SUDAH TERBIT CETAK
Cinta bertepuk sebelah tangan Anja mempertemukannya dengan Cakra, siswa paling berandal di sekolah.
Hati yang terluka bertemu dengan apatis masa depan akhirnya berujung pada satu kesalahan besar.
Namun masalah sesungguhnya bukanlah hamil di usia 18 tahun. Tetapi kenyataan bahwa Cakra adalah anak panglima gerakan separatis bersenjata yang hampir membuat papa Anja terbunuh dalam operasi penumpasan gabungan ABRI/Polri belasan tahun silam.
Beautifully Painful.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Butiran Debu
Anja
Ia tergeragap ketika seseorang mengusap lembut bahu kirinya sambil berbisik pelan, "Anja....udah sampai...."
Ia harus mengumpulkan nyawa yang tercecer karena mengantuk agar paham saat ini sedang berada dimana.
"Anja....," suara berbisik itu kembali terdengar. Kali ini lengkap dengan hembusan napas hangat yang meniup-niup puncak kepalanya.
Saat itulah ia tersadar jika saat ini sedang berada di dalam Taxi online bersama.....
Dengan gerakan cepat ia pun berusaha melepaskan diri dari rengkuhan seseorang dan langsung tersipu malu begitu mendapati wajah Cakra kini sedang tersenyum simpul di sampingnya.
"Sori....harus bangunin kamu," desis Cakra dengan wajah penuh penyesalan.
"Nggak kuat gendongnya ke lantai tiga," lanjut Cakra sambil meringis. Membuatnya spontan mencibir lalu buru-buru meraih boneka Nemo yang tergeletak di sudut jok, untuk kemudian membuka pintu dan keluar dari dalam mobil terlebih dahulu.
Setelah membayar dan berterimakasih pada driver Taxi Online, Cakra meraih tangannya untuk sama-sama memasuki lobby hotel yang malam ini terlihat mulai ramai dipadati pengunjung. Di depan resepsionis Cakra sempat berhenti sebentar untuk membeli dua botol air mineral, sebelum akhirnya kembali melangkah menuju kamar mereka di lantai tiga.
Ia sempat memakan beberapa potong ayam tangkap buatan Mamak dan dua buah kue cucur, sebelum akhirnya pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi sementara Cakra pergi keluar kamar entah kemana.
"Lo tidur disini aja," ujarnya dengan tanpa menoleh kearah Cakra yang baru kembali ke kamar dan kini tengah memposisikan kursi sedemikian rupa, mungkin agar nyaman untuk diduduki sembari tidur.
"Makasih, Ja," jawab Cakra sambil mendudukkan diri di kursi. "Aku disini aja."
Ia menghela napas sambil meletakkan dua buah guling secara bertumpuk di tengah-tengah tempat tidur, "Lo udah dua malam tidur di kursi. Nanti sakit badan."
"Ini gue kasih pembatas," lanjutnya cepat sambil menunjuk dua buah guling yang barusan ia tumpuk. Dengan boneka Nemo tersimpan di guling paling atas.
"Cuma tidur doang ini, nggak ngapa-ngapain," pungkasnya sembari merebahkan diri keatas tempat tidur dengan menghadap ke sisi luar tempat tidur, lalu menarik selimut hingga sebatas leher.
Ia sudah hampir terlelap ketika sebuah gerakan halus terdengar dari balik punggungnya. Diikuti dengan suara berbisik, "Nggak boleh nolak rezeki kan?"
Ia tak menjawab, namun tanpa siapapun tahu, ia sebenarnya sedang tersenyum di balik punggung, "Peraturan pertama, don't crossed the border."
"Ada peraturannya?!" heran Cakra setengah tertawa.
"Peraturan kedua, yang melanggar bakal di denda seumur hidup," lanjutnya sambil menahan senyum.
"Waduh, aturan apaan tuh?" kini Cakra tertawa sungguhan.
"Take it or leave it!" gerutunya sambil mencibir sekaligus menahan tawa.
"Lumayan lah buat meluruskan punggung yang serasa mau patah," seloroh Cakra yang sepertinya benar-benar sedang menggeliat guna meluruskan punggung sekaligus melemaskan otot-otot.
Selang beberapa menit kemudian suasana berubah sunyi. Meski begitu ia sebenarnya belum tertidur, bahkan sama sekali tak bisa memejamkan mata. Nyalang menatapi salah satu sisi tembok kamar yang berada tepat di depan matanya. Yang sebenarnya dilapisi cat tembok berwarna putih, namun kini berubah menjadi kuning akibat pancaran sinar lampu tidur yang terletak tepat di atas kepalanya.
