Ini tentang Naomi si gadis cantik ber-hoodie merah yang dibenci ibu dan kakaknya karena dianggap sebagai penyebab kematian sang ayah.
Sejak bertemu dengan Yudistira hidupnya berubah. Tanpa sadar Naomi jatuh cinta dengan Yudistira. Pria yang selalu ada untuknya.
Namun sayangnya mereka dipisahkan oleh satu garis keyanikan. Terlebih lagi tiba-tiba Naomi divonis mengidap kanker leukimia.
Apakah semesta memberikan Naomi kesempatan untuk memperjuangkan cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gulla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Matahari menyinari pagi dengan kehangatannya. Naomi tersenyum senang karena tadi malam ia dan Yudistira resmi menjadi sepasang kekasih. Ia melangkah memasuki kelas dengan hati yang riang.
"Cerah banget? Padahal hari ini ulangan sejarah." Ujar Nara lemas. Semalam ia sudah berusaha menghapal tapi sial sulit sekali mengingat tahun tanggal atau peristiwa yang berada di sejarah. Padahal sejarah mantan saja ia bisa begitu mudah hapal.
Naomi tersenyum malu-malu, namun ia enggan mengakui ke Nara jika ia jadian dengan Yudistira. Nara akan mengejeknya habis-habisan.
"Enggak biasa aja."
"Naomi contekin aku ya, pliss..." Nara memohon kepada Naomi.
"Belajar makannya."
"Udah belajar semalem tapi nggak masuk-masuk."
"Memang kamu sempet belajar? Kamu kan sibuk kerja," padahal semalam Naomi sibuk berkencan dengan Yudistira. Ia meluangkan waktu tadi pagi jam 4 pagi untuk belajar atau mengulang beberapa materi.
"Belajar ini juga mau baca-baca lagi."
"Aish, kasih dikit dong otak kamu ke aku. Dikit aja.." Naomi menggelengkan kepalanya mendengar itu.
"Belajar sana!" usir Naomi menyuruh Nara kembali ke tempatnya. Naomi tidak suka di ganggu jika belajar. Ia suka ketenangan disaat detik-detik ulangan.
Nara mendesah ia paling sebal jika Naomi sudah dalam mode serius. Sahabatnya itu benar-benar nggak asyik. Untung aja kemarin ia bisa jalan dengan Sadewa. Jadi ia merasa sedikit senang moodnya. Meski cowok itu memintanya hanya untuk menjadi pacar pura-pura.
Bel masuk berbunyi, seluruh murid duduk dengan rapi di tempatnya. Seorang guru dengan tatapan tajam masuk. Guru sejarah mereka galak. Dan tentu saja membosankan setiap mengajar. Kalau ada yang tertidur saat pelajarannya pasti akan dihukum.
"Letakkan semua buku dan
tas di depan kelas. Sisakan alat tulis saja di atas meja." Ulangan
harian bagaikan ujian Nasional begitu ketat dengan peraturan.
"Baik Pak." Semua murid berbondong-bondong maju meletakkan tas ke depan.
Ketika Naomi ingin ke depan. Leo menghadangnya. "Biar gue aja yang bawa," tanpa menunggu respon Naomi, cowok itu mengambil alih tas yang dibawa gadis itu. Leo menaruhnya ke depan. Naomi hanya bisa pasrah, ternyata Leo masih menyukainya. Ia harus memberitahu cowok itu jika ia dan Yudistira telah bersama.
Ujian berlangsung, Pak Anwar membagikan kertas ulangan. Ruangan di jaga begitu ketat. Seperti biasa ulangan sejarah pasti akan selalu mendapatkan soal yang aneh. Soal yang tidak sesuai dengan materi yang mereka dapatkan atau pelajari. Banyak murid-murid yang mendesah kecewa. Mereka mengumpat dalam hati karena ada beberapa soal yang asing.
Naomi tetap serius mengerjakan. Baginya sejarah itu pengetahuan umum. Jadi ketika ia belajar ia membaca lebih dari satu buku. Ia tidak begitu kesulitan menjawab beberapa soal.
Bug!
Konsentrasi Naomi berhenti. Ada sebuah buntalan kertas yang dilemparkan ke arahnya. Belum sempat Naomi mengambil. Pak Anwar lebih dahulu mengambilnya.
"Kamu nyontek ya?" suara Pak Anwar memenuhi ruangan. Pria paruh baya itu menatap Naomi marah.
"Enggak kok Pak."
"Terus ini contekan siapa?" Pak Anwar menunjukkan kertas berisi coretan tangan berisi materi sejarah.
Naomi menatap kebelakang, saat itu juga ia tak sengaja bersitatap dengan Cintya. Apa ia sedang dijebak? Astaga ulangan belum selesai aja udah begini. Ruangan yang tadinya tenang jadi tegang.
"Pak Anwar, saya berani bersumpah saya tidak pernah membuat contekan atau meminta seseorang untuk memberikan contekan.
"Bapak bisa cek siapa yang menulis contekan itu dengan mencocokkannya dengan tulisan kami satu persatu." Usul Naomi. Ia yakin orang yang membuat contekan itulah pelakunya.
