“Gun ... namamu memang berarti senjata, tapi kau adalah seni.”
Jonas Lee, anggota pasukan khusus di negara J. Dia adalah prajurit emas yang memiliki segudang prestasi dan apresiasi di kesatuan---dulunya.
Kariernya hancur setelah dijebak dan dituduh membunuh rekan satu profesi.
Melarikan diri ke negara K dan memulai kehidupan baru sebagai Lee Gun. Dia menjadi seorang pelukis karena bakat alami yang dimiliki, namun sisi lainnya, dia juga seorang kurir malam yang menerima pekerjaan gelap.
Dia memiliki kekasih, Hyena. Namun wanita itu terbunuh saat bekerja sebagai wartawan berita. Perjalanan balas dendam Lee Gun untuk kematian Hyena mempertemukannya dengan Kim Suzi, putri penguasa negara sekaligus pendiri Phantom Security.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fragmen 30
“Aku bisa menyeret badjingan yang sudah menghancurkan putrimu enam tahun lalu.”
Dengan santai kata itu terlontar dari mulut Gun. Faktanya enam tahun lalu itu dia masih berada di negara J sebagai Jonas Lee sang prajurit emas.
Mata Tetua Munjong langsung nyalak melebar. Menegakkan badan perlahan tanpa mengalihkan tatapan dari pria muda itu.
“Kau ... bagaimana kau ... bisa tahu tentang putriku?” Suaranya terbata saking terkejut.
Sejauh ini, selain beberapa anggota keluarga, tidak ada yang tahu jika Munjong pernah mengalami kejadian buruk di kediamannya yang saat itu masih di kota, enam tahun lalu.
Perampokan rumah, namun putrinya yang masih berusia tujuh belas tahun saat itu juga menjadi korban perkosaan di waktu sama. Hanya saja Munjong menyembunyikan rapat dari semua orang demi nama baik dirinya dan keluarga.
Tapi pemuda di hadapannya ini ... bagaimana bisa tahu semua?
“Tidak penting dari mana aku mengetahui, yang jelas aku bisa menyeret berandal itu ke hadapanmu,” Lee Gun menegaskan.
Munjong diam di waktu lama, memikirkan dan mencerna bagaimana seorang pengawal bisa mengetahui yang tersembunyi dari dirinya. Matanya masih dalam nyalak, bahkan tanpa berkedip. Dua kali liur diteguknya untuk menetralkan rasa, tapi hasilnya tetap sama, berderu jantung tidak karuan.
Gun menunggu tenang sembari ngupil.
Sampai kemudian ....
“Jika kau sungguh bisa melakukannya ... maka lakukan! Aku akan mengabulkan permintaanmu bahkan menyanggupi lebih dari itu.” Mata Munjong menajam, mencoba percaya pada lelaki muda di hadapannya. Ada kilatan amarah yang kapan pun bisa meledak terhubung segenap ingatan sudah terseret ke masa mengerikan itu. “Buktikan ucapanmu!”
Dari mula tipis hingga sedikit lebar, Gun tersenyum puas. “Keputusan bagus!” katanya. “Tapi ....”
“Tapi apa?!” Munjong tak sabar.
Gun merunduk, menatap perut lalu mengelusnya. “Bisa berikan aku makanan dulu?”
Sudah dibuat tegang, malah mendengar ucapan konyol, Munjong melemaskan pundak seraya mendesah kasar. Sekilas gelengan terlihat pertanda tak habis pikir. Namun pada akhir .... “Baiklah, akan aku siapkan.” Dia bangun dari kursinya, menegak lalu melangkah melewati Gun untuk keluar.
Tapi sialan itu mencegah lagi, “Aku juga ingin segelas anggur.”
Munjong meneruskan langkah setelah berhenti hanya untuk mendengar permintaan si bedebah. Sepulas kekesalan hadir menghias wajah, coba dibungkusnya dalam geraman, menahan sebisa-bisa.
Lucu rasanya.
Saat itu ketika menghukum Gun dan Suzi, Munjong begitu mendominasi, tegas dan meraja. Melakukan intimidasi yang sebenarnya sama sekali tidak berpengaruh apa pun pada seorang Gun, kecuali Suzi. Tapi sekarang keadaan berbalik telak.
Di tempatnya selepas pria tua itu berlalu, Gun terkekeh geli. “Tunggu suasana terang, kau akan mendapat kejutan lain ... dariku, Tetua Munjong.”
....
Benar saja!
Pagi hari sekitar pukul enam, seseorang datang ke kediaman Munjong. Berteriak dari luar pagar dengan napas tersengal-sengal karena berlari.
“TETUA MUNJONG!!!”
Dengan tergopoh Munjong menghampiri lelaki kurus itu ke teras rumah.
“Ada apa, Honja?!”
“Song Kang dan Im Nara ... me-mereka ....”
Munjong mengernyit kening dan mendekati. “Song Kang dan Nara? Kenapa mereka?”
“Me-mereka ... mereka terikat dengan keadaan tak berbaju di tiang alun-alun!”
“APA?!”
“Benar, Tetua!”
“Ayo ke sana!”
Langkah cepat Munjong mendorongnya ke alun-alun untuk melihat apa yang terjadi pada dua muda-mudi itu, seperti kata pria kurus pembawa kabar.
Sampai di sana, dua tangan Munjong membelah kerumunan yang melingkar padat.
Demi apa pun, keterkejutan sudah bukan sekedar lagi. “Apa yang terjadi pada mereka?!” tanyanya, pada siapa saja yang bisa menjawab.
