Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#26
Visual karakter dalam novel ini:
[Malamnya]
Langit sudah menggelap, namun lampu-lampu jalan berkelip hangat menghiasi kota. Naysila berhenti di depan sebuah kafe bergaya klasik modern dengan jendela kaca besar yang menampilkan suasana hangat di dalamnya. Di atas pintu tergantung papan kayu bertuliskan "Cafe Nostalgia" dengan lampu kuning temaram yang menyorotinya.
Dari luar, terlihat pengunjung menikmati obrolan hangat. Aroma kopi bercampur dengan wangi kue manis tercium samar hingga ke luar pintu. Ada alunan musik akustik lembut yang terdengar, menambah kesan nyaman dan hangat.
Naysila menarik napas panjang. Hatinya sedikit berdebar, ia mengira Bu Tamara mungkin sudah terlalu menunggunya di dalam. Ia pun mendorong pintu kaca perlahan.
Begitu masuk, suasana hangat langsung menyambutnya. Lampu gantung kecil berwarna keemasan menerangi meja-meja kayu yang tersusun rapi. Beberapa pasangan terlihat sibuk bercengkerama, ada pula sekelompok mahasiswa yang tertawa sambil memegang laptop.
Naysila berjalan perlahan, matanya menyisir ruangan mencari sosok Bu Tamara. Ia sempat melirik ke arah pojok kanan, ke dekat jendela, juga ke deretan kursi panjang di sisi kiri. Namun, tak ada tanda-tanda keberadaan ibu mertuanya.
Baru saja ia hendak melangkah lebih jauh, terdengar suara memanggilnya pelan.
"Nay..."
Langkahnya terhenti. Suara itu sangat familiar di telinganya. Tubuhnya menegang sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu.
Dan benar saja, di sanalah pria itu duduk di, salah satu meja dekat jendela, Alden.
Pria itu mengenakan kemeja putih dengan bagian lengan digulung, wajahnya tampak lebih segar dibandingkan siang tadi meski masih menyimpan lelah. Tatapannya langsung terarah pada Naysila, penuh kerinduan terpendam sekaligus kegelisahan.
Jantung Naysila berdegup kencang. Ia sama sekali tidak menyangka yang menunggunya di kafe itu bukan Bu Tamara, melainkan Alden.
Alden bangkit berdiri, menyambut kedatangannya walaupun dengan wajah datarnya. Naysila perlahan mendekat dengan perasaan tak karuan. Dalam hati ia berkata, "Kenapa harus ketemu dia lagi?"
Ketika ia telah sampai di meja tadi, Naysila mengucapkan salam pelan dan Alden pun menjawabnya. Pria itu mempersilahkannya untuk duduk. Naysila menurut, ia duduk kursi seberang Alden dengan kepala menunduk.
Atmosfer di ruangan itu mendadak berubah. Suasana yang tadi terasa hangat mendadak jadi lebih dingin dan kecanggungan memenuhi ruangan antara mereka.
Alden dan Naysila masih diam dengan pikiran masing-masing, seakan sedang mencari kata untuk memulai obrolan.
Alden mendeham pelan dan meminum jus miliknya karena tenggorokan mendadak terasa kering.
"Mau pesan apa, Nay?" tanya Alden akhirnya.
Naysila menggeleng. "Nggak usah, Mas. Aku datang ke sini cuma karena mau ketemu Ibu, katanya ada yang mau dibicarakan. Tapi, tanya datang rupanya bukan beliau, aku agak kecewa."
Alden menahan napas, agak kecewa dengan jawaban Naysila. Tapi ia juga memahami kekecewaan wanita itu, sebab dari awal bukan dirinya yang akan bertemu dengannya.
"Maaf," ucap Alden. "Aku juga gak bermaksud menipu kamu, ini rencana Ibu. Aku pikir Ibu juga akan datang, tapi ternyata nggak. Setelah mengatakan agar aku datang kemari, Ibu mendadak bilang beliau merasa lelah dan memintaku berbicara denganmu."
