Bumirang Tunggak Jagad terlahir dengan menanggung kutukan karmaphala yang turun temurun diwariskan oleh leluhurnya. Di sisi lain, dia juga dianugerahi keistimewaan untuk bisa menghapus karmaphala tersebut karena terlahir dari satu-satunya keturunan perempuan. Dia juga dianugerahi wahyu agung oleh semesta karena pengorbanan kedua orang tuanya.
Dia harus mengembara sambil menjalani berbagai macam tirakad serta melakukan banyak kebajikan sebagai upaya untuk menghapus karmaphala bawaan tersebut. Pemuda itu pun disinyalir sebagai utusan semesta yang akan meruntuhkan sang penguasa lalim.
Akan tetapi, musuh yang harus dia hadapi tidak hanya sang raja lalim beserta para pengikutnya, tetapi juga dirinya sendiri. Dirinya yang penuh amarah, Baskara Pati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SRIKANTI JADI PERMAISURI
Ketika mereka sampai di pemukiman penduduk yang sangat ramai dan sibuk, fase paripurna telah sepenuhnya beralih ke fase pudar. Siang itu matahari belum bergeser dari puncak, teriknya pun serasa memanggang, tetapi orang-orang yang memadati jalan area perniagaan di pusat kota ini seperti tidak peduli. Di antaranya cukup banyak kalangan bangsawan tampak mencolok dengan ageman mereka yang berkilau mewah, berjalan angkuh diiringi oleh beberapa pengawal. Ada juga yang mengendarai kuda atau kereta kuda, melintas seperti membelah arus air, membuat orang-orang otomatis menyingkir ke tepi.
Sudah berjalan tanpa istirahat selama fase bulan penuh karena tuntutan tirakad yang Bumirang lakoni (lakukan/jalani), Kamandaka dan Kidung Kahuripan yang setia mendampingi pemuda berambut panjang dikucir ekor kuda itu pun berhak mendapatkan hadiah. Bumirang bermaksud sedikit memanjakan kedua teman seperjalanannya itu dengan mengajak mereka mampir ke sebuah kedai makan.
Mereka berjalan membaur dengan banyak orang, selagi Bumirang dan Kamandaka bercengkerama dengan suara rendah, Kidung Kahuripan melangkah sedikit lebih cepat sambil mengedar pandangan ke segala arah dan kerap derdecak kagum.
"Ada yang aneh. Apa kamu merasakannya?" Kamandaka bertanya dengan suara rendah hanya sekadar untuk basa-basi, karena sebenarnya sudah menduga bahwa Bumirang pasti juga bisa merasakan apa yang dirasakannya.
"Hmm. Padahal ini bukan ibu kota, kan?"
Tidak salah jika ada nada ragu dalam ucapan Bumirang. Suasana hiruk-pikuk ini sangat cocok dengan yang Eyang Pamekas perincikan sebagai suasana yang hanya akan terjadi di ibu kota. Namun, dalam Peta yang dibuat sendiri oleh Eyang Pamekas menunjukkan bahwa ibu kota letaknya berada setelah Gunung Ndapan. Fakta itu sempat membuatnya berpikir jangan-jangan dia telah salah memilih rute terbalik, tetapi sesaat kemudian pemikiran itu terbantahkan.
Untuk bisa sampai di Gunung Ndapan, baik dari rute mana pun, dia tetap harus melewati satu wilayah perairan cukup luas. Wilayah perairan itu akan menjadi rintangan terakhir yang harus ditaklukan sebelum akhirnya bisa menginjak alam gaib kekuasaan Nyai Puspa. Jadi, tempat ini sudah pasti bukan ibu kota.
"Bukan." Kamandaka menyuarakan jawaban yang sama dengan yang Bumirang pikirkan. "Tapi aku melihat cukup banyak para punggawa kerajaan berkeliaran di sini," tambahnya dengan suara yang semakin rendah, sembari sedikit memiringkan kepala pada Bumirang.
Di saat yang sama terdengar suara kasak-kusuk dari arah belakang mereka, disuarakan oleh beberapa orang laki-laki berpakaian rakyat biasa, celana komprang sebatas betis, baju surjan berbahan kasar, di bagian kepala ada yang menggunakan udeng juga ada yang hanya menggunakan kain diikat begitu saja.
"Benar-benar pemimpin durjana, tidak punya hati, mengirim semua selir ke rumah pelacuran setelah mengangkat permaisuri baru."
"Nyai Dasih kan dulu katanya juga bekas selir gusti prabu."
Nyai Dasih adalah perempuan pemilik tempat pelacuran yang sekaligus bertindak sebagai germo.
"Yang aku dengar bukan begitu. Nyai Dasih itu putri sepasang cenayang yang sekarang menggantikan Nyai Rumpang sebagai tetua di aliran Brahma Netra Buana."
"Kamu tau dari mana? Bukannya kedua tetua cenayang itu kabarnya tidak pernah keluar dari pura pemujaan, dan wajahnya selalu ditutupi kain cadar."
"Aku dengar juga begitu. Lalu sekarang katanya Prabu Danur itu sedang tergila-gila dengan permaisuri baru yang bernama Srikanti. Aku jadi penasaran secantik apa dia? Sampai-sampai gusti prabu tega mengusir semua selir."
