🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#5
#5
Sedan hitam itu berhenti di pelataran parkir, dan sang sopir buru-buru berjalan kebelakang membukakan pintu untuk sang majikan.
Sosok wanita santun dan berwibawa keluar dari pintu belakang. “Han … barang-barang Ibu, langsung bawa ke belakang ya, biar di bereskan Yu Karti.”
“Njih… Bu.” Jawab sang sopir santun.
Wanita itu berjalan memasuki area perkebunan, setiap berpapasan dengan para karyawannya ia berbincang sekejap, menanyakan hal-hal remeh yang mungkin jarang di lakukan oleh seorang majikan pada semua bawahannya, tapi wanita itu melakukannya, bahkan ia hafal nama anak-anak para bawahannya.
Brug!! Mas Karto yang sedang membawa pot untuk persemaian bibit tanpa sengaja menyenggol pundak Hilda, hingga karung berisi pupuk organik itu terjatuh dari genggaman Hilda, saking asiknya ia memperhatikan wanita itu.
Segera sesudahnya wanita itu mendekati Hilda, “Eh… ada karyawan baru?” Sapa wanita itu.
“Njih Bu,” Jawab Afifah asisten kepercayaan Wanita itu. “Ini mbak Hilda Bu, beliau baru 3 hari ini mulai bekerja.” Afifah menjelaskan.
“Owalah, pantesan aku belum pernah lihat.”
“Saya, Hilda Bu…” Hilda pun memperkenalkan diri, ia mengulurkan tangannya, dan wanita itu dengan ramah menyambut uluran tangan Hilda.
“Ratih Maheswari.” Wanita itu memperkenalkan diri.
Hilda menatap tangannya yang kini di genggam hangat oleh Bu Ratih, ia buru buru ingin menarik tangannya yang masih penuh dengan noda tanah. “Maaf Bu, tangan saya kotor.”
Bu Ratih tersenyum, “ndak papa, kan memang kerja di perkebunan, harus siap dengan yang kotor-kotor.” Jawab Bu Ratih, wanita itu terus memperhatikan wajah cantik Hilda yang agak pucat, mungkin karena lelah.
“Mbak, Bu Ratih ini pemilik perkebunan,”
“Wah… maaf Bu,” Ujar Hilda kikuk, ia merasa bersalah karena mengotori tangan majikannya. “Tangan Ibu jadi kotor.”
Sekali lagi Bu Ratih tersenyum hangat, “ndak papa, Ibu sudah biasa mainan tanah juga, sama seperti yang lain.” Jawabnya, membuat Hilda merasa tenang.
Setelah menyapa Hilda, Bu Ratih kembali berkeliling, memeriksa dan menanyakan semua yang terjadi selama ia nyekar ke makam suaminya di kota Solo.
Beberapa hari berlalu, walau tak sesuai dengan passion nya, Hilda betah bekerja di perkebunan, walau setiap hari ia harus berkutat dengan pupuk organik yang masih harus dicampur dengan sekam dan tanah, agar proses pertumbuhan sayur mayur berjalan baik, hingga saatnya panen dan disuplai ke beberapa Supermarket besar di Yogyakarta dan Solo.
Beberapa hari itu pula Hilda semakin membaur dengan rekan rekan seprofesinya, semua yang ada di perkebunan itu baik dan ramah, tak ada yang saling iri dan dengki, karena sang majikan tak pernah pilih kasih dalam memperhatikan setiap karyawannya. Saking baiknya, bahkan makan siang untuk para karyawan pun disediakan oleh bu Ratih selaku pemilik perkebunan, agar para karyawan tak perlu repot membeli makan atau membawa bekal dari rumah.
“Bu …” Yu Karti berlari-lari kecil dari area belakang rumah utama.
“Ono opo?”
“Anu Bu… Mbak Siti… tangannya kena tumpahan minyak panas.”
Bu Ratih terkejut mendengar laporan Yu Karti. “Lha terus?”