Alden berusaha memberikan penjelasan sejujur-jujurnya pada Naysila. Ia tak mau istrinya berpikir buruk tentang dirinya.
Naysila menghela napas. "Baiklah, aku terima alasannya."
Naysila mengangkat wajah dan menatap Alden sebentar. "Jadi, ada perlu apa memintaku kemari? Apakah ada hal yang perlu kita bahas?"
Alden sedikit mencondongkan tubuhnya dan meletakkan tangan di atas meja. Ia menatap Naysila dari jarak 50cm.
"Sebenarnya mungkin tidak begitu penting, Nay. Tapi... karena ini adalah acara keluarga, maka aku ingin kamu juga ikut hadir."
"Acara keluarga? Memangnya ada apa?" tanya Naysila penasaran.
"Begini... Om Roman akan menikahkan Aura pada Minggu ini dan beliau mengudang seluruh keluarga untuk hadir, termasuk kamu dan aku." Alden menjelaskan maksud pertemuan mereka malam ini.
Ia melanjutkan. "Kalau kamu gak keberatan, bisakah ikut denganku ke Medan untuk menghadiri acara pernikahan itu?"
Naysila tidak langsung menjawab. Ia malah terlihat bingung. "Kenapa aku harus ikut? Rasanya, hanya kamu saja yang hadir itu sudah cukup, Mas."
"Ya, harusnya begitu. Tapi... kamu tahu sendiri Om Roman sangat sayang kepada kita, bahkan ia menginginkan pernikahan Aura akan seperti pernikahan kita, yang beliau tahu kita bahagia." Alden bergumam lirih di akhir kalimat, seolah malu mengatakannya.
Naysila tersenyum kecut. "Kasihan beliau... Kalau tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti sangat kecewa, bukan?"
Alden diam, kepalanya menunduk. Ia tahu, Naysila sedang menyinggung kenyataan pahit dalam rumah tangga mereka. Kata-kata itu menohok jantungnya, membuat ia kehilangan kata.
Hening kembali menyelimuti meja itu. Hanya terdengar denting sendok dari meja lain, diselingi tawa pengunjung lain yang seolah jauh dari suasana mereka berdua.
Dengan suara rendah, hampir seperti bisikan, Alden berkata,
"Aku tahu... aku sudah membuat semua jadi hancur. Aku tahu kamu kecewa, kamu terluka, bahkan mungkin sangat membenciku. Tapi, Nay..." Ia menatap lekat wajah istrinya, "aku mohon, setidaknya untuk kali ini... temani aku. Anggap saja demi menghormati Om Roman dan orang tuaku."
"Apa sepenting itu kehadiranku, Mas?" tanya Naysila. "Kamu tinggal bilang pada Om Roman dan sanak keluarga kamu di sana tentang bagaimana sebenarnya hubungan kita. Itu cukup, kan?"
Alden menggeleng. "Sama sekali tidak cukup, Nay. Keluarga dari pihak ayah belum tahu tentang hubungan kita, apalagi Om Roman. Aku tidak ingin mengatakan hal-hal buruk tentang hubungan kita pada orang lain."
"Kenapa? Kamu malu atas perbuatanmu sendiri, Mas?" potong Naysila.
Alden menatapnya dalam, sorot matanya tegas. "Bukan. Aku melakukannya bukan karena malu atas perbuatanku, tapi hubungan kita belum benar-benar berakhir, dan aku tidak mau siapapun menilai salah satu diantara kita dengan penilaian yang buruk."
"Walaupun hubungan kita buruk, tapi bukan berarti aku mau jika nama baikmu buruk di mata keluargaku sekalipun kamu tidak memiliki aib," tambahnya.
Naysila menelan ludah, matanya menatap gelas kosong di meja seakan mencari pelarian. Ia tahu maksud suaminya, tapi tetap saja merasa enggan untuk menuruti permintaannya.
