Raya yang baru saja melakukan ujian nasional, mendapatkan musibah saat akan datang ke tempat tinggal temannya. Kesuciannya direnggut oleh pria tak dikenal. Raya memutuskan untuk melaporkannya ke polisi. Bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun ancaman. Tidak hanya sampai di situ saja, dia dinyatakan hamil akibat insiden itu. Lagi-lagi bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun perlakuan buruk yang dia terima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3 Visum
“Loh, Raya? Ayo masuk, kamu pasti lelah,” ucap ibu panti bernama Mirna. Dia melihat wajah Raya yang dipenuhi oleh keringat besar-besar.
Ibu panti lalu melihat ke arah ujung jalan. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di ujung jalan itu. Tidak mau mengambil pusing, Mirna lalu masuk ke dalam panti.
Dokter Bian yang sejak tadi mengikuti Raya, melihat Raya yang memasuki sebuah rumah yang tidak terlalu besar, tidak juga mewah. Halamannya cukup luas dengan aneka tanaman. Dokter Bian lalu mengemudikan mobilnya dengan pelan melewati rumah itu. Sebuah papan bertuliskan RUMAH YATIM PINTU MUARA KASIH, dengan tulisan bercat hitam yang sudah mengelupas dan kusam.
Setelah memastikan rumah itu benar rumah yatim piatu, dokter Bian lalu pergi meninggalkan kawasan itu.
“Bu ....”
“Ada apa, Raya? Apa terjadi sesuatu?”
Raya mengangguk, tapi juga menggeleng. Saat ini dia benar-benar ketakutan. Tangannya saling meremas kuat. Ini baru ibu panti, bagaimana kalau nanti dia ditanya-tanya oleh polisi? Mungkin dia akan mati mendadak tanpa proses serangan jantung lebih dahulu.
“Katakan pada Ibu, ada apa?”
Ibu Mirna yakin pasti sesuatu terjadi pada anak asuhnya itu. Bukan setahun dua tahun dia mengenal Raya, tapi sudah sejak bayi.
“Aku ... Aku ....”
“Ada apa?” Bu Mirna mengusap pelan punggung Raya, lalu kepalanya, berharap dengan begitu akan memberikan ketenangan untuk anak asuhnya itu.
“Aku ... Aku di ... Diperkosa!”
“A ... Apa?”
Air mata Bu Mirna langsung keluar begitu saja. Hancur hatinya mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Raya. Memang bukan anak kandung, tapi dia sangat menyayangi Raya seperti anak sendiri. Sesak di dada, sakit di hati.
“Bagaimana ....”
“Saat itu, aku ingin ke apartemen temanku. Saat aku ingin keluar dari lift, mulutku dibekap dari belakang, dan aku diseret ke tempatnya yang ada di lantai atas, dan ....”
Raya tidak dapat lagi meneruskan kalimatnya. Tidak mau menceritakan secara detail kronologisnya.
“Kapan?”
“Tadi malam. Aku ... Tadi pagi aku ingin melakukan visum, sebagai ... Untuk jaga-jaga jika ... Tapi kata dokter, visum tidak bisa dilakukan tanpa surat pengantar dari kepolisian. Tapi, bukankah itu berarti aku harus melaporkan kejadian memalukan dan menjijikkan ini pada polisi?”
“Tentu saja kita harus melaporkan kejadian ini pada polisi, jangan sampai ada korban lainnya.”
“Tapi, aku malu. Bagaimana kalau aibku diketahui orang-orang? Di kantor polisi, pasti akan banyak wartawan yang mencari berita kriminal, kan?”
Bu Mirna menghela nafas berat. Apa yang dikatakan oleh Raya ada benarnya. Haruskah mereka tetap bungkam untuk menjaga nama baik Raya. Tapi bukankah dengan begitu, mereka menutupi kebenaran? Membiarkan kejahatan merajalela?
“Kita laporkan saja, Raya. Apa pun yang terjadi, ibu akan selalu mendampingi kamu. Kita tidak akan tahu bagaimana hasilnya kalau tidak berusaha lebih dulu.”
Bu Mirna telah memikirkan ini. Tidak perlu lama-lama, karena ini masalah serius yang harus segera ditangani, sebelum terlambat.
Saat itu juga Raya dan Bu Mirna pergi ke kantor polisi.
“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya salah satu polisi.
Bu Mirna segera melaporkan kasus yang menimpa Raya.
“Di mana kejadiannya?”
Raya menyebutkan nama apartemen itu, lantai berapa kejadiannya, dan di unit nomor berapa. Raya juga mengatakan masih menyimpan baju yang tadi malam dia pakai.
