Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Berdiri di depan cermin, aku baru saja selesai bersiap dengan memakai baju kerjaku 3 tahun lalu. Karna dadakan, aku tidak sempat membeli baju kerja baru. Untung saja masih muat di badanku yang sempat naik 3 kg sejak menikah.
"Dek,, kamu udah mulai cari kerjaan hari ini.?" Mas Dirga langsung menghampiriku setelah keluar dari kamar mandi.
"Malah aku udah dapet pekerjaan Mas. Hari ini aku mulai kerja." Aku menjawab sembari membenarkan rambut yang baru saja aku catok.
Mas Dirga tampak kaget mendengarnya, aku bisa melihat ekspresi itu dari pantulan cermin.
"Memangnya kapan kamu melamar pekerjaan.? Mas juga nggak liat kamu pergi buat tes."
"Terus di terima di perusahaan mana Dek.? Jangan sampai kamu di tipu. Sekarang cari pekerjaan nggak gampang Dek." Mas Dirga mencecar ku dengan berbagai pertanyaan. Aku bisa merasakan kekhawatiran Mas Dirga. Mungkin dia takut aku tidak benar-benar di tempatkan di kantor karna terlalu mudah mendapatkan pekerjaan.
"Mas nggak usah khawatir, aku diterima di kantor tempat Mas Agam kerja. Perusahaan Airlangga."
Tampaknya jawabanku kali ini semakin membuat Mas Dirga terkejut.
"Jadi kamu dapet info pekerjaan dari Agam.? Apa dia juga yang merekomendasikan kamu di kantornya.?" Mas Dirga menatap penuh selidik, dia bahkan sampai memutar tubuhku agar bisa berhadapan.
Aku langsung mengangguk cepat, karna memang kenyataannya seperti itu. Aku juga tidak berniat untuk membohonginya, karna jika suatu saat Mas Dirga tau aku bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Agam, sudah pasti akan menimbulkan kecurigaan nantinya.
“Kenapa dia nggak bilang sama Mas.? Kamu juga nggak pernah cerita kalau udah dapet info pekerjaan.?" Tatapan mata Mas Dirga semakin menelisik penuh curiga. Mungkin dia berfikir aku ada apa-apa dengan Mas Agam di belakangnya.
"Infonya dadakan Mas, kemaren pas Mas lagi di kantor. Tadinya aku mau cerita setelah Mas pulang kerja, tapi malah ketiduran karna nungguin Mas nggak pulang-pulang." Aku menekankan kalimat terakhir. Mas Dirga langsung terdiam, sorot mata yang tadinya penuh curiga, kini malah tampak kebingungan dan tak berani menatapku lagi.
"Tolak saja pekerjaannya, jangan satu kantor sama Agam." Ucapnya kelihatan tak suka.
"Nanti Mas coba carikan pekerjaan di perusahaan lain."
Dengan entengnya Mas Dirga menyuruhku untuk menolak pekerjaan itu. Tiba-tiba dia juga berniat untuk mencarikan pekerjaan, padahal kemarin saat aku meminta ijin untuk bekerja, Mas Dirga sama sekali tidak berusaha untuk mencarikan pekerjaan.
"Tolak gimana Mas.? Nggak gampang loh cari pekerjaan. Masih mending Mas Agam ngasih info pekerjaan sama aku.!" Karna terbawa emosi, aku bicara dengan lantang.
"Maka dari itu. Kamu tau sendiri kalau cari pekerjaan nggak gampang, tapi kenapa kamu dengan mudah bisa dapat pekerjaan bahkan bisa langsung bekerja.!" Sentaknya.
"Jangan asal percaya sama orang lain, sekalipun dia tetangga kita.!" Nada bicara Mas Dirga ikut meninggi.
"Bisa saja kamu hanya di manfaatkan." Tambahnya penuh penekanan.
Aku tersenyum kecut mendengar ucapan bijak Mas Dirga. Ya, terlalu bijak sampai aku heran.
"Siapa bilang aku percaya sama Mas Agam.? Aku tau kita nggak boleh percaya begitu saja sama orang lain, karna kadang orang terdekat saja nggak bisa di percaya.!"
"Jadi Mas nggak perlu khawatir, aku tau harus percaya sama siapa dan tau mana yang memanfaatkan, mana yang tulus.!" Seruku dan bergegas pergi dari hadapan Mas Dirga.
"Mau kemana.?! Mas belum selesai bicara Dek.!!" Teriakan Mas Dirga hanya angin lalu, aku tetap keluar dari kamar untuk sarapan.
