Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lupa
Ketukan pelan terdengar di pintu kaca buram yang memisahkan ruang kerja Ethan dari dunia luar. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar, ia menekan tombol open di atas meja. Pintu terbuka perlahan, menampilkan Cantika yang melangkah masuk dengan kepala menunduk dan map cokelat di tangannya. Cahaya lampu jatuh di atas tubuhnya, membuatnya tampak kerdil dibandingkan kemewahan ruangan itu.
“Se-selamat pagi, Pak,” ucapnya gugup.
Ethan menoleh, satu pandangan dingin yang membuat lututnya seketika lemas. Tak ada keramahan dalam tatapannya, hanya kalkulasi dan penilaian seakan sedang memutuskan apakah Cantika layak berada di udara yang sama.
“Ada apa,” katanya datar.
Cantika buru-buru maju, meletakkan map dokumen di meja hitamnya. “Bu Ratna meminta saya menyerahkan berkas-berkas ini, Pak.”
Ethan tidak meraih map itu, tidak pula mengangguk. Ia hanya kembali pada laptopnya, seakan kehadiran Cantika hanyalah gangguan kecil yang tidak cukup penting untuk diakui.
Cantika membungkuk sopan. “Permisi, Pak,” katanya pelan dan berbalik.
“Lucu,” Ethan bersuara, tenang namun membuat bulu kuduk merinding. “Kau kembali bekerja setelah semalam kau mengundurkan diri dari perusahaanku.”
Cantika membeku, wajahnya memucat.
Ethan menyandarkan tubuh, jari-jarinya mengetuk lengan kursi. “Pada akhirnya, kau tidak bisa hidup tanpa tempat ini, hm?”
Tangan Cantika mengepal, mengumpulkan keberanian untuk menoleh.
“Kau marah?” tanya Ethan, terdengar jelas memancing.
Dengan kaku, Cantika berputar menghadapnya. “M-maaf atas ucapan saya semalam, Pak. Saya terbawa emosi.”
Ethan tersenyum miring. “Maaf dan selesai. Apa hidup bekerja semudah itu, Nona?”
Cantika menunduk, tidak bisa menjawab.
Drrt… drrt.. drrt…
Suara getaran ponselnya berdering memecah ketegangan. Cantika membola, mengambil ponsel lalu mematikannya dengan cepat. Namun panggilan itu datang lagi, terdengar memaksa. Ia menoleh gugup pada Ethan, seolah sedang meminta izin.
“Angkat,” perintah Ethan dingin.
Cantika buru-buru menekan tombol hijau, lalu mengaktifkan speaker.
“Selamat Pagi, apa benar ini dengan keluarga Bedo Santoro?” Suara pria dewasa terdengar dari ujung telepon.
“Iya benar, dengan saya sendiri.”
“Kami dari Rumah Sakit Permata Harapan ingin menginformasikan pasien atas nama Bedo Santoro baru saja masuk IGD akibat kecelakaan lalu lintas.”
Warna di wajah Cantika menghilang, ponsel hampir jatuh dari tangannya.
“Ke-kecelakaan? Bagaimana keadaan adik saya, Pak?”
“Kami tidak bisa menjelaskan di telepon. Mohon untuk wali pasien segera datang ke rumah sakit sekarang juga.”
"B-baik, Pak. Saya akan segera datang ke sana."
Telepon ditutup, air mata Cantika meledak begitu saja tanpa bisa ditahan.
“Pak Ethan, saya...” suaranya terisak, sorot matanya terlihat menyedihkan.
Bunyi 'tak' memotong kalimat Cantika, saat Ethan menutup laptopnya kuat.
“Ikut aku!” katanya dingin.
Ia berjalan keluar tanpa menoleh. Cantika segera menyeka air matanya lalu berjalan cepat di belakang Ethan. Para staf di luar ruangan menunduk, melihat Cantika keluar dengan mata sembab. Mereka berbisik, mengira gadis itu baru saja dimarahi habis-habisan.
“Pak, kita mau ke mana?” tanya Cantika ketika Ethan membuka pintu mobil untuknya.
Ethan tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu, masuk ke kursi kemudi lalu menyalakan mesin. Mobil melaju cepat melewati papan arah menuju rumah sakit yang tadi disebutkan di telepon. Cantika tertegun, ia menoleh pada Ethan berusaha menahan isak.
“Terima kasih, Pak.” katanya lirih.