"Kamu udah tidur?" suara Cakra membuatnya tergeragap.
"Belum," jawabnya hampir dua menit kemudian. "Nggak bisa tidur."
"Sama," jawab Cakra. "Kamu lagi mikirin apa?"
"Rahasia dong, masa ngasih tahu isi pikiran ke orang lain," jawabnya setengah mencibir.
Cakra tertawa, "Bukan mikirin aku kan?"
"Idih! Ge er banget sih jadi orang!" gerutunya sebal namun sambil mengu lum senyum. Tak merasa malu karena yakin Cakra takkan bisa melihat ekspresi wajahnya saat ini. Karena mereka sedang saling memunggungi.
"Kata orang, ada tiga cara biar bisa cepet tidur," ujar Cakra kembali memecah keheningan.
"Apaan tuh?" meski tak yakin Cakra sedang serius atau hanya bercanda, ia tetap memberi respon.
"Pertama, nangis."
"Idih?!" ia mencibir tak percaya.
"Karena kalau kita nangis, detak jantung bakalan meningkat dan pernapasan melambat," jawab Cakra dengan setelan suara bapak-bapak yang sok tahu dan menyebalkan.
"Nangis bakal ngelepasin hormon yang ada kaitannya sama stres, ngelepasin trauma emosional."
"Dan ini bisa nenangin perasaan, ujung-ujungnya bikin kita lelah, bikin asupan oksigen ke otak jadi berkurang, akhirnya ngantuk deh."
"Bisa aja," sungutnya tak percaya. "Lo lagi baca artikel dari situs kesehatan mana tuh?! Sotoy!"
Cakra tertawa, "Kedua, baca buku."
"Itu semua orang juga tahu kalau baca bisa bikin ngantuk!" potongnya cepat setengah kesal.
Membuat Cakra semakin tertawa, "Ketiga, melakukan sesuatu yang melelahkan."
"Apaan tuh?!" ia mengernyit bingung.
"Ah, masa nggak tahu sih?" suara Cakra terdengar misterius campur meledek.
Membuatnya berpikir keras berusaha mencari tahu maksud dari ucapan Cakra. Namun sedetik kemudian ia langsung memutar bola mata sambil berkata gusar, "Don't crossed the border!"
Cakra terkekeh senang demi mendengar kegusarannya, "Lima menit kemudian baru tahu artinya. Anja...Anja...."
"Berisik ah!" sungutnya semakin merasa kesal.
"Jadi...," Cakra kembali bersuara. "Cara ketiga, skip skip next. Cara kedua juga. Karena kita nggak punya buku apapun disini selain Yellow Pages fasilitas hotel cetakan sepuluh tahun yang lalu," lanjut Cakra sambil tertawa.
"Jadi maksudnya lo milih nangis biar bisa cepet tidur gitu?!" desisnya sebal.
"Cara pertama juga skip skip next," jawab Cakra. "Atau kamu mau aku tangisin sekarang biar cepet ngantuk?"
"Rese ah!" jawabnya makin bertambah sebal.
Membuat Cakra terkekeh senang. Namun sedetik kemudian kembali berbicara dengan nada serius, "Besok pagi aku antar kamu pulang ke rumah."
"Nggak usah!" sahutnya cepat. "Gue bisa pulang sendiri terang benderang ini ada matahari."
"Biar aku antar kamu sampai rumah, Ja," ujar Cakra dengan nada persuasif. "Siapa tahu bisa ketemu Mama atau Kakak kamu. Jadi aku bisa sekalian ngejelasin semuanya."
"Udah dibilang Mama lagi nungguin Papa di rumah sakit!" gerutunya sebal karena Cakra tak juga mengerti.
"Mas Tama sama Mas Sada juga pasti lagi di rumah masing-masing! Weekdays gini kan pada masuk kerja! Ke Jakarta lagi palingan weekend nanti sekalian ngajak anak istrinya!"
"Sekalian biar aku tahu kamu udah bener-bener pulang ke rumah," ujar Cakra masih dengan nada persuasif.
"Lo nggak percaya sama gue?!"
Namun Cakra tak menghiraukan tuduhannya, "Kalau udah sampai rumah, harus langsung istirahat. Dua hari dua malam hidup kamu nggak jelas begini, makan nggak teratur."
Ia hanya memberengut tak berkomentar apapun.
"Hari Kamis jangan lupa kamu harus udah masuk sekolah lagi. Jangan kelamaan nggak masuk sekolah tanpa keterangan."