Hatinya berperang, antara keinginannya untuk terus menjauh dan rasa hormat pada keluarga besar yang dulu selalu menyayanginya.
Om Roman salah satu paman Alden yang paling menyayanginya. Sejak awal menikah, pria itu tak ragu untuk memujinya, bahkan selalu berkata lembut padanya.
"Mas... aku sudah tidak punya keinginan untuk menuruti permintaan seperti ini," jawabnya akhirnya, lirih tapi tegas. "Aku sudah mencoba melepaskan semua beban dari hidupku, termasuk pernikahan kita dan juga dirimu. Kenapa kamu terus menggangguku dengan hal seperti ini? Apakah kepergianku belum cukup untuk membuatmu puas? Apakah aku harus mati saja, supaya kamu tidak menggangguku lagi?"
Naysila meluapkan emosinya pada Alden. Matanya berkaca-kaca. Setiap kenangan buruk tentangnya bersama Alden muncul dalam benak dan itu membuat hatinya perih.
Alden menutup mata sebentar, menahan rasa sakit di dadanya. Namun, ia kembali membuka dan berkata dengan suara bergetar,
"Aku tahu. Tapi... tolong, Nay. Anggap ini permintaan terakhirku sebagai suamimu. Setelah itu... kalau kamu tetap ingin pergi jauh dariku, aku tidak akan menghalangi lagi. Dan mungkin... aku bisa benar-benar melepaskan dirimu untuk mencari kebahagiaanmu sendiri."
Naysila menoleh, menatapnya. Tatapan itu tajam tapi juga menyimpan keraguan. Sejenak ia terdiam, sebelum akhirnya bertanya pelan,
"Kalau aku ikut... apa jaminannya, Mas? Kamu tidak akan mempermalukan aku di depan keluarga? Tidak akan membuatku terlihat seperti wanita yang dipaksa untuk bertahan dalam pernikahan ini?"
Alden segera menggeleng. "Tidak, Nay. Aku janji. Aku akan jaga kamu. Aku cuma ingin kita terlihat baik-baik saja di depan keluarga. Setidaknya... untuk sekali ini saja. Setelah itu... aku akan membebaskanmu dari pernikahan kita jika memang itu yang kamu inginkan, Nay."
"Aku juga tidak bisa menahanmu terlalu lama. Kamu berhak bahagia dan aku... sudah saatnya menyerah demi kebahagiaan kamu," tambah Alden. Hatinya terasa sesak, tak menyangka akan benar-benar mengatakan kalimat itu pada Naysila yang masih berusaha ia perjuangkan.
Hening kembali turun. Naysila menggenggam erat jemarinya sendiri di atas pangkuan. Hatinya juga terasa sesak. Walaupun ia ingin pergi sepenuhnya dari Alden, tetapi entah mengapa, mendengar Alden mengatakan itu membuat ia ingin menangis saat itu.
Rasanya Naysila ingin mengatakan "tidak" pada berpisah, namun lidahnya kelu dan ia tak bisa mengatakannya. Hatinya berat menerima kenyataan Alden sudah akan berhenti memperjuangkan dirinya, walaupun selama ini ia juga tak mempedulikan perjuangan itu.
Cukup lama keheningan memenuhi ruangan. Alden menunduk sedih, tapi tidak benar-benar menunjukkan kesedihannya. Ia hanya sedang berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah di hadapan Naysila.
Begitu juga dengan Naysila, perasaannya tidak karuan saat ini.
Tak lama, Alden mengangkat wajah dan menatap Naysila kembali.
"Hanya itu yang ingin aku sampaikan, Nay," ucapnya, bibirnya berusaha tersenyum getir. "Aku butuh jawaban kamu sekarang, supaya bisa mempersiapkan segalanya untuk keberangkatan nanti."
Naysila balas menatap Alden, kali ini terlihat tatapan Alden penuh ketulusan dan kepasrahan.
"Aku harus meminta izin orang tuaku dulu, Mas."
"Baiklah. Aku menunggu."
Alden bangkit dari duduknya bersiap untuk pergi. "Terima kasih sudah mau menemuiku, Nay. Aku... sangat senang bisa bertemu kamu lagi."
Naysila tidak merespon. Pikirannya kacau.
Ketika Alden hendak pergi, Naysila tiba-tiba berkata, "Apa kamu marah soal uang yang aku kembalikan?"
Alden menoleh. "Aku tidak marah, hanya kecewa. Tapi, kembali lagi pada alasan kenapa kamu berbuat seperti itu. Itu semua terjadi karena kesalahanku, dan kamu berhak untuk bersikap seperti apa yang kamu mau terhadapku."
Alden melanjutkan dengan dada sesak. "Dan aku pun mulai berpikir, ketika uang itu dikembalikan, maka artinya memang kamu sudah menutup celah untuk kita bisa bersama lagi. Awalnya aku berharap semua akan membaik setelah kita kembali dari rumah Ibu, tapi nyatanya malah semakin memburuk. Aku tidak mau menahanmu lagi, Nay. Kamu berhak bahagia, dan sepertinya kebahagiaan kamu bukan bersamaku."
Naysila spontan menoleh. Alden tersenyum tulus untuk pertama kalinya. "Aku siap melepaskan kamu kapanpun kamu meminta lagi. Aku janji, gak akan pernah mempersulit jalanmu menuju kebahagiaan, meskipun yang akan membuat kamu bahagia adalah orang lain. Tapi ingat satu hal, aku tidak akan mengucapkan talak jika kamu tidak meminta, bahkan sampai aku mati pun."
Alden berdiri lebih tegak, menarik napas panjang seolah meneguhkan hatinya. Tatapan terakhirnya pada Naysila begitu dalam, seakan ia sedang mengukir wajah istrinya di ingatan untuk terakhir kali.
Naysila menunduk, dadanya terasa sesak, tapi ia menolak menunjukkan perasaan yang sebenarnya. Jemarinya yang saling menggenggam di pangkuan terasa dingin, kaku, seakan sedang menahan sesuatu yang ingin sekali ia lepaskan.
"Selamat malam, Nay," ucap Alden lirih. Suaranya nyaris pecah, tapi ia berhasil menahannya.
Tanpa menunggu balasan, ia melangkah meninggalkan meja itu. Setiap langkahnya terasa berat, namun ia tidak berhenti.
Naysila hanya bisa menatap punggung suaminya menjauh, hingga akhirnya lenyap di balik pintu kaca kafe yang kembali tertutup. Suara denting bel pintu saat Alden keluar seolah menjadi tanda berakhirnya percakapan panjang mereka.
Ia masih duduk di kursinya, diam. Musik akustik yang mengalun kini terdengar lebih pilu, padahal melodinya tetap sama. Segalanya terasa berbeda setelah percakapan itu.
Samar, matanya memanas. Naysila mengedip pelan, mencoba menahan air mata agar tidak jatuh di depan banyak orang. Namun, satu tetes akhirnya lolos juga, mengalir di pipinya tanpa bisa ia cegah.
"Kenapa hatiku terasa sakit sekali?" batinnya bergetar.
Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menunduk dalam. Bukan hanya karena kata-kata Alden, tapi juga karena hatinya sendiri yang ternyata belum benar-benar bisa menghapus pria itu dari ruang terdalam jiwanya.
Di luar kafe, Alden berdiri sejenak di trotoar, menatap ke langit malam yang penuh bintang samar. Senyumnya getir, tapi matanya basah. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu melangkah pergi dengan hati yang lebih kosong daripada sebelumnya.
Malam itu, dua hati yang pernah hampir dekat kembali menjauh, tapi sama-sama masih menanggung luka yang sama.
*****