"Tidak menutup kemungkinan jika orang yang menulis contekan itu adalah pelakunya. Mau dia nyontek atau memberikan contekan pada orang lain itu sama-sama perbuatan curang. Jadi menurut saya pelakunya layak di hukum." Naomi dengan berani mengatakan itu. Ia ingin membuktikan kepada orang yang berusaha menjebaknya jika ia bukan orang bodoh.
"Ulangan hari ini di tunda. Saya akan mengecek tulisan kalian semua satu persatu, kecuali jika ada yang mau mengakui siapa yang menulis ini."
Naomi menoleh ke arah Cintya. Ia tersenyum kecil. Tepat dugaannya wajah Cintya terlihat pucat. Ternyata benar dugaan Nara kemarin, Cintya adalah orang yang menjebaknya akhir-akhir ini.
Sialan!
****
"Gue nggak ngira Cintya bakal senekat itu jebak lo!"
"Nggak ngotak banget nih anak! Apa sih motifnya dia kayaknya benci banget sama lo? Kayaknya dia iri deh."
Nara terus menuangkan kekesalannya pada Cintya. Gara-gara gadis itu ulangan jadi ditunda. Untungnya Pak Anwar bersikap fair dan menghukum Cintya. Mereka saat ini sedang berjalan beriringan menuju gerbang sekolah untuk pulang.
"Itu bukannya Kak Yudis ya?" Ujar Nara antusias sambil menunjuk ke arah cowok di dekat gerbang.
Naomi langsung menatap ke arah yang ditunjuk Nara. Benar saja Yudistira berdiri disana sambil membawa bunga. Tanpa sadar Naomi tersenyum dibuatnya. Ia tidak menyangka jika cowok itu bisa bersikap manis.
"Kok dia bawa bunga sih. Jangan-jangan buat kamu?" Naomi tidak menjawab. Ia malah berlari meninggalkan Nara sendirian.
"Naomi kamu utang penjelasan sama aku! Awas aja besok aku introgasi sampai mampus."
Naomi berlari-lari kecil menghampiri Yudistira. Cowok itu nampak mempesona dengan jaket hitam yang melekat di tubuhnya. Rasanya ia ingin memeluk tubuh Yudistira. Namun ia menahan diri karena masih di sekolah.
"Buat kamu." Yudistira menyerahkan Bucket bunga mawar merah kepada Naomi.
"Makasih Kak." Naomi menerima bunga itu dengan senang. Ia memeluknya dengan penuh cinta. Apapun yang Yudistira berikan padanya, ia suka.
"Bunda nyariin kamu. Kalau hari ini kita nggak ke Kafe nggak apa-apa kan?"
Deg!
Seketika Naomi teringat jika hasil tes kesehatannya masih berada di Kalila. Ia jadi takut jika hasilnya tidak sesuai dengan keinginannya. Bagaimana jika kankernya kambuh? Tanpa sadar muka Naomi yang awalnya senang berubah jadi sedih. Ia takut kehilangan hidupnya. Rasanya baru sebentar ia bahagia. Namun kenapa Tuhan dengan tega merenggutnya.
"Kenapa sedih?" Yudistira menundukkan wajahnya hingga sejajar dengan Naomi. Lalu tangannya menangkup wajah gadis itu lembut. Ia menatap Naomi khawatir.
"Nggak apa-apa kok, Kak." Naomi berusaha menormalkan dirinya. Ia tidak ingin Yudistira tahu isi hatinya yang sebenarnya.
"Jangan bohongi pacar kamu!" Naomi tersentak. Jujur ia terharu dengan perlakuan Yudistira. Tapi, ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.
"Aku sedih karena tadi aku dituduh bikin contekan sama Cintya." Naomi mengalihkan perhatian. Semoga saja berhasil.
Yudistira tiba-tiba berdiri tegap, tangannya mengepal erat. Matanya berubah tajam dan menakutkan menahan amarah. Naomi bisa merasakan kemarahan cowok itu.
"Biar aku buat perhitungan sama dia!"
"Eh jangan kak-" Naomi mencegah Yudistira yang hendak masuk ke dalam sekolah. Cintya masih di dalam. Ia tidak ingin Yudistira membuat keributan.
"Dia harus dikasih pelajaran, biar nggak gangguin kamu lagi."
"Dia udah di hukum kok Kak sama Pak Anwar."
"Hukuman nggak akan buat dia jera. Gimana kalau dia berbuat macam-macam sama kamu lagi. Aku nggak mau dia nyakitin kamu."
"Kita pulang ke rumah aja yuk Kak. Kasian bunda nungguin kita. Masalah Cintya kakak, tenang aja. Misal dia gangguin aku, aku pasti akan lapor sama kakak." Naomi menggengam tangan cowok itu erat. Ia berharap Yudistira
mendengarkan perkataannya.
Yudistira mengembuskan napas, lalu menarik Naomi dalam pelukannya. Ia mengusap rambut gadis itu lembut. "Kalau ada yang ganggu kamu jangan ragu untuk bilang. Kakak akan buat perhitungan buat orang itu." Ujar Yudistira dengan nada khawatir.
Naomi terharu mendengarnya. Ia balas memeluk Yudistira erat. Rasanya beruntung memiliki Yudistira walau hanya untuk sekejap.
***