Mendengar nama Srikanti disebut, Kamandaka serta-merta menghentikan langkah, Bumirang pun terpaksa ikut berhenti. Dia dan Kamandaka terpaku menatap punggung orang-orang yang terus bergunjing itu berjalan melewati mereka.
Srikanti diangkat menjadi permaisuri ....
Kamandaka membatin dan ingatannya pun perlahan kembali ke malam candra paripurna, yang mana pada kesempatan itu jiwa asli Kamandaka terbangun karena katanya mendengar Srikanti menangis.
"Celaka, di mana Kahuripan?" celetuk Bumirang sambil celingukan.
Dia sebenarnya ingin membahas perihal Srikanti, tetapi ketika sejauh mata memandang tidak juga menemukan Kidung Kahuripan, hatinya langsung tidak tenang.
Kamandaka pun seketika tersadar dari lamunan. "Kita harus segera menemukan dia," ujarnya terburu-buru.
Dengan begitu, dia dan Bumirang pun langsung bergegas. Keduanya berlari-lari kecil di antara para pengguna jalan yang mirip peserta pawai, berjalan ke satu arah tujuan. Pergerakan mereka terlihat kasar, menyenggol ke sana-kemari, tetapi anehnya tidak ada satu orang pun yang tampak terganggu. Mereka seperti dua nyamuk kecil yang keberadaannya tidak menarik perhatian sama sekali.
Tidak jauh di depan ada kerumunan, terdengar suara ringkik kuda cukup panjang dan kasar. Kamandaka mengenali bahwa itu suara kuda sedang marah karena tali kekangnya ditarik paksa, dengan kata lain si penunggang terpaksa menghentikan laju karena sesuatu hal.
"Bedebah! Cepat menyingkir sebelum aku perintahkan kudaku untuk menginjakmu!"
Kamandaka dan Bumirang sebenarnya tidak tertarik berurusan dengan si penunggang kuda yang entah siapa, karena tujuan utama mereka adalah menemukan Kidung Kahuripan sebelum gadis itu berpapasan dengan orang-orang kerajaan. Namun ....
"Lakukan saja kalau ingin kaki kudamu aku patahkan! Jangan mentang-mentang punya kuda lalu seenaknya saja melarikannya di tempat ramai seperti ini!"
Suara teriakan itu menghentikan langkah mereka dan setelah saling menatap sekilas, keduanya pun bergegas menyelinap di antara orang-orang hingga akhirnya sampai di tengah lingkaran. Lingkaran manusia yang berkerumun menyaksikan Kidung Kahuripan menantang seorang pemuda bangsawan yang bertengger angkuh di atas kuda hitamnya. Keduanya maju serentak dan langsung membungkuk hormat pada si penunggang kuda.
"Mohon maafkan adik saya, Raden," ujar Bumirang dengan suara yang sangat tenang sambil membungkuk sopan.
Kamandaka menambahkan, "Dia sedikit terganggu," sambil bicara pemuda itu menempelkan jari telunjuk di dahi dengan posisi miring, "mohon dimaklumi."
"Apa?! Kamu bilang aku gila?!" Sontak saja Kidung Kahuripan marah-marah sambil memukul kepala Kamandaka. Mereka pun akhirnya terlibat cekcok konyol seperti yang sering terjadi.
Melihat kelakuan mereka, si pemuda bangsawan mengernyit jijik, dan begitu mudahnya percaya bahwa gadis itu memang benar-benar kurang waras. Akhirnya dia pun meninggalkan tempat itu dengan harapan tidak akan pernah lagi bertemu apalagi berurusan dengan mereka.
"Woee, pengecut! Mau ke mana ka---"
Kamandaka membekap mulut Kidung Kahuripan dan tanpa memberinya kesempatan untuk meronta segera menarik gadis itu membaur dalam keramaian. Bumirang mengikuti sambil merogoh buntalan dan mengeluarkan kain biru transparan, lalu diserahkan pada Kamandaka.
"Gunakan ini. Kita mampir di kedai yang sepi di pojok jalan."
Hanya dengan melihat kain dan mendengar instruksi dari Bumirang, Kidung Kahuripan langsung memahami situasinya. Karena tadi dia juga sempat melihat ada orang-orang yang dari cara berpakaiannya sudah bisa diketahui dengan jelas bahwa mereka adalah orang-orang dari kerajaan.
"Maafkan aku, Raden. Aku lupa kalau Yunda Tilar pernah tinggal di kerajaan."
"Bagus kalau sadar." Bumirang hanya menanggapi sekenanya sambil terus melangkah mengikuti Kamandaka yang sedang dalam perangai serius dan fokus.
Kidung Kahuripan menatap Kamandaka sejenak, kemudian menoleh ke Bumirang, menatap dengan sorot mata memelas. "Raden, apa yang terjadi padanya? Kenapa jadi seperti bukan dia?"
"Jangan cerewet! Ikut saja!" Kamandaka menghardik dengan suara berat membuat Kidung Kahuripan semakin yakin bahwa Kamandaka yang ini bukan Kamandaka yang biasanya.
Bumirang hanya memberi senyum tipis pada gadis itu. Senyum yang awalnya Kidung Kahuripan anggap sebagai ketidakberdayaan, tetapi setelah melihat pancaran mata pemuda itu begitu teduh, dia pun mengerti. Bumirang memintanya untuk patuh tanpa banyak bertanya.