Sejak kecil, Liliana sudah menaruh hati dan cintanya pada sahabatnya yaitu Andika. Namun, pria itu tak pernah menganggapnya Liliana sebagai cintanya.
Andika memiliki tunangan yang meninggal karena sakit. Ia tak bisa melupakan sang tunangan. Rasa cinta yang besar membuatnya tak bisa berpaling dari wanita manapun.
Rendi, sahabat sekaligus kakak kelasnya mencintai Liliana sejak kecil tanpa pamrih. Ia selalu ada untuk Liliana bahkan saat wanita itu mengalami keterpurukan akibat ulah Andika.
Rendi membawa Liliana menghindar dari Andika dan memulai kehidupan baru di luar negeri. Beberapa tahun kemudian, Liliana membawa gadis kecil yang cantik.
Namun sayangnya, sang anak menderita sakit parah dan membutuhkan darah yang cocok dengan gadis kecil tersebut. Liliana dilema.
Lalu siapa ayah kandung sang anak? Mampukah Liliana menguatkan hati ketika sang anak divonis tak bertahan lama hidup di dunia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monica mey melinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 30 Menikahlah Denganku
“Lili apa kamu masih sibuk, Nak?” tanya bunda di ruang kerjaku.
“Tidak bunda. Ada apa bunda?”
“Li, bunda mau bicara sama kamu sebentar,” kata Bunda duduk di sebelahku.
“Iya bunda. Bicara saja bunda,” jawabku sambil duduk di sebelah bunda.
“Li, kemarin bunda bertemu dengan pak Burhan. Beliau meminta maaf karena sudah menyusahkanmu selama ini. Beliau juga meminta bunda untuk." Bunda tak melanjutkan katanya.
“Untuk apa bunda?” sahutku antusias.
“Bunda tidak yakin apa ini yang terbaik untukmu atau tidak, Sayang. Semua keputusan ada di tanganmu.” Bunda membuatku penasaran.
“Ceritakan saja, Bunda. Lili siap mendengarnya.”
“Li, Pak Burhan meminta kamu untuk menjadi istri Dika. Bunda tahu itu mungkin masih menyakitkan dirimu setelah peristiwa itu.”
Aku tersedak minumanku sendiri. Jadi Tante Lani sudah menceritakan semuanya.
“Kau tidak apa-apa, Sayang?” bunda khawatir sampai menepuk punggungku.
“Iya bunda. Lili baik-baik saja hanya saja Lili terkejut.”
“Bunda tidak bisa menjawabnya karena itu adalah masalah kalian berdua jadi lebih baik kalian yang memutuskan saja. Bunda hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu, Sayang,” kata bunda.
“Lili mengerti, Bunda. Biar Lili bicarakan ini dengan Dika." Aku mencoba jalan tengahnya saja agar bisa menyelesaikan ini semuanya.
“Oh, ya bunda. Hari ini bunda istirahat saja di rumah. Lili yang akan menjaga Mey di rumah sakit,” lanjutku yang tidak ingin melihat Bunda sakit.
“Bunda tidak capek kok, Sayang. Lagipula kau sudah dari kemarin menjaganya. Biarlah sekarang bunda saja.”
“Besok Lili libur, Bunda. Masalah kantor sudah Lili berikan kepada Rena. Jadi bunda istirahat saja ya,” ucapku sambil mengandeng tangan bunda masuk ke dalam kamarnya.
“Ya sudah tapi malam ini jangan menyetir sendiri. Suruh pak Limo yang mengantarkanmu, Sayang,” sahut bunda cemas.
“Ada Rendi yang mengantar Lili, Bunda. Itu di depan dia sudah datang,” tunjukku ke halaman.
“Hati-hati ya di jalan, Sayang.”
Aku tersenyum sambil mengangguk.
“Apa kau yakin akan bermalam di rumah sakit?” tanya Rendi sambil mengemudi.
“Iya. Ini bukan pertama kalinya aku menginap di rumah sakit. Kenapa kau takut aku tidak bisa menangani Mey jika ia kambuh penyakitnya?”
“Bukan seperti itu, Li. Aku hanya mencemaskan kesehatanmu saja. Besok kau harus kerja, bukan?” Nasehat Rendi yang selalu mengingatkanku.
“Tidak apa-apa. Aku sudah bisa membiasakan diri untuk menangani hal seperti ini. Jadi kau tenang saja,” tegasku pada Rendi.
“Jika kau membutuhkanku, telepon saja aku. Aku akan datang,” ucapnya sambil memarkirkan mobil.
“Kau tak usah mengantarkanku ke atas. Ini sudah malam. Kau pulanglah, Ren,” jawabku padanya.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan datang besok pagi. Salam untuk Mey ya."
Aku tersenyum sambil memandangi mobil Rendi yang telah pergi.
****
“Halo sayang. Sedang main apa?” tanyaku saat melihatnya begitu asyik bermain di atas kertas kosong.
“Mey menggambar, Bunda. Ini lihat bunda. Bagus, bukan?” Ia menunjukkannya padaku.
“Siapa saja orang yang ada digambar ini, Sayang?” Sahutku melihat gambarannya yang lucu.
“Ini bunda, Ayah Dika dan ayah Rendi.” Tunjuknya satu persatu.
“Yang mana, Mey?” Aku tak melihat gambarnya di sana.
“Ini bunda." Tunjuknya pada bidadari kecil.
“Kenapa Mey menjadi bidadari? Seharusnya Mey ada di samping bunda?”
“Karena Mey ingin menjadi bidadari yang selalu menjaga bunda,” jawabnya polos.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar ocehannya.
“Bunda, tadi ada ayah Dika datang ke sini tapi sudah pulang,” ucapnya sambil tidur di pangkuanku.
“Tidak kok. Ayah Dika ada di kantin, Sayang. Memang Mey mau apa sama ayah Dika?”
“Mey ingin jalan-jalan, Bunda.”
“Mau jalan-jalan ke mana, Sayang?”
“Keliling kota saja naik mobil. Boleh ya bunda? Karena kata ayah Dika harus minta ijin dulu sama bunda,” pintanya manja.
“Iya sudah. Besok Mey boleh jalan-jalan sama ayah Dika tapi sebentar ya,” ucapku membelai rambutnya yang sudah mulai rontok.
Mey tertidur di pangkuanku. Aku menyanyikan lagu nina bobo untuknya tanpa kusadari Dika sudah ada di hadapanku.
“Li, kau sudah makan?” tanyanya.
“Aku sudah makan di rumah tadi,” kataku pelan agar tidak membangunkan Mey yang pulas.
“Lebih baik kita keluar biar Mey istirahat,” bisik Dika.
Aku segera merebahkan tubuhnya ke tempat tidur dan mencium keningnya.
****
Di sepanjang perjalanan kami menuju kantin rumah sakit, kami kami hanya terdiam tanpa ada suara hanya langkah kami saja yang terdengar. Dika mengenggam tanganku erat tapi tak kulepaskan.
“Li, tidak seharusnya aku mengatakan ini padamu tapi aku ingin kau mengetahuinya,” kata Dika saat tiba di kantin.
“Apa yang mau kau bicarakan, Dika?”
“Li, aku ingin kita bersama seperti dulu lagi dan memulainya dari awal lagi.”
“Mengapa kau tiba-tiba berkata seperti itu? Apa maksud ini semua?”
“Aku ingin menikahimu, Li,” ucapnya tenang tanpa melepaskan pandangannya dariku.
“Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu, Dika?” Andai Dika mengatakan itu sejak dulu.
“Memangnya mengapa, Li? Apa kau takut?” tanya Andika.
“Iya aku memang takut kalau itu bukanlah ungkapan jujur darimu, Dika. Aku mengenal siapa dirimu.”
Aku takut Andika menikahiku karena adanya Mey, bentuk dari rasa bersalah dan tanggung jawabnya.
“Berilah aku kesempatan untuk bisa menerimamu, Li dan melupakannya dari hatiku selamanya. Bantulah aku.” Andika berusaha menyakinkanku meski aku tak yakin.
“Seringkali aku telah memberikan kesempatan padamu, Dika tapi kau tak mau berubah. Aku sudah lelah menghadapi dirimu,” tegasku yang tak mau lagi dipermainkan.
“Aku juga tak mau kau menikahiku karena sebuah alasan, Dika. Aku mau kau mencintai diriku dari hatimu,” lanjutku.