Ia mendecih sebal, "Terus elo sendiri gimana?! Nasehatin sama nyuruh-nyuruh orang lain sih jago! Sendirinya?!"
"Bagiku kamu bukan orang lain, Ja."
Ia hanya memutar bola mata sebal, "Elo sendiri kapan masuk sekolah?! Jangan mentang-mentang sebagai pengunjung tetap ruang Kesiswaan, bikin elo tenang bolos sekolah lama-lama!"
"Aku nggak penting," jawab Cakra dengan suara kaku. "Kamu yang penting."
"Jangan sampai orang notice sama kealpaan kamu sekarang. Kamu kan anak baik-baik yang nggak pernah bermasalah sa..."
"Eh, sekali aja nggak ngeledek bisa nggak sih?!" dengan gusar ia merubah posisi tidur agar menghadap kearah Cakra. Namun tanpa dinyana ternyata Cakra telah lebih dulu menghadap kearahnya. Membuatnya mengkerut kesal sekaligus heran. Jadi....selama hampir setengah jam ini Cakra berbicara sambil melihat punggungnya? Oh, My!
Cakra tersenyum menatapnya, sontak dalam sekejap berhasil membuat detak jantungnya berpacu lebih cepat. Bertubrukan tak beraturan. Membuat wajah hingga telinganya memanas karena malu.
"Lo kenapa jadi begini?" syukurlah, otak impulsifnya bekerja lumayan prima hari ini. Tak lagi mengeluarkan statement bo doh yang bisa merusak suasana.
"Begini gimana?" Cakra masih tetap tersenyum.
"Ya jadi elo yang sekarang ini. Terkenal nakal, berandal, dibenci guru, nggak punya temen...."
"Padahal elo punya kemampuan diatas rata-rata yang nggak dimiliki sama semua orang. Tuh buktinya, medali sama piagam yang ada di lemari ruang tamu rumah lo?!"
"Kenapa modal berharga pemberian Tuhan justru lo sia siain?!"
Cakra menghela napas sambil mengulurkan tangan kearahnya, "Sori, ada rambut yang jatuh," sambil meraih beberapa helai anak rambut yang jatuh menutupi kening lalu menyimpannya di belakang telinga.
Apakah ini semacam trade mark Cakra dalam men treat cewek? Who knows. Yang pasti tindakan sederhana Cakra ini berhasil membuat hatinya terbang ke awan tapi sedetik kemudian jatuh dan tersayat-sayat. Terasa manis namun sesungguhnya sangat menyakitkan karena dilakukan dalam kondisi saat ini yang serba belum jelas.
"Kamu cantik," ucap Cakra sungguh-sungguh sambil menatapnya lekat-lekat.
"Semua orang juga tahu kali kalau gue cantik!" desisnya sebal. Berusaha mendistrak pikiran dari tatapan lekat Cakra yang membuat hatinya seperti sedang terombang-ambing oleh ombak besar di tengah lautan. Membumbung tinggi, kemudian terhempas. Seperti itu.
"Lo baru sadar kalau gue cantik?!" sambungnya dengan nada sebal yang dibuat-buat.
"Elo tuh ya kalau diajak ngobrol rada serius dikit aja, pasti langsung ngeles kayak bajaj!" sungutnya kali ini sebal sungguhan.
"Kenapa sih?! Lo takut kalau ada orang ngajak ngobrol serius?! Atau lo ngera...."
"Percuma," potong Cakra dengan mata menerawang.
"Maksudnya?!" ia mengernyit heran. "Percuma apanya?!"
"Orang kecil pinggiran macam aku dan keluargaku, sehebat apapun kemampuan yang kami miliki, akan tetap kalah sama yang punya kekuasaan dan materi berlimpah," jawab Cakra dengan mata yang masih menerawang.
"Kalau lo yakin begitu cara kerja dunia, kenapa lo nggak usaha jadi orang yang punya kekuasaan sama materi berlimpah?! Hayo?!" gerutunya sebal, tak percaya Cakra yang terlihat penuh percaya diri ternyata begitu rapuh.
"Malah menyerah sebelum bertanding. Trus sok sok an merasa jadi kaum termarginalkan. Nyalah-nyalahin orang lain!"
"Aku nggak ada nyalahin orang disini," potong Cakra cepat.
"Lo emang nggak nyalahin orang, tapi lo nyalahin keadaan sama diri sendiri! Sama aja kan?!"