Sesuai yang tadi dia dengar, Song Kang Dan Im Nara terikat di tiang dengan keadaan nahas, hampir te.lanjang. Hanya sehelai kain yang menutupi area int*m mereka.
Seperti itu masih lebih baik, Gun masih berbaik hati menggunakan nurani.
Tapi benarkah perbuatan sialan itu?
Tidak ada yang bisa menyangkal, walau itu langit sekali pun.
Terlihat seorang wanita tua menangis di pelukan wanita lain yang sama tua, di belakang tiang. Dia adalah ibu kandung Im Nara. Tak bisa berbuat sembarang untuk melepas, sebelum Munjong datang dan memberi keputusan tepat. Suaminya sedang tak di tempat, urusan lain melemparnya jauh ke tengah kota.
Sementara Song Kang hanya seorang pengunjung yang tertarik pada Gaepyoung dan memutuskan tinggal. Cintanya jatuh pada Im Nara yang statusnya sudah dijodohkan dengan pria satu kaumnya. Namun pria itu saat ini sedang mendaki gunung.
Saling berbalas cinta membuka kisah terlarang pasangan itu. Bertemu sembunyi-sembunyi lalu bercinta di mana pun kesempatan itu datang.
Satu orang wanita muda menunjuk ke arah sebuah tulisan yang berderet di bawah kaki Song Kang dan juga Nara. “Keterangannya ada di sana, Tetua Munjong.” Dia memberitahu.
Lagi, keterkejutan Munjong ditumpuk semakin tinggi.
'Kami adalah pasangan. Semalam kami bercinta dengan sangat panas di gubuk Nariyan. Hubungan kami sudah berjalan lama, tepatnya dari awal kedatangan Song Kang ke desa ini'
Demikian berarti yang dulu mereka diarak orang separuh desa adalah keputusan benar. Namun Im Nara dan Kang berhasil berkilah dengan melempar kesalahan pada orang lain--Gun dan Suzi, yang kebetulan saat itu singgah di desa.
Hanya karena Im Nara anak seorang pentinggi di sana, semua berjalan baik. Namun siapa kira, Gun akan datang membalas sampai sejauh ini.
“Itu tulisan Im Nara. Aku sangat mengenalinya.” Seorang gadis menunjuk dengan raut tercengang, tidak percaya. “Nara, bagaimana bisa kau ....?” Dia tak bisa meneruskan kata-katanya, tak enak hati pada ibu Im Nara yang terus meraung memohon agar putrinya segera dilepaskan.
Dua tokoh utama terkait---Im Nara dan Song Kang, mereka di atas tiang hanya bisa merunduk dalam, tanpa kata. Keadaan ini sungguh sangat menghukum sampai ke ubun-ubun hingga keduanya ingin mati saja.
Im Nara terus menangis dalam ketidakberdayaan dan Kang terdiam dalam penyesalan.
Dalam keterkejutannya, Tetua Munjong seketika ingat pada manusia tengik yang ada di rumah.
“Pasti dia,” kata hatinya, langsung curiga pada bedebah itu. Sekarang Lee Gun masih terlelap di rumahnya setelah semalam menghabiskan satu ekor ayam panggang dan anggur yang disuguhkan.
“Lepaskan mereka, bawa ke rumah putih,” Munjong memerintah tegas. “Setengah jam lagi aku ke sana. Sekarang aku harus pulang, ada yang harus aku urus lebih dulu.” Segera dia berbalik pergi, menyusun langkah cepat menuju pulang.
Sampai di rumah, mendorong keras pintu lalu masuk dengan tergesa.
“Kemana anak itu?” Munjong mengedar pandang dengan gerak rusuh.
Sofa tua yang dari semalam direbahi Gun sudah kosong. Anak muda itu tak lagi di sana.
Cepat langkah kakinya mengitar seluruh penjuru rumah, namun nihil. Gun sepertinya sudah pergi meninggalkan kediamannya.
Sampai kemudian orang tua itu menemukan sehelai kertas di atas meja di ruang kerja. Dia mengambil lalu membaca di dalam hati.
Suka dengan kejutan yang kuberikan di alun-alun? Hehe .... Kau pasti menyukainya.
Kalimat pertama disikapi Munjong dengan mata melebar. “Dugaanku benar. Dia orangnya.”
Selamat bersibuk ria, Tetua. Kuharap ke depannya kau bisa lebih bijak menilai orang. Aku dan Suzi hanya seorang nona dan pengawal. Terima kasih kau sudah membuat hubungan kami menjadi rumit, akan kami nikmati sampai selesai. Do'akan kami segera menimang anak.
Dan untuk ayam panggang yang kau suguhkan, itu enak sekali. Aku bahkan menyeruput isi tulangnya.
Sampai jumpa lagi, Tetua.
Orang itu akan kubawa segera. Siapkan pedangmu!
Geluguk liur di dalam mulut mengalir sulit di tenggorokan Munjong.
Dari kertas, tatapannya naik nyalang ke depan di mana sebuah topeng terpajang di bilah dinding.
“Siapa sebenarnya anak muda ini?”
lanjuuut/Ok//Ok/
maaf ya thor 🙏 aq slow respon baca novelmu karena aq tepar euy udah 4 hari ini, thor jangan lupa jangan kesehatan ya 💪😍 & semoga lancar rejeki bwt dirimu thor 🤲
seneng bgt 👍👍👍👍
🙏🙏🙏🙏🙏🙏.
bilamana memang pembaca suka dan sllu menantikan update anda thor...pasti walaupun boom update juga pasti like...itu pasti...
Oiya kabar Archie gimana? Masih koma kah? Kangen sama aksi² Archie yang heroik, Archie dimana kau ❤️