Kekasih Ku, Suami Adikku

Sementara itu, di kediaman Ditto. Liana terlihat tengah duduk di atas ranjangnya. Dia menangis saat mengingat bagaimana Ditto memarahinya pagi tadi.

dia tahu jika dirinya memang bersalah. hanya saja, Liana begitu membenci Alena. Alena selalu mendapatkan apapun yang dia inginkan sejak dulu. sedangkan dirinya? Dia sama sekali tidak bisa menyaingi Alena.

"apa salah jika aku menginginkan kebahagiaan yang sama dengan kakak ku? kenapa sejak dulu aku selalu merasa tidak seberuntung kak Alena? Apa salahku? Hikss .." Liana menangis.

Tangis Liana terdengar memenuhi penjuru kamar. Dan dia selalu merasa jika dunia ini tidak adil untuknya.

"dari dulu, kaka Alena selalu lebih unggul dariku. Dan aku selalu saja tidak pernah terlihat di mata orang-orang bahkan di mata keluarga ku. Apa salahku? kenapa aku tidak seberuntung kak Alena. Hikss."

Liana masih menangis, dia mencoba mengungkapkan apa yang saat ini tengah dia rasakan. Dan hatinya benar-benar berdenyut nyeri jika mendengar hal itu.

Sementara itu, Dewi mendengar semua keluh kesah sang anak. Dan dia berpikir apakah selama ini dia sudah salah dalam memperlakukan kedua putrinya?

"Astaga ... Apa ini semua salah kami? Apa kami tidak adil saat memperlakukan kedua putri kami?" batin Dewi.

Entah kenapa, mendengar apa yang Liana katakan membuat hatinya ikut tersayat. Jadi, Selama ini dirinyalah yang salah memperlakukan kedua putrinya.

Dewi mencoba mengusap air matanya. Dia tidak boleh ketahuan oleh Liana, jika dirinya mendengar apa yang di katakan oleh gadis itu.

Tok tok tok ..

"Lian, ini ibu Nak. Bolehkah ibu masuk?"

Liana pun melakukan apa yang Dewi lakukan. Dia menghentikan tangisnya dan segera mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Dia tidak boleh menunjukkan sisi kelemahannya pada siapapun.

"masuk saja Bu, pintu tidak di kunci."

Ceklek ..

Dewi membuka pintu kamar Liana. Dia melihat jika Liana tengah duduk di atas ranjangnya. Dan Dewi segera berjalan menghampiri putri bungsunya.

"Lian, apa yang ayah katakan tidak perlu kau ambil Hati. Ayah mu memang selalu bersikap seperti itu, dan kau harap maklum Nak."

"tidak apa-apa Bu. Lian memang sudah sering menerima perlakuan seperti ini dari ayah. Ibu tidak perlu khawatir."

Dewi tersenyum kecil, dia duduk di samping Liana dan mengusap lembut rambut putrinya.

"Lian, Liana tahukan Jika ibu dan ayah begitu menyayangimu?"

"tahu Bu. kenapa ibu membahas hal itu?"

"tidak apa-apa. Ibu hanya ingin mengatakan jika kami menyayangimu. kami mungkin mendidik mu terlalu keras. tapi percayalah, apa yang kami lakukan semua demi kebaikanmu."

"Lian mengerti Bu. Dan, bolehkah Liana beristirahat?"

"tentu sayang, istirahatlah. ibu hamil tidak boleh terlalu lelah dan jangan sampai kau stres agar bayi mu baik-baik saja."

Liana mengangguk, Dewi membantu Liana untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dan menyelimuti tubuh Liana.

Dewi tersenyum, manik keduanya saling memandang. Dan tatapan Dewi pada Liana benar-benar terlihat teduh.

Hingga Liana memejamkan matanya, dan Dewi perlahan berlalu dari dalam kamar Liana. Saat Dewi keluar, Liana kembali membuka matanya. Air mata yang sejak tadi dia tahan kembali mengalir.

"kasih sayang yang mana Bu? Kalian bahkan selalu tidak memperhatikan ku." batin Liana.

***

Sementara itu, sore ini Raffa baru saja terbangun dari tidurnya. Dia membuka matanya perlahan, dan dia merasa jika kepalanya berdenyut hebat.

"ah astaga, kenapa kepalaku sakit sekali?" gumam Raffa.

dia mencoba meraih ponsel di atas nakas, dan berharap jika saat dia melihat ponselnya sudah ada pesan dari Alena.

Hanya saja, apa yang dia harapkan benar-benar tidak sesuai dengan kenyataan. Alena sama sekali tidak menghubunginya.

Raffa mendial nomor Alena. Dia berharap jika nomor Alena aktif. Dan ternyata nihil, nomor Alena masih tidak bisa di hubungi. Sama seperti beberapa waktu lalu.

"astaga sayang, dimana dirimu? kenapa kau tidak memberiku kabar?" gumam Raffa.

tok tok tok ..

Raffa mendengar jika pintu kamarnya di ketuk. Senyum kecil mengembang di bibirnya. bolehkah kali ini Raffa berharap jika itu Alena?

"Raffa, ini mama. Apa kau sudah bangun Nak?"

Senyum Raffa perlahan luntur. lagi-lagi harapannya sirna begitu saja.

"masuk ma, Raffa sudah bangun."

Ceklek ..

Anne membuka pintu kamar putranya, dan dia segera berjalan ke arah Raffa. Anne melihat jika wajah Raffa sedikit pucat.

"Raff, apa kau baik-baik saja?"

"baik ma, memangnya kenapa?"

"wajahmu pucat sekali."

"Raffa baik ma, Raffa hanya sedikit pusing."

Anne menggeleng, tangannya terulur memeriksa dahi Raffa. Dan Anne terkejut saat merasa jika tubuh Raffa panas.

"astaga Raffa, kau demam Nak."

"tidak ma, Raffa tidak apa-apa. Raffa baik-baik saja."

"tidak, tidak. Tunggu sebentar, mama akan ambilkan air kompresan untukmu."

Anne bergegas keluar dari dalam kamar putranya untuk mengambil sebuah baskom berisi air hangat. Anne harus mengompres dahi Raffa karena suhu tubuh Raffa terasa begitu panas.

Hingga beberapa saat kemudian, Anne sudah kembali ke kamar Raffa dengan baskom dan juga handuk kecil di tangannya.

Anne mengompres dahi Raffa, dan dia duduk di bibir ranjang putranya. Dia tahu jika Raffa kelelahan akhir-akhir ini.bekum lagi, Raffa pasti selalu memikirkan Alena.

"ma, apa belum ada kabar dari Alena? apa dia tidak menghubungi mama?"

"belum sayang. tapi, kau jangan khawatir, mama akan membantumu untuk menemukan Alena."

"temukan Alena secepatnya ma, Raffa tidak mau berpisah dengan Alena."

"pasti Nak, mama akan temukan Alena dan membawanya padamu. Kau jangan khawatir, dan sebaiknya, kau istirahat lagi."

"baik ma,"

Raffa kembali memejamkan matanya. sedangkan Anne, dia hanya bisa iba melihat kondisi putranya. Raffa terlihat begitu mencintai Alena, dan Anne bisa mengerti ketakutan Raffa saat ini.