Keturunan Terakhir, mengisahkan perjalanan ke lima remaja dalam mengabdi di suatu yayasan yang menyimpan misteri. Tazkia, si gadis dengan kemampuan istimewanya, kali ini ia berjuang melawan takdirnya sendiri, menjadi keturunan terakhir yang akan jadi penentu untuk anak turunnya. Dia harus mendapatkan cinta sejati. Namun, disisi lain ia tak ingin mengorbankan persahabatannya. Lantas bagaimana Kia menyikapi antara cinta dan sahabat?
Kisah ini adalah kisah lanjutan dari novel sebelumnya, berjudul TEROR BAYI BAJANG. Jika kalian bingung bacanya, disarankan baca novel pertamanya dulu ya. Happy reading yeorobun. 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh
Angin berhembus pelan di atas kuncup-kuncup mawar yang mulai merekah, harum aromanya semerbak mewangi. Selendang sutra saksi cinta berkibar, menampilkan sosok wanita dengan wajah indah berseri. Senyum bak secawan madu, yang disuguhkan pada sang pangeran yang datang bertandang, menyentuh jiwa yang gersang. Tahukah kalian apa yang akan terjadi?
“Kuch kuch hota hai….” nyanyian lirih seorang gadis yang tengah sibuk menari-nari dengan hijabnya yang berkibar oleh angin, semburat merah jambu di kedua belah pipinya menjelaskan suasana hati wanita yang sedang kasmaran itu.
“Woy Shella…ngapain sih?”
“Astaga, Husin! bikin kaget aja. Untung aku nggak jantungan.”
“Lagian, kamu nari-nari gak jelas, menghayal jadi Kajol kamu?”
Shella tertawa-tawa lirih, sebenarnya ia cukup malu kepergok Husin saat sedang berkhayal menari bersama Evan di tengah taman bunga. Namun, bukan Shella namanya kalau tak tebal muka. “Ada apa? ganggu aja kamu.”
“Kia mana?”
“Ada tuh di kamar, ngapain cari Kia? mau php lagi?”
Husin mengernyit, tak mengerti dengan maksud ucapan gadis berkacamata itu. “Dicari kak Nia,” jawabnya.
“Hah?! ada kak Nia? dimana Husin? astaga, ya Allah… aku sudah rindu sekali sama kakakku.”
“Di masjid, datanglah kalian berdua, kak Nia menunggu.”
“Baiklah.”
.
Sudah hampir dua minggu lamanya Kia tak berjumpa dengan Nia. Wanita yang menjadi panutannya selama ini, tentu saja pertemuan mereka kali ini benar-benar berkesan di hati keduanya.
“Aku nggak nyangka, baru berapa hari disini kamu sudah bantu mengungkap misteri Kia, kamu memang di takdir dapat membantu orang lain dengan kemampuanmu. Ingat, jangan pernah menyesal, justru gunakan sebaik mungkin apa yang kamu bisa.”
Kia tersenyum, ucapan Nia ada benarnya. Daripada sibuk menyesali takdir bukankah lebih baik fokus menjadikan takdir itu sebagai sarana kebajikan dalam hidup?
"Itu juga berkat teman-teman yang membantu Kak, bukan murni usahaku sendiri," jawab Kia merendah. Shella tersenyum riang menyimak percakapan keduanya.
“Ngomong-ngomong kamu jadi lebih pendiam Kia, kamu sehat-sehat saja kan?”
Kia mengangguk mantap, ia tak sengaja melihat Husin yang berusaha mencuri dengar percakapan mereka, lelaki itu tengah bermain dengan keponakannya di serambi masjid. Tak jauh dari tempatnya ada Dewa yang tengah berbincang dengan para satpam.
“Kamu tak tanya kabarku?” Nia kembali mengajukan pertanyaan.
“Aku sudah tahu,” jawab Kia seraya menunjuk telapak tangannya.
“Ah kamu curang.” Keduanya tertawa bersama. Seperti biasa Shella yang cerewet banyak bercerita tentang kehidupan mereka selama berada di tempat baru, hingga tiba-tiba saja Husin datang mendekat seraya protes.
"Adiknya Kakak nih sebenarnya siapa sih? Kenapa malah sama mereka, dan aku cuma disuruh momong nih bocil," ujarnya.