“Sudah dibawa Pak Han ke Rumah Sakit.”
“Alhamdulillah…” Ucap Bu Ratih penuh syukur. “Trus masalahnya apa sekarang,”
“Nggak ada yang bantu saya masak.”
“Mbok Ijah kemana?”
“Hari ini izin, karena darah tingginya kambuh.” Jawab Yu Karti dengan wajah sedih.”
“Saya boleh bantu Bu, kebetulan pekerjaan saya sudah selesai.” Hilda mengajukan diri, kasihan juga jika para pekerja terlambat makan siang.
“Kamu bisa masak?” Tanya Bu Ratih.
“Insya Allah bisa Bu,” Jawab Hilda yakin, karena itu satu-satunya ketampilan yang Hilda kuasai dengan baik selama menjadi istri Aldy.
“Ya sudah, pekerjaan kamu biar di lanjutkan sama Pak Diman.”
“Mari Mbak …” Yu Karti mempersilahkan Hilda untuk mengikuti langkah kakinya.
Hilda tiba di sebuah ruang masak yang cukup luas dengan 3 buah kompor berukuran besar.
“Masaknya buat berapa porsi Yu?” Tanya Hilda sambil melepas pakaian luarnya yang lusuh karena tanah.
“50 porsi mbak…”
“Lho banyak amat Yu, kan pakerja hanya 30 orang saja.”
“Sebagian akan dikirim ke panti asuhan, Bu Ratih sudah rutin melakukannya setahun setelah memulai bisnis sayuran organik ini.”
“Ooo… begitu… pantas saja usaha beliau lancar ya?”
“Iya Mbak… dan kami para karyawan juga betah, karena Bu Ratih benar benar seperti keluarga kami.”
Hilda mengangguk paham, Usai mencuci tangan ia mulai mengupas sayuran, sementara Yu Karti menggoreng kacang untuk bumbu gado-gado, serta mengupas telur rebus untuk lauk pendamping nya. Obrolan mereka terus berlanjut hingga tanpa terasa 2 jam berlalu dan makan siang pun siap di santap.
Makan siang kali ini Hilda menuai banyak pujian, karena bumbu racikan Hilda jauh lebih lezat ketimbang racikan Mbak Siti. Bahkan Bu Ratih pun menyukai cita rasa masakan Hilda.
“Kamu pernah jadi Koki sebelumnya?” Tanya Bu Ratih ketika mereka lesehan makan bersama.
“Ndak Bu, saya ibu rumah tangga biasa.”
“Lha terus kok tiba-tiba kerja? Suamimu kena PHK?”
“Kami sudah bercerai bu?” Jawab Hilda dengan wajah menunduk sedih, sementara tangannya mengusap perutnya yang masih rata.
Deg
Bu Ratih cukup terkejut mendengar pengakuan Hilda, untuk ukuran wanita biasa, Hilda sangat cantik, bahkan masakannya pun lezat. Normalnya para suami pasti senang memiliki istri seperti Hilda, tapi… Entah ada masalah apa dalam rumah tangga Hilda hingga mereka bercerai. “Owalaahh… Ibu ikut prihatin ya, semoga kamu tetap kuat dan tegar menghadapi cobaan ini.”
.
.
4 hari berlalu sejak Widya menunjukkan aksi protes nya pada Aldy perihal rumah dan uang gono-gini yang Aldy berikan untuk Hilda, sebagai wanita yang kini menjadi pendamping Aldy, rasanya masih berat dan menyesalkan sikap Aldy yang hanya memikirkan Hilda, setelah perceraian mereka. Padahal setelah bercerai Aldy tahu bahwa ia akan menikahi Widya, tapi kenapa masih juga memberikan semua uang tabungannya untuk Hilda, bukannya sebagian atau beberapa persen saja.
“Wie… mau sampai kapan kamu mendiamkan Mas?” Tanya Aldy yang kini tengah bersiap dengan pakaian kerjanya. “Ini sudah hari ke 4 loh, masak tega kamu diamkan Mas seperti ini?”