Kalimat terakhirnya membuat Cakra kembali tersenyum, namun kali ini senyum kaku, "Kamu tahu gimana rasanya hidup sebagai anak seseorang yang dianggap sebagai musuh negara?"
"Bokap lo?" tanyanya dengan tak enak hati.
"Kamu udah tahu?" Cakra balik bertanya.
"Pernah baca di salah satu portal media online."
"Anak-anak PB yang ngasih tahu kamu?"
"Nggak penting siapa yang ngasih tahu gue!" jawabnya sambil mengkerut. "Kenapa?! Lo malu sama bokap lo sendiri?!"
"Bukan malu, Ja."
"Trus apa kalau bukan malu?! Beberapa anak PB yang orangtuanya jadi pemakai tetap rompi oranye KPK aja nggak pernah malu."
"Atau nggak tahu malu ya?" ia mengernyit bingung, lebih ke bertanya pada diri sendiri.
"Ya intinya, mereka aja yang berita tentang orangtuanya saat ini jadi headlines nasional, fine fine aja, tetep hepi, tetep sekolah, tetep me...."
"Aku kan beda sama mereka, Ja," sela Cakra. "Mereka pastinya masih punya kekuasaan dan materi buat...."
"Eh, gue belum selesai ngomong! Jangan main potong!" gerutunya sebal. Namun sedetik kemudian ia justru mengeluh, "Gue mo ngomong apa ya barusan? Duh, jadi lupa kan gara-gara lo motong!"
Cakra tersenyum, "Bagi sebagian orang, ayah mungkin pahlawan. Tapi bagi lebih banyak orang lagi, ayah jelas pengkhianat bangsa."
"Dan stigma itu melekat," lanjut Cakra sambil menghela napas. "Ke seluruh keluarga dan keturunannya. Entah sampai kapan."
"Jadi sebaik apapun kesan yang ditampilkan, secemerlang apapun prestasi yang ditorehkan. Anggapan sebagian besar orang tetap sama, nothing."
"Dan sekali kita nggak sejalan sama orang lain, nggak mau memenuhi keinginan orang lain, langsung dianggap memberontak. Habislah aku."
"Semua hal positif yang udah dilakukan sebelumnya, langsung hilang tak berbekas. Berganti dengan stigma yang kembali muncul, 'pantas dia begitu, lihat keturunan siapa'. Begitu," pungkas Cakra yang ia tahu mencoba tersenyum, namun gagal.
"Kejadian itu kan udah puluhan tahun lalu," ia mengkerut. "Lagian elo juga masih bayi kan waktu itu? Nggak tahu apa-apa."
"Kita nggak bisa milih buat lahir dari orangtua yang mana atau yang seperti apa."
"Jadi, apa hubungannya sama kondisi yang elo pilih sendiri secara sadar sekarang ini?!"
Cakra tersenyum sambil memejamkan mata, "Kalau saja semua orang mikirnya sama kayak kamu, mungkin aku nggak sehopless sekarang."
"Tuh kan nyalahin keadaan lagi!" sungutnya sebal. "Kita kan nggak bisa ngatur orang lain buat mikir apa ke kita?!"
Mata Cakra mendadak terbelalak.
"Kenapa?!" tanyanya heran campur kesal.
Namun Cakra justru tertawa, "Aku nggak nyangka....cewek manja, rese, berisik kayak kamu....bisa ngomong sedalem ini."
"Sedalem ini gimana?!" ia mengernyit heran, namun sedetik kemudian berubah kesal. "Eh, enak aja lo nganggap gue cewek manja, rese, apalagi tadi?!"
"Sialan!" gerutunya kesal. "Emang gue seburuk itu di mata lo?!"
"Ah, sama sih kalau gini," sahutnya lagi sebelum Cakra sempat membela diri. "Citra diri lo juga buruk di mata gue. Jadi kita impas!"
Namun Cakra justru tersenyum, sama sekali tak terpancing oleh ucapannya, "Jadi, kamu mau aku jadi orang yang seperti apa?"
"Kok nanya ke gue sih?!" tanyanya heran. "Ya keinginan diri lo sendiri lah! Elo pingin jadi orang yang kayak apa atau kayak gimana! Bukannya nurutin apa kata orang lain!"
"Apalagi apa kata gue! Yang menurut lo tadi manja, rese, trus apalagi tuh tadi?!"
"Dasar cowok comel! Bisanya ngata-ngatain orang!" sungutnya sebal.
Kini Cakra menghela napas sambil memejamkan mata, "Ngobrol sama kamu sedalem ini nggak lagi bikin haus, tapi bikin ngantuk."