"Itu memang tugasnya Om, Husin. Aku juga selalunya kayak gitu kalau lagi ke rumah kakakku," jawab Shella. Kia berpura-pura sibuk dengan beberapa mainan baby R saat Husin mendekat, hal itu tentu tak luput dari perhatian Nia.
"Kalian, bertengkar?"
"Siapa Kak?" tanya Kia.
"Kalian berdua, nggak biasanya kalian adem ayem kayak gini, biasanya kan kalau kumpul gini udah kayak kucing dan tikus." Nia menunjuk keduanya. Shella berusaha keras menutup mulut, meski rasanya gatal ingin mengadu.
"Nggak kok Kak, ya kan Husin?" Kia berkedip-kedip. Husin diam tak menjawab, hanya anggukan kepala yang mewakili jawabannya.
"Baiklah, Husin...baik-baiklah pada Kia."
"Kenapa cuma aku? Kia dong yang harus baik padaku," protesnya kemudian. Wajah Kia berubah masam tatkala mendengar jawaban dari Husin itu. Dan itu sudah cukup membuat Nia mengerti jika keduanya tengah berdusta.
***
“Ki, kamu tadi sadar nggak lelaki botak yang duduk di pos jaga, dia terus saja melihat ke arah kita. Siapa orang itu? apa mungkin satpam baru?” Shella dalam perjalanan kembali ke asrama, Nia baru saja pulang.
“Ki, ih diajak bicara juga ngelamun aja,” protes Shella manakala Kia tak memberikan respon atas ucapannya. “Kamu mikirin apa sih?”
“Aku masih heran Shel, kenapa tak bisa melihat masa lalu Husin. Sedangkan dengan Kak Nia, bahkan ustadzah Aisyah pun bisa.”
“Hmm, itu aneh sih. Dan aku tak bisa membantumu untuk masalah satu ini. Udah yuk, kita tidur aja. Sudah siang aku ngantuk banget.” Shella menarik tangan sahabatnya itu, mereka berdua pun masuk ke dalam kamar untuk tidur siang.
.
Asap tebal menyebar di setiap jalan, menghalangi pandangan Kia pada daerah sekitar. Butuh beberapa saat hingga ia sadar tengah berada di kebun samping lapangan bola.
Ia melihat seorang lelaki dengan tubuh terikat pada sebuah pohon jati, di sampingnya seekor ular raksasa menjulurkan lidahnya. Kia baru menyadari bahwa lelaki itu adalah Warmin, yang tengah pingsan. Dan tali yang mengikat tubuhnya adalah ekor sang ular.
Kia bersembunyi di balik semak, ia merasa kasihan melihat keadaan Warmin yang begitu mengenaskan. Sekujur kulit tubuhnya membiru, mungkin efek tekanan ekor ular membuat aliran darahnya terhenti.
Sungguh pemandangan mengerikan di depan mata, Kia berjalan mundur hendak mencari pertolongan. Namun, naas kakinya menginjak ranting pohon dan ular itu berbalik badan menatapnya.
Kia terkejut, berusaha melarikan diri meski harus jatuh bangun di tengah tanah lapang. Suasana yayasan Uswatun Hasanah sangat sepi, seolah tak ada satupun manusia di sana kecuali dirinya.
Hendak meminta tolong, tapi mulut seakan terkunci. Berteriak pun hanya angin yang keluar dari bibir kecilnya, Kia menangis hebat. Ular itu meliuk-liuk di belakangnya, lidahnya yang panjang dengan suaranya yang mendesis keras.
“Aaah aaahh… “
“Ki, Kia! bangun Ki… Hey, kamu mimpi apa sampai kayak gini, Kia bangun!” Shella mengguncang tubuhnya berkali-kali, hingga Kia terbangun dengan peluh bercucuran di keningnya.
Rupanya malam pun tiba, dan Shella sengaja tak membangunkannya sebab tahu Kia tengah datang bulan. “Jam berapa ini? Kenapa tak membangunkanku Shel?”
“Badanmu demam, kamu juga tidak sholat kan. Jadi, aku pikir kamu bisa beristirahat. Tapi, kamu mimpi apa Kia?”
Bibir Kia terkunci rapat, mimpi yang sangat mengerikan. Namun, saat itu juga ia kembali mendapat bisikan.
DATANGLAH KE KEBUN SAMPING LAPANGAN.
🏃🏃🏃🏃🏃