“Tidak ada alasan apapun, Li. Aku mulai bisa membuka hatiku walau kuakui itu terlalu sulit untuk aku melakukannya tapi aku yakin kau mampu membuatku berubah.” Andika berkata dengan tegas.
“Aku ... dulu aku ingin membuatmu berubah tapi aku tak bisa mengubahmu, Dika. Aku juga tidak tahu apa sekarang aku bisa mengubahmu seperti yang dulu lagi?” Aku mencurahkan keluh kesahku selama ini.
“Li, aku tahu aku tidak bisa menjadi Dika yang dulu tapi aku akan berusaha menjadi orang yang bisa membuka hatinya untuk orang lain dan pilihan hatiku jatuh kepadamu, Li. Kau yang paling mengerti siapa aku?”
“Mengapa hanya aku yang harus mengerti dirimu, Dika? Kau terlalu egois. Kau hanya menginginkan aku yang mengerti drimu tapi mengapa kau tak bisa melakukan hal itu untukku?” Entah kenapa aku malah menangis.
“Karena aku tak mau kehilangan dirimu lagi, Li. Aku sudah lelah mencarimu selama bertahun-tahun ini,” ucapnya memelukku dari belakang.
“Kehilangan diriku sebagai sahabatmu atau kehilangan diriku sebagai orang yang kau cintai?” tanyaku melangkah pergi.
“Aku tahu kau hanya kehilangan diriku sebagai sahabat saja, bukan?” ucapku pedih.
“Aku mencintaimu, Li. Bukan sebagai sahabat tapi lebih dari itu!” teriaknya di lorong rumah sakit.
“Kalau begitu. Buktikanlah padaku bahwa kau benar mencintaiku, Dika,” kataku dengan lantang.
“Aku akan membuktikannya padamu bahwa aku mulai bisa menerimamu bukan sebagai sahabatku!” tegasnya.
*****
Hari ini Mey dan Dika akan mengelilingi kota bersama. Betapa bahagianya putri kecilku hari ini. Ia sungguh cantik mengenakan setelan baju berwarna biru tua.
“Bunda, mengapa tidak ikut sih?” Ia jengkel padaku.
“Bunda ada rapat, Sayang. Masih ada Yoga dan Laras, bukan yang ikut?”
“Iya tapi tidak seru tidak ada bunda." Mey berkata dengan cemberutnya.
“Maafkan bunda, ya. Bunda janji nanti kalau bunda tidak repot pasti bunda ajak Mey jalan-jalan lagi." Aku berjanji padanya.
“Apa sudah siap anak ayah yang cantik ini?” Tiba-tiba saja Dika datang dan mengenakan baju yang tak lama ia pakai. Kaos berwarna biru dan bertulisan “Sahabat”.
“Dika, kenapa kau pakai baju seperti itu?” tanya Rere di sampingku. Tatapan Rere begitu heran.
“Memangnya kenapa? Ada yang salahkah?” Andika menyahut enteng.
“Iya tidak ada yang salah sih tapi aneh saja. Bukannya itu bajumu waktu kamu SMA?” Rere heran.
“Aku rindu masa waktu kita SMA dulu,” sahutnya sambil mengedipkan mata padaku.
“Ayo kita berangkat, Sayang!” Serunya pada anak-anak.
“Dah .... dah .... bunda. Tante Rere," pamit Mey bersuka ria sambil melambaikan tangannya.
“Tolong kau jaga mereka, Dika,” pintaku untuk menjaga mereka.
“Tenang saja. Pasti kujaga mereka,” ucapnya sambil mengelus rambutku.
Aku melihatnya pergi bersama anak-anak.
“Apa kau merasa tidak aneh dengan Dika?” tanya Rere heran.
“Memangnya ada apa dengan dia?” Aku melihat Rere yang melontarkan pertanyaan aneh.
“Dika sepertinya kembali seperti dulu deh. Ia bahkan mengelus rambutmu sama seperti yang dulu kalau ia hendak pamit padamu.”
“Entahlah, Re. Mungkin ia sudah berubah,” kataku pelan.
“Iya sudah aku pamit dulu, ya. Jonas menungguku di ruangannya.” Rere melambaikan tangannya.
Aku hanya tersenyum melihat keromantisan Rere dan Jonas yang mereka perlihatkan. Terkadang aku iri dengan mereka dan ingin merasakan hal yang sama. Namun, apakah aku bisa?
\=Bersambung\=