"Enak aja!" ia menoyor kepala Cakra yang hanya berjarak beberapa senti di depannya. "Jadi sekarang lo bilang kalau suara gue bikin ngantuk gitu?!"
"Bukan, Ja," gumam Cakra dengan mata tetap terpejam. "Ngobrol sama kamu terlalu menguras energi, bikin aku lelah, bikin asupan oksigen ke otak berkurang, jadi ngantuk kayak sekarang."
Membuatnya menggerutu, "Enak aja! Jangan tidur dulu woy! Gue belum ngantuk!"
"Kamu ngomong aja, aku dengerin kok, sambil tidur tapinya," gumam Cakra yang sepertinya memang sudah setengah terlelap.
Entah berapa lama ia menatap wajah Cakra yang telah pulas. Matanya bahkan tanpa malu dan dengan kebebasan penuh menelusuri tiap inci garis wajah yang begitu sempurna itu. Sembari berusaha menenangkan hati yang berdebar-debar tak karuan.
Namun lama kelamaan ia pun mulai mengantuk, hingga akhirnya ikut terlelap dengan bayangan wajah Cakra yang menyelimuti seluruh angan dan menjadi pengantar dirinya pergi menuju ke alam mimpi.
Hmm, Cakradonya Ishak yang terkenal berandal ternyata memiliki hati yang amat rapuh. Sungguh kenyataan yang menyedihkan.
Sepertinya ia baru saja merasakan betapa nikmat rasanya terlelap, ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara benda yang dipukul dengan kekuatan penuh hingga menimbulkan gedoran yang amat keras sekaligus mengancam.
DAG! DAG! DAG!
DAG! DAG! DAG!
"BUKA PINTUNYA!"
Teriakan penuh kemarahan membuat matanya terbelalak, begitu pula dengan Cakra yang langsung terduduk.
DAG! DAG! DAG!
DAG! DAG! DAG!
Ia menatap Cakra dengan perasaan takut.
DAG! DAG! DAG!
DAG! DAG! DAG!
"BUKA PINTUNYA!"
Cakra terlihat berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya berkata dengan gugup, "Kamu tunggu disini," kemudian perlahan mulai bangkit untuk mencari tahu.
"Mungkin ada orang yang salah kamar," gumam Cakra jelas masih mencoba menenangkan diri sendiri. Meski ia juga sedikit setuju dengan pendapat Cakra. Karena hotel murahan ini memang tempatnya orang-orang ya....
BRAK!!!
Dalam sekejap pintu kamar mereka telah berhasil didobrak dari luar. Disusul dengan masuknya beberapa orang bertubuh kekar dan berwajah garang.
"LO YANG NAMANYA CAKRA?!" bentak orang yang pertama kali masuk ke kamar sambil menodongkan senjata laras panjang tepat di wajah Cakra.
Sontak membuatnya kaget setengah mati.
"LO YANG NAMANYA CAKRA?!" ulang orang kedua sambil memiting leher Cakra.
"I-iya, betul, saya Cakra," jawab Cakra gugup.
Orang ketiga mendadak menarik tangan Cakra ke belakang punggung, lalu mengikat dan memborgolnya.
"Apa salah saya Pak? Ini pasti salah paham," Cakra berusaha membela diri.
"DIAM LO!" bentak orang pertama sambil memukul wajah Cakra.
Ia yang terkejut setengah mati karena mengalami kejadian yang biasanya hanya pernah dilihat dalam adegan film tak mampu berbuat apa-apa. Terlebih ketika orang yang barusan memukul, kini kembali menodongkan senjata kearah Cakra karena terus berusaha melepaskan diri.
"Bapak salah orang. Saya nggak punya narkoba, Pak!" ujar Cakra yang terus berusaha melepaskan diri. Membuat pukulan kedua kembali melayang tepat di rahang yang sama.
Ketika otak shocknya belum mampu memproses apapun tentang kejadian mengagetkan dan mengerikan yang sedang terjadi, seseorang bertubuh tegap mendadak muncul di depan pintu.
"Anja?" orang tersebut berlari mendekat dan langsung memeluknya.
"Kamu nggak papa?"
Sesaat tubuhnya seperti tersengat arus listrik dan sedetik kemudian semua berubah menjadi gelap.
"Anja?"
Namun sebelum tubuhnya benar-benar luruh, telinganya masih bisa mendengar suara terkejut Cakra dan Mas Tama secara bersamaan.
mas sadaaaa,anja nakal nih mancing² buat adegan punggung seputih susu part 2😂