“Biarin … pokoknya sampe kesel hilang.” jawab Widya ketus, wanita itu kembali menarik selimut, padahal Aldy belum sarapan dan suasana rumah tampak berantakan karena sejak marah Widya tak melakukan pekerjaan rumah.
Dan Aldy hanya bisa menanam rasa sabar sebanyak-banyaknya menghadapi kelakuan sang istri, menyesali keputusannya? Itu sudah pasti, karena beberapa hari setelah pernikahan semua sifat asli Widya mulai keluar. Walau tak ingin membandingkannya dengan Hilda, tapi memang Hilda jauh lebih mandiri dan penyabar jika dibandingkan dengan Widya yang masih manja dan cenderung mudah tersulut amarah.
“Mas lapar loh Wie… kamu gak ingin memasak untuk Mas?”
“Gak ada bahan makanan di kulkas.”
“Tuh… abang sayur sedang di rumah Bu Ratna.”
“Malas belanja, Bu Ratna suka nyinyir, banding-bandingin aku sama mantan istrimu.”
Aldy kembali menarik nafas, suka atau tidak gunjingan tak mengenakkan ini akan mereka hadapi, karena tak sampai 2 bulan setelah bercerai dengan Hilda, Aldy sudah kembali menikah. Bahkan Hilda pergi dari rumahnya, tentu saja mereka kini jadi perbincangan hangat di antara para ibu-ibu komplek.
“Trus Mas harus makan apa dong? masa jajan terus? Bisa habis semua uang tabungan kita.”
“Ya udah minta aja sama mantan istrimu.”
“Astaghfirullah, istighfar Wie, kenapa masih mengungkit uang itu? Uang gono-gini itu memang hak Hilda, dan Berdosa kalau Mas mengungkit-ungkit apalagi memintanya kembali. Bahkan saat ini pun Mas masih menanggung dosa karena Melalaikan nafkah yang seharusnya Masih Mas berikan untuk Hilda hingga masa iddahnya berakhir.” Aldy kembali menjelaskan dengan tutur kata selembut mungkin.
“Ya sudah, ceraikan saja aku, aku juga ingin Mas perhatikan seperti mantan istrimu itu, dapat gono-gini, belum termasuk nafkah lahir hingga masa iddah berakhir.” Celetuk Widya akibat terbawa emosi.
“Astaghfirullah, jangan bicara begitu sayang, ikatan ini suci, dan mas tak akan pernah melepaskanmu, cukup sekali mas bercerai, dan Mas tak ingin menyesal untuk kedua kalinya.”
Mendengar penuturan Aldy, widya berbalik dan menyingkap selimutnya, “Apa Mas? Menyesal? Jika mas menyesal karena bercerai, apa berarti Mas juga menyesal menikah denganku?!! Begitu??!!” Teriak Widya dengan nada tinggi.
Deg…
eyang gercep jg ya...
pastinya bank Himbaran!! bukan banl yg terbaik se Asia.
𝐰𝐢𝐝𝐲𝐚 𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐤𝐮𝐡𝐞 𝐜𝐦 𝐤𝐫 𝐤𝐨𝐰𝐞, 𝐩𝐲 𝐭𝐨 𝐤𝐢?
𝐦𝐤 𝐧𝐭𝐢 𝐭𝐝𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐧𝐠𝐤𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐤 𝐤𝐦𝐛𝐥𝐢 𝐬𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐤𝐮𝐡
𝐚𝐥𝐝𝐲 𝐚𝐞 𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐩𝐢𝐜𝐞𝐤
𝐠𝐮𝐰𝐚𝐤 𝐢𝐧𝐭𝐞𝐧 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐰𝐚𝐭𝐮 𝐤𝐚𝐥𝐢 🤣🤣🤣
𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐧𝐝𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐬𝐭𝐫𝐢 𝐝𝐞𝐦𝐢 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 janda😏😏😏😏