Polisi itu diam saja. Dia tentu sangat tahu kalau gedung apartemen itu dihuni oleh para kaum elit.
“Kami akan segera memprosesnya.”
Tiga orang petugas polisi langsung pergi ke gedung apartemen itu. Entah perasaan Raya saja atau tidak, tapi dia merasa kalau beberapa orang polisi menatap ke arah dirinya. Ada yang terlihat malas-malasan. Hatinya mengatakan hal yang tidak baik, meski otak ingin terus berpikir positif.
Tidak membutuhkan waktu lama, ketiga polisi itu tiba di sana. Tentu saja Keanu tidak ada di sana, karena sibuk kuliah. Ya, Keanu masih seorang mahasiswa namun dia juga sudah mulai bekerja di perusahaan.
Polisi mendatangi perusahaan milik keluarga Keanu.
“Tuan, ada tiga orang polisi yang ingin menemui Tuan Keanu,” ucap Bram—sekretaris papanya Keanu.
“Polisi? Ada masalah apa?”
“Saya juga tidak tahu, Tuan.”
Justin langsung menemui ketiga polisi itu.
“Ada apa, kenapa kalian ingin menemui anak saya?”
“Maafkan kamu, Tuan Justin. Anak Anda diduga telah melakukan pelecehan seksual. Untuk itu kami meminta tuan Keanu untuk datang dan dimintai keterangan.”
“Apa? Bagaimana bisa? Anak saya tidak mungkin melakukan hal itu. Pasti perempuan itu berbohong atau sengaja menjebak anak saya!”
“Sebaiknya kita bicarakan di kantor polisi saja.”
Mereka akhirnya datang ke kantor polisi. Keanu langsung dimintai keterangan. Sementara Raya pun dengan didampingi polisi perempuan, pergi untuk melakukan visum.
Justin langsung menghubungi pengacaranya. Jangan sampai masalah ini diketahui publik, meski ada beberapa wartawan di sana.
“Apa pun kebenarannya, jangan sampai Keanu dijebloskan ke penjara! Kalau perlu, singkirkan siapa pun! Ancam atau lakukan apa pun!” perintah Justin.
Di rumah sakit
Raya sedikit menghela nafas lega. Dia takut dokter yang memeriksanya adalah dokter laki-laki, apalagi kalau dokter itu sudah tua. Bukannya apa-apa, Raya masih sangat trauma. Bahkan mengobrol seperti ini dengan dokter di hadapannya saja, Raya sudah gemetaran. Tidak, dia tidak mau membayangkan visum itu dilakukan oleh dokter laki-laki, lebih baik dia mati saja.
Ternyata di sana juga ada dokter Bian. Dokter Bian tidak berkata apa-apa, tapi dia cukup lega Raya mengikuti sarannya.
Mereka memasuki ruangan pemeriksaan. Di sana, ada seorang dokter perempuan yang sudah berumur.
“Halo, saya dokter Ajeng. Siapa nama kamu?”
“Raya.”
Raya terus saja meremas tangannya saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dokter Ajeng.
“Sekarang kita lakukan pemeriksaan fisik, ya.”
Tubuh Raya semakin gemetaran. Dokter Ajeng bisa merasakan itu. Sepertinya Raya juga perlu berkonsultasi dengan psikolog.
“Ja ... Jangan, Dok!”
Raya berusaha mencegah dokter Ajeng yang ingin membuka bajunya.
“Jangan takut. Saya akan memeriksa, tidak akan menyakiti kamu.”
Air mata Raya mengalir. Kejadian tadi malam kembali terlintas di benaknya. Raya mendadak histeris. Dokter Ajeng, dibantu dengan perawat dan polisi perempuan mencoba menenangkan Raya.
Jelas sekali kalau Raya benar-benar trauma. Ini bisa menjadi salah satu rekam medis untuk dijadikan bukti kasus pelecehan ini.
Bu Mirna yang menunggu di luar, sangat cemas mendengar teriakan Raya.
Di kantor polisi
“Tidak ada buktinya!” ucap Keanu. Dalam hati, Keanu mengumpat, tapi juga dia merasa lega karena sudah menghapus CCTV itu. Bukan hanya CCTV di lantai unitnya, tapi juga di lift, dan di lantai dasar saat mereka sama-sama memasuki lift yang sama. Dia tidak menyangka gadis miskin itu cukup berani berurusan dengan dia dan keluarganya. Apa perempuan itu tidak tahu siapa dia dan keluarganya?
Tentu saja Raya dan Bu Mirna tidak tahu siapa mereka.