Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan, Nadia,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika suatu hari nanti kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?”
“Tidak akan mungkin itu terjadi.”
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya berdasarkan pada kebutuhan ranjang semata? Akankah cinta bersemi diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Pilihan Yang Menjebak
Pilihan Yang Menjebak
“Pilihan macam apa itu. Kenapa pilihannya sulit sekali. Bapak mau menjebak saya ya?” Nadia merasa tidak terima diberi pilihan yang mana kedua pilihan merugikan dirinya. Namun sebaliknya, menguntungkan bagi Yudha.
“Justru aku yang terjebak di sini. Aku harus bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak pernah aku lakukan. Aku bahkan dituduh sudah berbuat hal yang tidak senonoh. Apa kamu pikir aku tidak rugi? ”
“Makanya batalkan saja pernikahan ini, Pak. Kita tidak melakukan apa-apa, kenapa kita harus menikah?”
“Memangnya kamu mau dipenjara?”
Nadia terdiam. Menatap mata Yudha dengan seksama. Ia merasa terjebak oleh keadaan. Tinggal di penjara, tentu saja ia tidak mau. Dipecat dari pekerjaannya, pun ia tidak berharap hal itu terjadi. Lantas apa yang harus ia lakukan sekarang?
“Lagipula, ada banyak keuntungan yang bisa kamu dapatkan jika kamu menikah denganku. Coba kamu pikirkan,” kata Yudha.
Nadia mengalihkan pandangannya sejenak, memikirkan keuntungan apa saja yang bisa diambil dari pernikahan ini. Rasanya tidak ada satu apapun yang bisa menguntungkan baginya selain statusnya yang akan menjadi istri bos.
Namun, kebebasan dan haknya juga akan dirampas secara paksa. Lalu apakah ia juga harus melayani pria itu selayaknya suami istri?
Oh, tidak!
Nadia menggeleng. Ia tidak akan mau melakukan hal yang satu itu.
“Kalau saya memilih pilihan yang pertama, gimana?” tanyanya kemudian, menoleh kembali pada Yudha.
“Maka silahkan kamu tinggalkan pekerjaan kamu tanpa digaji sepeserpun. Dan bisa aku pastikan, kamu tidak akan diterima bekerja di tempat manapun juga.”
Mengerikan!
Nadia sampai bergidik ngeri mendengarnya. Memang apa kesalahannya sampai-sampai resiko yang harus ia tanggung seberat ini?
“Mana bisa begitu, Pak? Saya sudah bekerja walaupun belum sampai sebulan, saya tetap berhak digaji. Bapak kenapa malah curang sih, Pak. Saya kan tidak salah?” protes Nadia, merasa tak terima dirugikan secara sepihak.
“Siapa bilang kamu tidak salah?”
Nadia tersentak, menaikkan kedua alisnya tak percaya. Tipu daya apa lagi yang akan dilakukan atasannya ini?
“Memangnya apa salah saya?” tanya Nadia.
“Salah kamu adalah kamu sudah merusak nama baikku. Aku sudah dianggap cabul karena dirimu. Dan aku tidak terima itu.”
“Loh, bukannya Bapak sendiri yang datang ke tempat saya? Kenapa malah jadi saya yang salah?”
“Intinya, kita berdua sudah buruk di mata orang-orang. Lagipula siapa yang bisa menjamin kamu tidak berbuat macam-macam padaku saat aku tidur.”
Nadia terlonjak kaget, tak percaya pria yang satu ini malah menuduhnya sembarangan.
“Saya macam-macamin Bapak?”
Yudha mengangguk. Dalam hati ia tertawa melihat reaksi terkejut Nadia yang terlihat menggemaskan di matanya. Padahal baru semalam ia merasakan sakit yang luar biasa mendalam. Namun pagi ini hatinya terhibur dengan tingkah Nadia. Ia tak menyangka, mengerjai gadis ini ternyata semenyenangkan ini rasanya.
“Pak, asal Bapak tahu, biarpun saya jelek begini, saya juga punya tipe, Pak. Tipe saya itu Lee Min Ho. Mana mungkin saya macam-macamin Bapak.” Meniupkan napasnya kesal, Nadia lantas membuang pandangan.
“Itu katamu. Memangnya ada yang melihat kalau kamu tidak berbuat apa-apa padaku?”
Nadia semakin kesal dibuatnya. Tangannya bahkan sudah terangkat ingin menjitak kepala Yudha. Namu urung karena teringat posisinya yang hanya seorang bawahan. Ia lantas menyengir lebar lantaran mendapat tatapan dari Yudha.
“Cerewet juga Bapak-Bapak yang satu ini,” keluh Nadia dalam hati. Ia bahkan masih belum bisa percaya dengan nasibnya kini, nasib seorang bawahan yang malang.
“Sekarang coba kamu pikirkan pilihan yang ke dua. Kalau kamu menikah denganku, tidak hanya nama baikmu yang terselamatkan, tapi juga kamu masih bisa bekerja dengan gaji full. Kamu tidak dipecat, dan nama baikku juga terselamatkan. Pantang bagiku disebut laki-laki yang tidak bertanggung jawab,” kata Yudha.
