang dimau sejak awal. Dia tak suka ditolak, segala sesuatu harus didapat sesuai inginnya.
Keadaan itu membuat Kavi menjadi semakin kesal dan mulai kehilangan sabar. Telepon duduk di atas meja diraihnya, lalu menghubungi seseorang. "Pak Jajang tolong ke ruangan saya!"
Eva bertanya, "Kamu memanggil siapa?"
"Petugas damkar.”
Beberapa saat kemudian ....
"Tunggu aku mengacaukan semuanya ... Kavi Manggala Bajingan!"
Suara teriakan Eva menggaung keras saat satpam kekar bernama Pak Jajang menariknya paksa untuk keluar sesuai perintah Kavi.
Sampai ke telinga Puja yang berada di dalam toilet tak jauh dari ruangan itu. Dia menoleh udara seakan menatap jeritan Eva yang menggaung membelah langit, lalu tersenyum kecut. Di depan cermin menatap pantulan bayangannya sendiri.
"Siapa pun wanita yang ingin memiliki Kavi dengan paksaan, pasti berakhir kecewa. Sama seperti aku dulu, Nona Eva Liora." Wajah diusapnya setelah dia basuh dengan air. "Bedanya Anda cantik, kaya dan seksi, sedangkan aku hanyalah sampah."
Tapi ....
Puja bodoh yang dulu itu, sekarang sudah bertransformasi, dari mengenaskan jadi mengesankan.
"Untuk saat ini semuanya cukup." Dia menukas, mengubur kisah dalam hatinya.
Gegas merapikan diri lalu keluar, harus kembali bekerja. Pasalnya sejak keluar dari ruangan Kavi, dia memang tak langsung kembali ke pekerjaan. Baginya toilet adalah tempat yang tepat untuk sejenak mengatur diri setelah pengalaman tak menyenangkan.
Teman-teman satu divisi pasti langsung mengerubungi dan bertanya banyak tentang apa yang dilakukan Kavi padanya. Puja harus menyiapkan alasan sebisa-bisa.
Sampai di sana beberapa saat kemudian ....
Langkah terayun kaku dari pintu menuju kubikel.
Ternyata tak sesuai ekspektasi. Keadaan di dalam justru hening. Teman-temannya serius pada pekerjaan masing-masing. Namun saat diamati, mereka bermain mata, seperti memberi tahu Puja tentang sesuatu.
Puja tak paham pada mulanya, sampai ....
"Oh, Jim!"
Dia terkejut setengah mati saat mendapati pria itu tengah berdiri di sebuah sisi dengan tatapan kelam.
Melihat itu, gegas Puja mengisi kursinya. Kembali meneruskan pekerjaan yang tadi sempat tertunda. Sesekali melirik Jimmy yang bertingkah seperti pengawas.
Satu surel masuk ke komputer Puja dari managernya team-nya. Sesaat dia melirik Jimmy sebelum membuka.
'Kami dimarahi habis-habisan karena mengobrol saat bekerja. Urusanmu dengan Pak Kavi, kami penasaran. Pulang kerja kita kumpul di rumah makan seafood ibunya Geby, siapin penjelasan kamu'.
"Ternyata begitu."ーAlasan keberadaan Jimmy di ruangan ini, untuk menegur saja.
perjalanan dan ekspansi bisnis mungkin bisa jadi pembelajaran juga buat pembaca..
tetaplah berkarya dan menjadi yang terbaik.. 👍👍😍🙏
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..