Sepertinya Mas Dirga memang sengaja ingin membuatku terus terkurung di dalam rumah. Dengan begitu dia bisa bebas pergi kemanapun dengan selingkuhannya tanpa takut aku memergokinya di tempat umum.
Tak berselang lama, Mas Dirga menyusulku ke dapur dan ikut sarapan.
...*****...
"Kamu mau kemana Mas.?" Aku mengikuti Mas Dirga yang buru-buru beranjak dari meja makan setelah sarapan.
"Aku harus bicara sama Agam. Mungkin saja di punya maksud tertentu memasukan kamu di perusahaan yang sama.!" Sahutnya dengan nada sinis.
"Maksud tertentu bagaimana.? Mas jangan asal menuduh sembarangan." Aku menegur Mas Dirga, tapi sepertinya tidak di dengarkan. Mas Dirga tetap keluar rumah dan mendatangi rumah Mas Agam.
Di saat yang bersamaan, Mas Agam juga keluar dari rumah. Di sudah memakai baju kerja dengan setelan jas. Sejak kemarin Mas Agam memakai setelan jas, padahal sebelumnya dia hanya memakai atasan kemeja saja setiap pergi ke kantor, tanpa di lengkapi dengan jas.
Atau bisa jadi Mas Agam naik jabatan, dan diharuskan memakai setelan jas.
"Ada apa.?" Mas Agam tampak heran melihat Mas Dirga menghampirinya dan aku juga ikut mengekori Mas Dirga.
"Istriku bilang kalau dia mendapatkan pekerjaan di kantor yang sama dengan kamu. Kenapa bisa semudah itu kamu memasukkan Bianca ke perusahaan itu.?"
"Kamu nggak ngasih pekerjaan yang asal-asalan kan.?" Mas Dirga mencecar dengan tatapan tajam. Aku ingin meminta Mas Dirga untuk tidak bicara macam-macam pada Mas Agam, tapi takut Mas Dirga malah berfikir macam-macam. Jadi aku memutuskan untuk menyimak saja selagi ucapan Mas Dirga tidak keterlaluan.
"Apa Bia belum cerita juga soal jabatannya nanti.?" Tanya Mas Agam dengan gayanya yang santai.
"Istri kamu di terima sebagai sekretaris, sesuai pengalamannya. Kebetulan sekretaris lama tiba-tiba mengundurkan diri karna suaminya pindah ke keluar kota."
Setelah mendengarkan penjelasan dari Mas Agam, kini Mas Dirga menoleh padaku. Lagi-lagi tatapannya penuh selidik. Entah apa lagi yang ada dalam pikirannya.
"Kamu merekomendasikan Bianca sebagai sekretari.? Kenapa nggak melalui proses seleksi.?" Mas Dirga terus mencecarnya.
"Nggak ada waktu untuk menyeleksi, di perusahaan sedang banyak pekerjaan."
"Sementara tanpa ada tahap seleksi, tapi melalui masa training selama 3 bulan. Kalau Bia bisa menghandle pekerjaan dengan baik, sudah pasti masa kerjanya akan berlanjut." Mas Agam menjelaskan dengan detail. Meski begitu, Mas Dirga tampak belum puas dengan jawabannya dan terus mengajukan pertanyaan.
Aku terpaksa menghentikan percakapan mereka yang sudah mendekati perdebatan.
Lagipula kami bertiga harus segera berangkat ke kantor. Tidak mungkin akan membuang-buang waktu untuk membahas hal yang tak ada ujungnya.
"Kita harus berangkat ke kantor Mas, nanti bicarakan lagi saja setelah pulang kantor. Kita duluan Mas Agam, maaf sudah mengganggu." Aku menggandeng tangan Mas Dirga setelah pamit pada Mas Agam.
Awalnya Mas Dirga menolak, tapi aku melarangnya untuk bicara lagi pada Mas Agam.
"Sudah siang Mas, aku harus sampai di kantor tepat jam 8. Bukannya Mas juga harus kerja." Tegur ku setelah masuk ke dalam mobil.
Aku melirik ke luar jendela, rupanya Mas Agam masih mematung di tempat.
"Kalau nanti di kantor ada yang janggal, pokoknya kamu harus keluar dari pekerjaan itu Dek.!" Seru Mas Dirga tegas. Aku memilih untuk mengiyakan dari pada harus berdebat lagi dengannya.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong