Bukan ingin Elea terlahir dari rahim seorang istri siri yang dicap sebagai pelakor, sejak sang ibu meninggal, Eleanor tinggal bersama ayah kandung dan istri sah sang ayah.
Sejak kecil ia tak merasakan kasih sayang dari ayah kandungnya, tinggal di rumah mewah membuatnya merasa hampa dan kesepian. Bahkan dia dipekerjakan sebagai pelayan, semua orang memusuhinya, dan membencinya tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Elea selalu diberikan pekerjaan yang berat, juga menggantikan pekerjaan pelayan lain.
"Ini takdirku, aku harus menerimanya, dan aku percaya bahwa suatu saat nanti Ayah bisa menyayangiku." Doa Elea penuh harap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.30
Adrian menatap Tiana yang tengah berpikir, tadi saat dia akan keluar suara Tiana mampu membuatnya kembali masuk keruangan.
Tiana memandang Mala dalam diam. Seolah mereka berbicara lewat hati, Adrian sendiri dia mengabaikan pesan Briana.
"Maafkan aku, Bri." Ucap Adrian dalam hati, dia menghela nafas dengan pelan.
"Akan aku pikirkan lalu menghubungimu. Berikan nomor ponselmu." Tiana mengulurkan tangannya, agar Adrian memberikan ponselnya.
Adrian pun terpaksa memberikan ponselnya.
"Siapa namamu?" tanya Tiana, tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Adrian." Jujurnya, lebih baik dia jujur saja soal nama.
"Oke, aku udah save nomorku. Namaku, Tiana." Kata Tiana, menyerahkan ponsel mahal Adrian. Dirinya saja masih yang lama.
"Baik, aku permisi." Adrian pergi tanpa pamit pada mereka berdua.
Setelah Adrian tidak terlihat, Tiana memandang Mala.
"Dia siapa sih, Ma?"
"Mama gak tahu, yang pasti ini adalah kesempatan buat kamu mendapatkan Bara." Ujar Mala, membuat Tiana sangat antusias untuk segera mendapatkan Bara.
Jadi Mala tidak perlu repot-repot, menemui anak suaminya dari wanita lain.
****
Elea menatap jam di ponselnya, menunjukan pukul sepuluh. Terasa sangat lama baginya, karena tidak melakukan apapun.
"Aku keruangan, Papa. Dulu yah!" izin Elea, Bara langsung menghentikan ketikannya.
"Boleh, tapi jangan lama-lama yah!" ujar Bara.
"Iya, jam makan siang aku kembali." Elea tersenyum manis kepada Bara.
Bara menatap Elea yang sudah keluar, beruntung pekerjaannya tidak terlalu sibuk sebagai asisten pribadi Bima. Karena sekretaris Bima sudah menghandle semuanya.
"Bara, aku mohon datang malam ini." Notifikasi masuk ke dalam aplikasi hijau miliknya, siapa lagi kalau bukan Tiana. Gadis tersebut pantang menyerah dalam membujuknya, jika tidak dituruti maka dia akan mengganggu seharian.
"Astaga, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan?" Gumam Bara, mengacak rambutnya dengan frustasi.
Bara menyembunyikan wajahnya di atas meja, berbantalkan tangannya yang dilipat. Hingga dia memiliki ide yang akan mempertahankan pernikahannya dengan Elea.
"Baiklah, akan aku lakukan. Semua demi rumah tanggaku, kesempatan dan kepercayaan Elea." Gumam Bara dalam hati.
Dia dengan cepat membereskan pekerjaannya, karena ingin segera pulang. Sementara itu, Elea sedang duduk di ruangan Bima. Betapa bahagianya Bima saat anak yang selama ini dia sia-siakan, datang sendiri di hadapannya tanpa diminta.
"Papa senang, kamu mau main keruangan Papa. Lain kali, kita berdua jalan bareng kamu mau, Nak?" tanya Bima penuh harap.
Elea yang melihat binar dimata Bima, merasa tidak tega untuk menolak. Hingga pada akhirnya dia mengiyakan keinginan Bima, untuk kencan berdua.
"Terima kasih Elea, kamu memang baik seperti Ibumu. Sayang aku terlalu egois menyia nyiakan perempuan sebaik kalian berdua." Tutur Bima, dia menatap kosong ke depan. Ingin rasanya dia memutar kembali waktu, dimana dia dan Mina bahagia dalam hal apa pun.
"Sudahlah, Pa. Semua sudah berlalu, aku yakin Ibu akan memaafkan Papa." Ucap Elea.
"Semoga saja, minggu besok kita ziarah ke makam. Ibumu, kamu mau yah?" tanya Bima.
"Iya Pa, aku sudah lama gak lihat Ibu." Balas Elea, mereka pun berbincang sebentar sebelum jam makan siang.
***
Briana menatap Adrian yang melamun di pinggir kolam, sudah beberapa hari ini adiknya itu menginap di kediamannya.
"Ada masalah?" tanya Briana.
"Nggak, lagi ingin sendiri saja." Jawab Adrian, terkadang dia menyesali tawaran gilanya pada Tiana. Tapi, perasaannya pada Elea semakin menggebu dan menggila.
"Jangan bilang, kamu belum move-on?" tebak Briana. Namun, Adrian hanya mendesah dengan sepenuh dada.
"Move-on? Aku gak bisa move-on, kak. Aku..." Adrian memejamkan mata.
"Aku sungguh mencintai Elea, kenapa harus Bara, yang bertemu lebih dulu dengan Elea." Lirih Adrian, menatap Briana.
"Adrian, kaka harap kamu bisa membuang perasaan itu secepatnya. Agar tidak menjadi masalah kedepannya, jika kamu sudah menikah." Jelas Briana. "Selesaikan masa lalumu, sembuhkan saja lukamu. Santai saja, kamu masih muda kakak gak buru-buru kamu buat nikah cepat kok."
Briana menatap adiknya yang hanya melamun, dia tahu dan dia sangat salah menuntut Adrian terus menikah. Bukan tanpa alasan, itu semua Briana lakukan karena amanat Ibunya yang ingin melihat Adrian menikah secepatnya. Namun, takdir berkata lain. Ibu mereka malah lebih dulu menghadap sang pencipta.
"Maafkan, Kakak. Adrian," ucap Briana, menepuk pundak adiknya.
"Selesaikan dulu perasaanmu, yang belum usai. Adrian." Lanjut Briana, meninggalkan adiknya sendiri.
Adrian menghembuskan nafasnya dengan kasar, ingin rasanya melupakan Tiana. Tapi sulit rasanya.
****
Tidak terasa jam pulang kantor sudah tiba, Elea dengan antusias membantu Bara membereskan barang-barangnya agar rapi.
"Sayang sudah, biar aku aja." Tolak Bara, saat sibuk depan meja yang nampak berantakan.
"Gak apa-apa, dari tadi aku hanya diam disini." Protes Elea.
"Sayang," panggil Bara.
"Ada apa?" tanya Elea, tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Ayo kita bertemu Tiana," cetus Bara, membuat tangan Elea berhenti dan menatap Bara.
"Tiana?"
Bersambung...
Maaf typo