Nadia diam. Isi kepalanya bercabang-cabang, mulai dari memikirkan resiko serta kerugian yang akan ia alami jika menikah dengan Yudha. Sekaligus memikirkan keuntungan yang akan ia dapatkan jika menikah dengan pria itu, seorang Dirut King and Queen Hotel. Bukankah ia bisa memanfaatkan statusnya nanti untuk membalaskan hatinya pada seseorang?
Senyuman miring pun terukir di bibir Nadia. Wajah Bastian dan Yudha mendadak terbayang-bayang dalam benaknya.
“Apa yang kamu pikirkan? Kenapa senyum-senyum begitu?” selidik Yudha.
“Tidak ada. Saya hanya sedang mempertimbangkan pilihan yang ke dua.”
“Bagus. Dan perlu kamu ingat juga, tidak ada kesempatan kedua. Sekali kamu memilih, ada konsekuensi dibalik itu yang harus kamu terima. Maka dari itu, pertimbangkan baik-baik. Dipecat dan masuk penjara, atau menikah dengan_”
“Oke, oke, oke. Tidak perlu diulang-ulang begitu. Saya juga tahu kok apa konsekuensinya. Ya sudah, kalau begitu saya pilih yang ke dua,” sela Nadia cepat, dengan mantap menentukan pilihannya.
Yudha pun tersenyum senang, tapi hanya dalam hati. Tidak mungkin ia menunjukkan wajah senangnya pada Nadia. Yang ada gadis itu akan mencurigainya dan menuduhnya yang bukan-bukan.
****
Sementara di lain tempat, Maura mondar-mandir di ruang keluarga menunggu seseorang yang tiba-tiba saja menghilang dari rumah. Ponselnya bahkan tidak bisa dihubungi sampai sekarang.
Sepulangnya dari apartemen Rizal, Maura tidak mendapati Yudha berada di dalam kamarnya. Ia sudah bertanya pada asisten rumah tangga, tukang kebun, bahkan satpam di rumahnya. Tetapi tidak satu pun dari mereka yang melihat Yudha sejak terakhir pulang semalam.
Maura didera gelisah, memikirkan apa yang terjadi dan di mana Yudha berada. Padahal setahunya, Yudha sedang mabuk berat, lalu ke mana pria itu bisa pergi dalam keadaan mabuk?
“Zal, kamu tahu Yudha ada di mana?” Tidak ada orang lain, Maura pun akhirnya menghubungi Rizal. Karena mungkin saja Rizal tahu ke mana suaminya itu pergi. Sejak dulu hanya Rizal tempat suaminya bertukar pikiran.
“Mana aku tahu, Ra. Bukannya dia sudah pulang semalam. Memangnya kenapa?” Suara Rizal terdengar khawatir di ujung telepon.
“Dia tidak ada di rumah dari semalam, Zal. Aku pikir kamu tahu dia ada di mana.”
“Aku tidak tahu, Ra. Memangnya dia tidak bilang sama kamu dia ke mana? ”
“Kalau iya, kenapa aku harus tanya kamu?”
“Kalian bertengkar semalam?”
“Tidak.”
“Kamu kan istrinya. Harusnya kamu tahu dia ke mana. Di hotel mungkin?”
“Dia tidak di sana, Zal. Aku sudah tanya Lisa, sekretarisnya.”
Tidak terdengar lagi tanggapan Rizal, hanya helaan napasnya yang memenuhi pendengaran Maura.
“Semalam dia mabuk, Zal. Mana mungkin dia pergi dalam keadaan ma_”
“Selamat pagi, Bu Maura.”
Percakapan Maura terpotong. Ia menoleh pada Jerry yang berdiri di seberang dengan sebuah map di tangannya. Ia lantas mengakhiri percakapannya itu. Lalu mempersilahkan Jerry duduk.
“Kamu pasti tahu di mana Yudha berada,” kata Maura. Sejak tadi ia didera gelisah sampai ia melupakan si asisten yang satu ini.
“Pak Yudha sekarang sedang berada di luar kota, Bu. Ada pemeriksaan mendadak pada Hotel cabang,” kilah Jerry. Kedatangannya pagi-pagi ini atas perintah Yudha untuk sesuatu yang diperlukan atasannya itu.
“Loh, kenapa dia tidak memberitahuku? Setidaknya pamitan dulu. Dari semalam henfonnya bahkan tidak bisa dihubungi.”
“Pak Yudha lupa membawa charger, Bu.”
“Kan bisa dibeli. Atasanmu itu bukan orang yang kekurangan uang.”
“Kata Pak Yudha nanti. Beliau sedang ada rapat sekarang.” Ada saja alasan Jerry demi menyembunyikan di mana Yudha berada. Sebelumnya Yudha sudah berpesan agar jangan sampai Maura tahu keberadaanya dan apa yang akan dia lakukan. Yudha bahkan memintanya untuk memesan kebaya pengantin.
“Terus kenapa kamu malah di sini? Kenapa kamu tidak ikut?”
“Justru saya ke sini atas perintah Pak Yudha. Beliau membutuhkan tanda tangan Bu Maura segera.”
“Tanda tanganku. Untuk apa?”
-To Be Continued-
tapi gpp sih kalo ketauan... biar tau rasa tuh si Maura