Ethan tidak menjawab, namun sesekali ia melirik wanita itu sepanjang jalan. Air matanya yang terus mengalir, entah kenapa membuatnya merasa tidak nyaman.
Koridor IGD dipenuhi suara langkah tergesa dan panggilan darurat. Lampu-lampu terang mengiringi petugas medis putih yang sedang berlalu-lalang. Ethan berdiri tenang, kontras dengan atmosfer kacau yang menguasai ruang. Ia mendampingi Cantika yang belum berheti menangis, hingga ke ruang IGD.
“Wali pasien Bedo Santoro? Mari ikuti saya,” kata seorang perawat.
Cantika mengangguk dan mengikuti, namun sebelum benar-benar pergi ia sempat menoleh pada Ethan. Tidak ada ucapan, hanya tatapan takut yang memohon agar ia tidak dibiarkan sendiri.
Ethan menggerakkan dagunya, isyarat singkat bahwa ia tetap di sini.
Perawat mengarahkan Cantika ke bagian administrasi. Ketika petugas kasir menyebutkan total biaya yang harus dibayarkan, Cantika mematung. Angka yang terlalu besar bagi seseorang dengan sepatu dan tas sederhana seperti miliknya.
Ethan hampir melangkah menghampiri Cantika, kalau saja ponselnya tidak bergetar bertubi-tubi. Ia membuka layar, pesan-pesan dari Celine membanjiri layar satu per satu. Lima panggilan tak terjawab dan tujuh pesan masuk.
07.38 WIB: Selamat pagi Ethan, jangan lupa kita fitting terakhir hari ini.
09.05 WIB: Ethan kau sedang sibuk ya?
09.06 WIB: Jika sudah baca pesanku, kabari aku.
11.01 WIB: Aku sudah otw ke butik.
11.45 WIB: Ethan, aku sudah sampai.
12.05 WIB: Aku menunggumu.
Dan pesan terakhir, dikirim satu menit lalu. Tidak apa-apa jika kau sibuk. Aku akan menunggu sampai kau datang :)
Emoji senyum itu membuat dada Ethan terasa mengeras entah karena apa.
“Saya mungkin bisa mencicil atau membayar uang muka dulu.” Suara Cantika terdengar memohon meminta keringanan.
Dan sekali lagi hati Ethan terusik. Ia menoleh pada ponselnya lalu pada gadis di depan meja kasir seolah menimbang. Tanpa ekspresi berlebih ia mematikan layar, lalu memasukkan ponsel ke dalam saku baru kemudian melangkah ke kasir.
Pria yang dibalut jas hitam itu mengeluarkan kartu hitamnya dan meletakkan di meja tanpa suara. Gerakannya tenang, namun memiliki bobot yang memaksa siapa pun untuk tidak meragukannya.
Petugas tertegun, hampir menjatuhkan pulpen di tangannya saat melihat kartu hitam berlogo eksklusif. Siapa yang tak mengenal nama dan wajah itu? Ethan Solomon Montgomery, pewaris Montgomery Corp yang tersiar di seluruh negeri. Pria yang hampir tak mungkin berkeliaran tanpa pendampingan di ruang terbuka seperti ini.
“Baik Pak, akan segera kami proses,” kata petugas itu gugup.
Cantika memandang Ethan dengan mata basah. Perasaannya campur aduk.
“Terima kasih, Pak. Saya… saya akan menggantinya secepat mungkin, saya janji…”
“Hmm.” Pendek dan datar, hanya itu respons Ethan.
Ia medesah kecil, lalu melirik Cantika, “Jangan menangis.” katanya datar.
Kalimat itu tidak lembut, tetapi cukup untuk membuat Cantika menggigit bibir, berusaha menghentikan tangisnya.
Ketika administrasi selesai, mereka kembali ke ruang IGD. Cantika langsung berlari menuju ranjang di mana adiknya terbaring pucat, dengan infus dan perban yang membungkus kaki kanannya.
“Bedo…” Ia meraih tangan adiknya, menangis tanpa suara.
“Maafkan Kakak.”
Ethan berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan di saku. Cantika yang terlihat lemah menahan kakinya untuk tidak pergi. Waktu berjalan detik demi detik, jam bergulir tanpa permisi. Di ruang IGD ini, ia lupa, benar-benar lupa bahwa seseorang telah menunggunya di tempat lain.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk
apa cantika ada sangkut pautnya dengan barlex 🤔